Apa yang terjadi ketika badai, abrasi, dan kekeringan terus melanda sebuah wilayah?
Di Nusa Tenggara Timur, perubahan iklim adalah kenyataan yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan. Tapi, di tengah keterbatasan, ada perjuangan, keberanian, dan harapan. Kami datang ke NTT, dimana kisah nyata dari mereka yang berdiri di garis depan adaptasi perubahan iklim melakukan banyak hal untuk menjaga bumi yang tak lagi bersahabat.
Kami bertemu Radit Giantiano di Kupang, seorang anak muda yang memulai langkah kecil memungut sampah setiap hari di Pantai Rock Beach dan menghidupkan kembali terumbu karang yang hancur akibat badai tropis Seroja. Dengan tangan kosong, ia menolak menyerah pada sampah yang terus mengancam ekosistem lautnya.
Sementara, Yasinta Adoe, aktivis nelayan perempuan di Pasir Panjang mengorganisir para nelayan kecil untuk sama-sama bangkit melakukan perbaikan ekonomi dengan membentuk pengolahan ikan dan bank sampah sebagai wujud dari peduli lingkungan. Selain itu, ia juga lantang bersuara menolak betonisasi pesisir Pasir Panjang yang rencananya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kota Kupang.
Joni Messakh di Tanah Merah, yang meneruskan warisan ayahnya melindungi hutan mangrove. Dengan Peraturan Desa (Perdes) yang melarang penebangan mangrove, ia membuktikan bahwa akar mangrove bisa menjadi benteng yang menyelamatkan dari gelombang dan badai.
Di pelosok Flores Timur, tepatnya di Desa Hewa, Maria Mone Soge menggerakan warga kampung dan menginisiasi budidaya pangan lokal dan konservasi mata air. Dari bambu hingga sorgum, ia memperjuangkan kedaulatan pangan yang lebih adaptif terhadap iklim dan menginspirasi generasi muda untuk menjaga tradisi dan keberlanjutan.
Sementara Komunitas Andaka di Kawalelo, kelompok anak muda yang menanam bambu di sekitar mata air Watonitung untuk melindungi sumber kehidupan ribuan warga desa. Filosofi mereka sederhana: jika ingin menggunakan air, kita harus menjaga sumbernya.