Apa Itu Dissenting Opinion dalam Putusan MK?

23 April 2024 23:04 WIB

Narasi TV

Ilustrasi / Pexels

Penulis: Nuha Khairunissa

Editor: Indra Dwi

Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengutarakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion terkait putusan MK yang menolak gugatan sengketa Pilpres 2024. 

Ketiga hakim yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat memiliki pendapat yang berbeda dengan lima hakim lainnya yang memutuskan untuk menolak seluruh gugatan dari Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

Dalam pernyataannya usai penetapan hasil sidang, Mahfud MD menyebut dissenting opinion baru pernah terjadi sepanjang sejarah konstitusi. Biasanya, hakim akan berembuk sebelum menentukan putusan sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat. 

“Sepanjang sejarah MK, kalau menyangkut pemilu, itu tidak pernah ada dissenting opinion,”  ujar Mahfud, Senin (22/4/2024). 

Mantan Ketua MK itu menyebut dissenting opinion sebaiknya dihindari dalam sengketa pemilu karena menyangkut jabatan seseorang. 

“Nah, ini rupanya tidak bisa disamakan, sehingga terpaksa ada dissenting opinion,” sambungnya.

Lantas, apa yang dimaksud dengan dissenting opinion?

Pengertian dissenting opinion

Mengutip Black Law Dictionary, dissenting opinion berarti pendapat dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang telah dicapai oleh mayoritas. 

Awalnya, dissenting opinion hanya dicatat sebagai bagian dari persidangan tanpa dicantumkan dalam dokumen hasil putusan. Kini, dissenting opinion turut dicantumkan sebagai bagian yang terpisah dari putusan. 

Kendati demikian, dissenting opinion yang diajukan ketiga hakim tidak berpengaruh terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh MK. Hal ini disebabkan putusan MK dianggap sebagai hal yang sudah final dan mengikat. 

Ketentuan terkait dissenting opinion dalam sistem hukum Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), yaitu:

  1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
  2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
  3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR