Zaini Misrin, buruh migran asal Bangkalan, dihukum pancung di Arab Saudi. Keluarga kaget karena hukuman tersebut dilakukan tanpa pengumuman resmi pemerintah Arab Saudi. Kedua anak Zaini sudah hadir di panggung Mata Najwa, Saiful Toriq dan Mustofa Kurniawan.
"Satu hari sebelum eksekusi, Abah menelepon tidak menceritakan akan dihukum. Ia menanyakan kabar," kata Saiful.
"Saya pernah bertemu Abah saat tahun 2013 dan 2015, Abah sehat," kata Syaiful.
Sementara Mustofa hanya 4 kali berjumpa dengan Zaini Misrin sepanjang hidupnya.
Toriq menceritakan bagaimana Zaini memperoleh tindak kekerasan oleh para polisi di penjara, supaya mau mengaku melakukan pembunuhan majikannya. "Abah dipukul pakai kayu, dicambuk, dipaksa, disuruh mengaku. Abah tidak tahu sama sekali penyebab tewas majikannya. Abah di sana bekerja sebagai sopir."
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care mengatakan, pemerintah baru mengetahui kasus ini pada 2008. "Saat persidangan berlangsung, Zaini tidak didampingi oleh pengacara, translatornya pun dari kepolisian yang memaksa Zaini mengakui perbuatan membunuh majikannya," ungkap Wahyu.
Vonis hukuman mati sudah dijatuhkan di pengadilan, sehingga fakta-fakta baru terkait kasus ini tidak bisa menjadi bukti baru.
Kepada Najwa Shihab, Mustofa menunjukkan foto Zaini yang diambil dari handphone yang ia sembunyikan di kasur penjara. Bahkan saat berada di penjara, Zaini juga masih mengirimkan uang untuk membiayai kehidupan anak-anak di Indonesia.
Kekhawatiran Saiful Toriq dan Mustofa kini tertumpu pada ibu mereka setelah ayahnya tewas dihukum pancung. Sang ibu, menurut kedua anaknya, mengaku dirayu majikannya. Padahal kontrak kerja di Arab Saudi baru dijalani dua bulan dari tiga tahun yang disetujui, sehingga sang ibu pun tidak bisa pulang.