Seluruh narasumber di Mata Najwa kali ini memberikan pesan untuk mubalig. Pesan tersebut adalah pesan damai: mubalig harus tetap memiliki kompetensi dasar dan standardisasi agar dalam berceramah nanti tidak menyesatkan audiensnya.
Ketum PP Badan Koordinasi Mubalig Indonesia, Ali Mochtar Ngabalin menilai, pemerintah harus campur tangan dalam mengatur tata cara mubalig berceramah. “Hari ini tak boleh dari seorang mubalig itu pakai kata-kata fitnah, mengharamkan orang lain, orang lain masuk neraka. Itu lah mubalig,” katanya.
Ketua PBNU, Marsudi Syuhud. Baginya, mubalig harus memiliki kesadaran akan keilmuan agama. Lalu, yang paling penting, kata dia, mubalig itu harus berorganisasi. Sebab dengan berorganisasi, masyarakat akan mudah mengenali tokoh agamanya. “Ini jelas alamatnya. Jangan sampai dapat mubalig dari pinggiran, itu kan bisa bisa memecah antara anak dengan orang tuanya. Memecah belah se-bangsa dan se-tanah air,” katanya.
Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis), Jeje Zainuddin pun berpesan agar mubalig memiliki standardisasi dan kualifikasi. Ia juga menekankan agar mubalig memiliki kode etik.
Senada dengan Ketua Komisi Agama DPR, Ali Taher Parasong. “Ujung akhir mubalig itu membangun peradaban. Peradaban Indonesia itu berkemajuan. Kualifikasi menjadi penting. DPR mendukung standardisasi,” katanya.
Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menilai prinsipnya mubalig harus punya kompetensi. Tapi bukan melalui sertifikasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini memegang mandat untuk menyelesaikan persoalan mubalig. Persoalan tersebut antara terdapat mubalig yang masih menyebarkan kebencian dan fitnah. Ketuanya, Ma’ruf Amin mengatakan pihaknya akan semaksimal mungkin untuk membuat standardisasi mubalig. “Maka MUI insya Allah akan berbuat semaksimal mungkin menciptakan mubalig yang santun dan berkemajuan,” katanya.
Terakhir, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyadari pemerintah tak bisa masuk terlalu dalam proses standardisasi mubalig yang saat ini digodok oleh MUI. Tapi, kata dia, Kemenag tetap berkoordinasi dengan MUI untuk mencari formulasi yang pas untuk membuat standardisasi mubalig. “Intinya sebagai mubalig harus mencerahkan kepada esensi agama harus ada kompetensi dan perlu standardisasi,” katanya.
Sebagai penutup, inilah CATATAN NAJWA: Jika berbicara di depan khalayak, berhati-hati menjadi hal yang mutlak. Mengendalikan segenap tutur dan kata, agar bahasa tak menikam ke mana-mana. Apalagi untuk para penceramah agama, yang berkata memakai dalil yang Maha kuasa.
Jelas tak mudah untuk menjadi seorang ulama, tak cukup andalkan ilmu pengetahuan belaka. Umat juga meneladani tingkah dan perbuatan, menjaga akhlak merupakan keniscayaan. Negara perlu untuk memfasilitasi, mubalig yang sadar akan persoalan negeri. Yang penting tidak menjadi kelewat gampangan, melarang-larang mubalig dengan serampangan.
Lebih baik cukup dengan menentukan kriteria, soal pilihan biar ditentukan kearifan warga. Negara harus menemukan jalan kompromi, tetap berhati-hati tanpa bertindak represi.