Editor: Akbar Wijaya
Oleh: Soni Triantoro, Produser Eksekutif Mata Najwa
Mereka muncul di ambang pintu rumah sebuah keluarga yang tengah mengalami masa-masa terpahit. Lalu mengungkit ingatan tentang sosok tercinta yang baru saja meninggal dunia.
Ada kalanya jurnalis mengisi peran alot seperti itu—dikenal sebagai death knock.
Istilah itu kerap digunakan untuk menggambarkan praktik mewawancarai kerabat, atau orang terdekat, dari seseorang yang baru saja berpulang. Disebut death knock karena, dulu, reporter dikirim untuk mewawancarai keluarga yang berkabung, tentu dengan mengetuk pintu lebih dulu.
Praktik ini mulanya, bahkan hingga kini, banyak menuai kritik karena acap tak diimbuhi penghargaan atas suasana perkabungan, sehingga bermasalah secara etik. Apalagi bila dieksekusi dengan persiapan teknis yang tak mengutamakan empati.
Ini bukan tugas mudah, apalagi untuk dinikmati jurnalis. Jauh lebih mudah dan nyaman lagi tak merepotkan jika mengandalkan informasi dari media sosial untuk menyusun pemberitaan. Padahal, selain rentan meleset secara faktual, metode death knock digital membuat keluarga kehilangan kendali atas penggambaran media tentang sosok yang telah meninggal. Sekaligus rentan menerabas batas yang boleh dan tidak diceritakan – sesuatu yang akan diketahui dengan menanyakannya secara langsung.
Itulah kenapa penghormatan jurnalis terhadap peristiwa duka justru perlu diejawantahkan dengan mengupayakan proses tatap muka. Kendati demikian, tetap saja ini pekerjaan yang sulit, apalagi bagi seorang jurnalis yang peka. Kecemasan tentang akankah menjadi pemakan bangkai yang mendorong keluarga menjual kesedihan mestinya menjadi alarm yang mendorong seorang jurnalis untuk mempersiapkan wawancara tatap muka secara cermat dan terukur.
Berbagai turunan konsekuensi wawancara bertatap muka itu yang kami pikirkan masak-masak ketika merancang Mata Najwa episode “Ridwan Kamil, Atalia, dan Eril: Cinta Tak Terbilang”.
Bicara kepada mereka yang berduka memang pasti selalu sulit. Namun, kami percaya, bila dilakukan dengan penuh pertimbangan, praktik death knock sejatinya bisa menumbuhkan pengalaman positif bagi keluarga, membantu mereka menangkis pertanyaan dan rumor bertubi-tubi. Sekaligus, upaya menjadikan seseorang yang meninggal lebih dari sekadar statistik.
"Penuh pertimbangan”, dalam terapannya bisa berarti:
* Tidak memaksa. Jika ada pihak yang enggan dilibatkan, penolakan ini kudu dihormati, bahkan dimaklumi. Baik jurnalis maupun narasumber perlu memahami adanya risiko bangkitnya trauma bagi mereka yang setuju untuk berbicara.
* Tidak menanyakan perasaan narasumber (tentu saja!). Tapi tidak pula terjerumus dalam perangkap klasik mengklaim tahu perasaan narasumber.
* Lebih banyak mendengarkan. Pertanyaan-pertanyaan kunci yang berfungsi menjaga alur tetap perlu dikawal, tapi hasrat menggali perlu dibendung agar tak berkobar menjadi kehendak mendominasi.
* Tidak menggesa-gesakan. Detail cerita yang kuat seringkali bagian yang sangat menyakitkan bagi narasumber. Sebelum atau setelah detail itu tersampaikan, ada saatnya mereka membutuhkan keheningan yang sengaja diciptakan jurnalis untuk menata emosi.
* Membantu narasumber melukiskan gambaran utuh tentang almarhum. Ini lebih berharga daripada menuntut mereka menuturkan lagi cerita yang sudah diketahui orang-orang.
* Jurnalis diperkenankan menunjukan emosi. Reporter CNN, Anderson Cooper bahkan pernah menangis tersedak saat membacakan nama-nama korban penembakan di Orlando.
* Terakhir, teramat teknis, tapi alangkah baiknya ditradisikan, yakni membuka dan menutup wawancara dengan kalimat sederhana, “terimakasih, sudah percaya kepada kami.”
Tentu, ada banyak pertimbangan teknis lain yang laik diformulasikan. Nyaris semuanya berangkat dari empati, selaku kualitas terpenting yang dapat ditunjukan seorang jurnalis dalam situasi death knock. Bila ini diperhatikan, atau ditajamkan bersama, niscaya ketukan jurnalis di pintu rumah yang berduka tak lagi sedemikian angker.
KOMENTAR
Latest Comment