9 Juli 2022 22:07 WIB
Editor: Akbar Wijaya
Sri Lanka udah gak punya duit lagi buat impor barang dari luar negeri.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe sudah ambil ancang-ancang untuk resign demi memberi jalan bagi terbentuknya pemerintahan seluruh partai. Pernyataan ini dikeluarkan kantor perdana menteri setelah Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri dari rumah dinasnya di Ibu Kota Kolombo karena diserbu para demonstran.
"Wickremesinghe telah mengatakan kepada para pemimpin partai bahwa dia bersedia mengundurkan diri sebagai perdana menteri dan memberi jalan bagi pemerintahan semua partai untuk mengambil alih," demikian pernyataan yang dikeluarkan kantor Perdana Menteri seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (9/7/2022).
Besarnya jumlah demonstran yang memadati jalan-jalan pemerintahan di Kolombo memang membuat tentara dan polisi kewalahan. Mereka tidak mampu membendung kemarahan demonstran yang mendesak masuk ke kediaman resmi Rajapaksa.
Selain memasuki kediaman presiden, para demonstran juga memasuki gedung-gedung pemerintah di pusat Kota Kolombo. Mereka membongkar beberapa barikade polisi yang direspons dengan tembakan ke udara dan gas air mata.
Berbagai video yang beredar di media sosial menunjukkan bagaimana ribuan demonstran mengerumuni kediaman Rajapaksa. Video lain menunjukkan saat-saat para demonstran berada di dalam rumah peninggalan kolonial tersebut. Mereka tampak bermain di kolam renang, duduk-duduk di sofa dan tempat tidur, serta mengosongkan isi laci di meja-meja rumah.
Setidaknya 39 orang, termasuk dua petugas polisi, terluka dan dirawat di rumah sakit selama protes berlangsung.
Rajapaksa dilaporkan telah meninggalkan kediamannya pada Jum'at (8/7/2022) karena alasan keamanan. Reuters melaporkan Wickremesinghe telah mengadakan pembicaraan dengan beberapa pemimpin partai politik untuk memutuskan langkah apa yang harus diambil menyusul kerusuhan tersebut.
Desakan agar Rajapaksa mengundurkan diri juga disuarakan salah satu pemimpin partai oposisi Sri Lanka
"Presiden dan perdana menteri harus segera mengundurkan diri. Jika itu tidak terjadi, ketidakstabilan politik akan memburuk," kata pemimpin Partai Kebebasan Sri Lanka dan mantan presiden Maithripala Sirisena sebelum Wickremesinghe menawarkan pengunduran dirinya.
Sri Lanka tengah berjuang menghadapi krisis ekonomi dan politik terburuk sejak kemerdekaan pada 1948. Inflasi melonjak hingga mencapai rekor 54,6% pada bulan Juni dan diperkirakan akan mencapai 70% dalam beberapa bulan mendatang.
Pandemi COVID-19 menghantam sektor pariwisata dan kiriman dolar dari pekerja di luar negeri yang selama ini menjadi andalan bagi devisa negara.
Situasi tersebut diperparah dengan utang pemerintah yang menumpuk, kenaikan harga BBM, larangan impor pupuk kimia tahun lalu yang menghancurkan pertanian, dan ketidakbecusan Rajapaksa mengelola negara serta merespons tuntutan mundur dari para demonstran pada masa-masa awal krisis.
Negara berpenduduk 22 juta jiwa itu kini sedang mengalami krisis keuangan, krisis pangan dan obat-obatan, krisis bahan bakar, hingga pemadaman listrik. Pemerintah tak lagi memiliki persediaan mata uang asing untuk mengimpor barang-barang tersebut.
Pada 4 April 2022 sebanyak 26 menteri menyatakan pengunduran diri seiring meningkatnya tekanan demonstran yang menentang pemberlakuan jam malam.
Sekitar sebulan kemudian, tepatnya Senin (9/5/2022) giliran Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa yang mengundurkan diri. Keputusan ini cukup mengejutkan mengingat Mahinda merupakan politikus yang mendominasi politik Sri Lanka selama hampir 20 tahun. Pemerintahannya berhasil menghancurkan Macan Tamil dan mengakhiri perang saudara yang panjang.
Kusal Perera, analis politik Sri Lanka mengatakan Sri Lanka berada dalam situasi yang berbahaya apabila presiden dan perdana menteri menyatakan pengunduran diri tanpa diikuti proses transisi kekuasaan yang benar.
Pasalnya, hal tersebut dapat merusak pembicaraan Sri Lanka dengan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait pinjaman hutang $3 miliar, restrukturisasi beberapa utang luar negeri, dan penggalangan dana dari sumber multilateral dan bilateral untuk meringankan kekeringan dolar.
"Ini adalah situasi yang tidak pasti. Jika transisi yang jelas tidak dilakukan, pengunduran diri presiden dan perdana menteri akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang bisa berbahaya," kata Perera.
KOMENTAR
Latest Comment