Jika tidak ada halangan, RKUHP akan ketuk palu di bulan Agustus 2018. Saat ini RKUHP baru selesai pada tahap Tim Perumus. Selanjutnya akan ada tahap pleno komisi dan paripurna. Pada tahap paripurna, tidak akan ada lagi pembahasan. Karena saat ini masih pada tahap pertama, rancangan revisi KUHP ini masih terbuka peluang untuk menerima masukan. “Saat ini, untuk beberapa pasal yang dianggap kontroversial seperti pasal penghinaan presiden telah disepakati di tingkatan tim perumus. Tinggal yang soal delik pidana khusus ini. Tapi kami terus berkomunikasi dengan masyarakat, terutama dari masyarakat sipil,” ujarnya anggota Panja RKUHP Arsul Sani. Senada dengan Arsul, anggota Panja RKUHP yang lain, Nasir Djamil mengatakan, rancangan KUHP ini bertujuan menguatkan peran lembaga-lembaga hukum seperti misalnya KPK.“Sebenarnya kami ini ingin membenarkan KPK, bukan melemahkan. Jadi salah paham tudingan itu,” ujarnya. Lalola Easter, anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP mempertanyakan adanya penambahan delik korupsi di RKHUP. Menurut Lalola, pidana tambahan sudah ada di UU Tipikor, untuk apa dimasukkan di RKUHP? Pandangan ini juga disampaikan Komisioner KPK Laode M Syarif. “Jika memang sama, untuk apa diatur lagi? Artinya ini malah menimbulkan perbedaan tafsir dan tumpang tindih,” jelasnya. Menanggapi hal tersebut, anggota tim perumus RKUHP Pemerintah, Prof Harkristuti Harkrisnowo mengatakan tambahan pasal pidana itu tidak akan tumpang tindih karena justru mempertegas hukumnya. Prof Harkristuti melihat rekan-rekan yang menolak kurang diskusi dan tidak paham esensi dari RKUHP. “Semua pidana khusus masuk, bukan hanya korupsi, seperti terorisme, dan pencucian uang. Bab tindak pidana khusus merupakan jembatan antara hukum yang umum dengan lex generalis,” kata Harkristuti.