Wawancara Tuan Guru Bajang: Dalam Islam Tidak Ada Istilah Mayoritas dan Minoritas

2 Mar 2023 19:03 WIB

thumbnail-article

Tuan Guru Bajang

Penulis: Akbar Wijaya

Editor: Akbar Wijaya

Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi dikenal sebagai ulama tafsir al-Qur'an dan hadist yang bukan hanya memiliki pengetahuan Islam mendalam. Pemikirannya dianggap sebagian kalangan turut mempengaruhi khazanah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.

Namun sebagai politikus ia dikenal acap berpindah-pindah partai. Tuan Guru Bajang pernah menjadi anggota DPR RI Partai Bulan Bintang, lalu menjadi kader Partai Demokrat, kemudian berpindah menjadi kader Partai Golkar, dan terakhir berlabuh ke Partai Perindo.

Manuver Tuan Guru Bajang meloncat-loncat dari satu partai ke partai lain acap dianggap sebagian pihak sebagai cerminan sikap politiknya yang pragmatis dan nirideologis.

Dugaan itu kian kental ketika Tuan Guru Bajang yang merupakan intelektual Islam berkongsi politik dengan Harry Tanoedibjo di Partai Perindo dengan mendapat posisi strategis sebagai ketua harian.

Medio 17 Februari 2024 lalu Narasi mewawancarai khusus Tuan Guru Bajang guna mendapat jawaban yang lebih lugas soal alasannya berpindah-pindah partai. 

Dalam wawancara ini kamu juga menggali pandangan dan pemikirannya tentang relevansi cita-cita negara Islam yang disuarakan sejumlah kalangan, termasuk gagasan yang hendak ditawarkan Perindo dalam percaturan politik 2024 mendatang.

Berikut wawancara yang dipandu jurnalis dan produser Narasi M. Akbar Wijaya:

Tuan Guru dan Harry Tanoe memiliki background yang sangat berbeda. Tuan Guru seorang ulama, cendikiawan, pemikir Islam sedangkan Harry Tanoe seorang pengusaha, konglomerat, yang terkadang dilihat masyarakat secara insinuatif sebagai kelompok masyarakat yang tidak memiliki ideologi dalam politik. Di mana titik perjumpaan antara Tuan Guru dan Harry Tanoe di Partai Perindo ini?

Jadi memang diskusi saya dengan beliau cukup panjang. Kalau dihitung rentang waktu, lebih dari satu tahun. Saya lihat beliau cukup berkomitmen. Kata ‘persatuan’ itu beliau seperti sesanti. Beliau sangat obsessed dengan Indonesia tetap satu, tetap kokoh.

Cuma instrumen yang paling vital menurut beliau untuk menghadirkan persatuan yang otentik bukan karena dipaksa-paksa, tetapi semuanya menjalani persatuan dengan nyaman yaitu kesejahteraan.

Jadi karena itu menurut beliau, jalan kita di Indonesia untuk mengokohkan persatuan, dengan rentang waktu yang berbeda-beda, dengan tantangan yang beragam, itu adalah mutlak, dengan masyarakat Indonesia harus sejahtera.

Jadi perbanyak dan perbesar, sebesar-besarnya, middle-class Indonesia. Kalau middle class sudah besar, politik pasti akan sehat.

Kemudian juga cita-cita bahwa semua aktivitas kita ini harus memperkokoh kita sebagai bangsa. Jadi nggak boleh, misalnya anda di dunia jurnalistik, saya di dunia politik, kita bekerja, tetapi ujungnya, outputnya, melemahkan ikatan kita sebagai bangsa.

Nah masalah latar belakang profesi, menurut saya, kadang kita harus jernih melihat, misalnya, yang biasa disebut oligarki. Saya melihat kita harus adil sejak dalam pikiran.

Seseorang memiliki akumulasi kapital, harus dilihat rekam jejaknya seperti apa. Apakah dia usahawan yang menempuh proses, atau dia tiba-tiba kaya karena KKN. Kan kita bisa lihat itu. Tidak ada makhluk mitos di republik ini, semuanya makhluk historis. Termasuk pak Harry. 

Jadi kita tidak boleh mengembangkan pandangan yang mendiametralkan antara orang punya dan orang tidak punya. Tidak boleh membangun insinuasi bahwa kelompok yang memiliki kapasitas ekonomi yang besar, itu otomatis tidak baik. Ini kan bahaya juga.

Karena saya dulu juga rasakan di pesantren, kenapa di pesantren, atau di kalangan grassroot, di kalangan umat islam, aktivitas ekonomi tidak terlalu dipentingkan di sebagian tempat?

Karena, misalnya, dibangun persepsi bahwa kaya sama dengan jahat, soleh sama dengan miskin. Miskin sama dengan soleh, kaya sama dengan fasik atau nggak baik. Nah ini tidak benar, karena dalam Islam mencari harta, silahkan ada akumulasi, tetapi pastikan pertama, prosesnya baik, kedua, naikkan hak-nya. Dalam Islam, ada kuantitatif-nya, ada zakat dan segala macam. Ada kualitatif-nya juga, yaitu bisa memberdayakan sekitarnya, ‘an fa’uhum linnas.

Yang saya katakan bahwa, kita sebagai bangsa, bagian juga dari proses kita untuk tumbuh, kita harus pandai-pandai juga memfilter istilah-istilah yang kita bangun di publik. Jangan sampai kita membangun pertentangan kelas itu. Bukan masalahnya anda kaya atu miskin, tetapi bagaimana anda memproses, mendapatkan itu. Bagaimana anda melakukan tanggung jawab sosial terhadap apa yang anda dapatkan.

Tetapi Tuan Guru, pemikiran insinuatif yang mempertentangkan kelas itu kan juga ada akar sejarahnya. Antara komunitas satu dengan yang lainnya?

Jadi memang setiap perspektif itu terbangun bisa seratus persen dari realitas, atau bisa jadi dari serapan realitas yang ada.

Kelakuan dari orang-orang yang memiliki kapital besar, kemudian dilihat oleh publik, "Kok kayaknya mau mendominasi segala sesuatu?" "Kok kayaknya mau memaksakan kehendak?", "Kok kayaknya semua mau diambil?" dan memang ada yang seperti itu juga. Bukan hanya dalam konteks pengusaha, tetapi juga pemilik kewenangan.

Kenapa persepsi publik terhadap institusi tertentu itu negatif? ya karena ada oknum-oknumnya. Dan kadang orang bingung juga, kok oknum tapi banyak sekali.

Jadi semua harus introspeksi. Menurut saya, kita pilah persepsi-persepsi itu dan kita lihat dengan kritis. Dan saya melihat bahwa kearifan yang ada di Indonesia, kita hidup dengan membangun kebersamaan, saling mengisi, saling mengkoreksi tetapi dengan baik. Dan saya melihat bahwa bukan maslahat kita membangun anti ini, anti itu, padahal faktanya nggak selalu benar. 

Banyak yang mempermasalahkan identitas Harry Tanoe sebagai Tionghoa, dan sebagai non-muslim. Double minoritas itu dianggap sebagai persoalan dalam dunia politik di Indonesia oleh sebagian pandangan. Bagaimana Tuan Guru mengklarifikasi anggapan seperti ini?

Saya lahir di kalangan pesantren dan dibesarkan dengan Islam, saya melihat dengan kacamata islam, bagaimana Islam memandang.

Islam ini kan sudah selesai dengan urusan warna kulit, perbedaan agama, perbedaan suku, kalau dalam surah Al Hujarat kan jelas syu’uba wa qooba ‘ila lita’aa rofu. Matanya sipit atau belo, kulitnya putih atau hitam, sukunya apa, bahkan agamanya apa, itu artinya kita mengingkari kaidah li ta’arofu yang ada di dalam Al-Quran, itu dari agama.

Dari sisi kearifan berbangsa kalau kita mau buka sejarah, Indonesia ini sebelum adanya republik ini, itu sudah ditanam kebaikan oleh semua anak bangsa, dari beragam suku, bahkan yang biasa disebut non-pribumi.

Etnis Arab, Tionghoa, mereka ikut menyiapkan Indonesia merdeka. Ketika mau merdeka pun BPUPKI, PPKI, itu semua kan mengakomodir.

Setelah merdeka, mempertahankan kemerdekaan banyak juga pahlawan kemerdekaan yang dari etnis Tionghoa, non-muslim, katakanlah laksamana John Li. Jadi dari kearifan keagamaan gak masuk, dari kearifan budaya gak masuk, sejarah kebangsaan juga gak masuk. Jadi atas nama apa mau dipelihara? 

Bahkan dari pandangan islam, istilah mayoritas minoritas itu enggak ada, enggak boleh. Coba aja bayangkan, dulu ketika Rasul memimpin di Madinah, itu umat Islam 15%. Kalau sebagian orang menghitung ada 10.000 penduduk Madinah, 4.000 nya orang Yahudi dan 4.500 nya orang Arab non-muslim, dan muslimnya hanya 1.500. Tetapi Nabi memimpin.

Jadi Nabi memimpin dari kaum minoritas, ketika Piagam Madinah itu. Artinya apa? Masa-masa berkembangnya Islam, dan eksperimen pemerintahan yang pertama, itu tercipta karena adanya kebersamaan tanpa melihat minoritas mayoritas. Dan itu diwariskan terus oleh Islam. Di mana islam itu tersebar, ke kerajaan-kerajaan Islam di nusantara. Non-muslim tetap bisa berkiprah, sebagai intelektual, sebagai dokter, ahli ekonomi.

Jadi mayoritas-minoritas itu dalam konsep al-Muwattonah, konsep kewarganegaraan, itu nggak boleh. Dan kalau saya, kami itu kan dibesarkan melalui tradisi Al-Azhar, Grand Syeikh Al Azhar itu sering sekali menyampaikan bahwa dalam konsep negara bangsa, satu negara, satu bangsa, kita tidak boleh lagi menyebut mayoritas dan minoritas karena itu bertentangan dengan elan vital Islam yang paling mendasar, yaitu iman dan amal sholeh.

Kontribusi anda, mau itu mayoritas atau minoritas, kontribusi anda seberapa banyak. Jadi itu dalam agama tidak boleh, dalam tradisi kita ber-Indonesia juga nggak pantas. 

Realitasnya dalam politik hari ini masih ada kelompok-kelompok yang mempertentangkan hal tersebut?

Ya itu kan dimainkan karena sentimen elektoral. Mayoritas minoritas itu kan erat kaitannya dengan populisme. Jadi populisme itu adalah bagaimana menarik dukungan dari kelompok yang dianggap besar, mayoritas. Bagaimana caranya? Menggunakan sentimen primordial. Apa sentimen primordial yang paling laku? Ya agama.

Jadi sebenarnya dia satu aliran. Dari isu mayoritas-minoritas, masuk ke populisme, dan ujungnya memainkan politik identitas. Tarik suara saja.

Tuan Guru dipuji oleh Presiden Jokowi sebagai orang yang memiliki gerbong panjang di dunia politik. Bagaimana Tuan Guru memaknai pujian tersebut?

Ya, kan beliau datang sebagai tamu pada saat itu di perhelatan Perindo. Mungkin saya dianggap salah satu tuan rumah. Jadi penghormatan tamu kepada tuan rumah. Saya pikir itu juga bagian dari apresiasi, bukan kepada saya secara pridadi, tapi mungkin ada hal-hal yang beliau anggap baik, dan kita syukuri lah.

Tuan Guru apa saja pembagian tugas dan kewenangan antara Tuan Guru sebagai Ketua Harian dan Harry Tanoe sebagai Ketua Umum DPP Perindo?

Prinsipnya beliau mempercayakan hampir segala hal kepada saya. Secara kolektif, kolegial, kami selalu berdiskusi dengan masalah-maslah yang dianggap penting, internal maupun eksternal. Dan beliau orang yang memang decisive, tapi juga sangat membuka runga untuk diskusi dan itu bagus menurut saya.

Ada soal pembagian kekuasaan nanti seperti apa? Karena kan Harry Tanoe dalam sejarahnya berkeinginan mau maju dalam Pilpres?

Nggak kita belum sampai ke situ. Jadi semua yang kita bicarakan per hari ini adalah bagaimana membesarkan partai Perindo secara maksismal dengan target-target kuantitatif, dua digit. Dan kualitatif kita bisa hadir sebagai tokoh politik yang mewarnai parlemen pusat maupun daerah, temasuk mensupply kader-kader di ranah eksekutif. Karena kita pandang ini penting, karena politik kesejahteraan yang kita harapkan tidak mungkin terwujud kalau kita tidak punya kekuatan legislatif yang signifikan. 

Sebelum di Perindo, Tuan Guru pernah ada di PBB, Demokrat, Golkar. Bagaimana Tuan Guru sebenarnya memaknai partai politik itu sebagai instrumen demokrasi memperjuangkan gagasan dan pemikiran? Menurut Tuan Guru, partai itu rumah perjuangan, atau sekedar tempat singgah?

Jawaban Tuan Guru Bajang mengenai pandangannya soal ideologi partai, absennya politik gagasan para calon pemimpin, dan relevansi cita-cita negara Islam di Indonesia dapat ditonton dalam video di bawah ini.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER