Peternak Menyoroti Penanganan Penyakit "Lato-Lato" pada Hewan Kurban dan Dampaknya terhadap Ekonomi

21 Jun 2023 12:06 WIB

thumbnail-article

Peternak yang sedang memeriksa ternak sapinya untuk dijadikan hewan kurban. Sumber: Antara.

Penulis: Moh. Afaf El Kurniawan

Editor: Margareth Ratih. F

Kelompok peternak mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani penyakit kulit berbenjol yang umum disebut "lato-lato" pada hewan kurban menjelang perayaan Iduladha tahun ini.

Penyakit ini memiliki dampak negatif terhadap kualitas dan kuantitas daging, sehingga peternak tidak dapat mencapai nilai ekonomi yang optimal dari hewan ternak mereka.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 5412/SE/PK.430/F/05/2023 tentang Pelaksanaan Qurban dan Pemotongan Hewan dalam Pencegahan Penyebaran Penyakit Kulit Berbenjol (Lumpy Skin Disease/LSD) dan Kewaspadaan terhadap Penyakit Peste Des Petits Ruminants (PPR).

Surat edaran ini mencakup empat poin utama, yaitu mitigasi risiko, komunikasi publik, pengawasan, dan pelaporan.

Dalam upaya mitigasi risiko LSD, SE yang dikeluarkan pada Rabu (14/6/2023) tersebut menetapkan persyaratan kesehatan hewan yang harus dipenuhi untuk hewan kurban.

Salah satu persyaratan tersebut adalah bahwa sapi atau kerbau tidak boleh menunjukkan gejala klinis parah, seperti adanya benjolan yang menyebar di tubuh, benjolan yang pecah dan berubah menjadi koreng, atau terbentuknya jaringan parut. Gejala-gejala ini dapat memengaruhi kerusakan pada kulit dan daging hewan.

Secara keseluruhan, langkah-langkah mitigasi risiko yang tercantum dalam surat edaran ini berlaku di tempat penjualan hewan kurban dan juga saat pemotongan hewan kurban, baik di rumah potong hewan ruminansia (RPH-R) maupun di luar RPH-R.

Tindakan mitigasi risiko umumnya meliputi pemenuhan persyaratan, pemeriksaan, pengambilan keputusan setelah kematian hewan, serta pencegahan penyebaran penyakit. Subyek mitigasi risiko ini melibatkan pedagang hewan kurban, petugas RPH-R, dan panitia kurban.

Terkesan meremehkan penyakit lato-lato

Menyikapi surat edaran tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Nanang Purus Subendro, menyayangkan kebijakan pemerintah dalam menangani kasus LSD pada peternak.

Ia menganggap langkah-langkah yang diambil terkesan meremehkan penyakit ini. Peternak telah mengalami kegagalan dalam menikmati momen kurban pada tahun 2021 akibat pandemi Covid-19 dan tahun 2022 akibat wabah penyakit mulut dan kuku.

Tahun ini, mereka tidak dapat menikmati momen kurban karena adanya penyakit LSD. Dalam penjualan hewan kurban, nilai sapi yang sembuh dari LSD dapat turun hingga 25 persen.

Daging sapi yang terserang penyakit tersebut menunjukkan bekas berwarna coklat kehitaman, sehingga tidak diminati oleh pasar.

Oleh karena itu, Nanang Purus Subendro berpendapat bahwa pemerintah seharusnya mengintensifkan vaksinasi sebagai prioritas dalam penanganan LSD untuk menyelamatkan hewan ternak yang masih sehat.

Ia memperkirakan harga vaksin LSD berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per dosis, dengan setiap ekor hewan ternak membutuhkan satu dosis. Sasaran vaksinasi diperkirakan mencakup 70 persen dari populasi sapi ternak, yang berdasarkan data Statistik Peternakan mencapai 20,37 juta ekor pada tahun 2022.

Nanang Purus Subendro juga menyampaikan bahwa pemerintah perlu menggencarkan impor vaksin LSD secara massal untuk memenuhi permintaan.

Waktu yang dibutuhkan dari permintaan vaksin hingga diterima oleh peternak sekitar satu bulan. Ia juga menekankan bahwa masa inkubasi virus LSD dapat berlangsung hingga 28 hari, sehingga sapi yang terinfeksi belum tentu menunjukkan gejala pada pekan sebelumnya. Jika tidak ditangani dengan serius, LSD dapat menyebabkan penurunan jumlah populasi sapi.

Kesulitan mengakses vaksin

Sementara itu, Anggota Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, Rochadi Tawaf, menyatakan bahwa sejumlah peternak mengalami kesulitan dalam mendapatkan vaksin LSD.

Di sisi lain, daging dari sapi yang terkena LSD sulit terjual. Ia juga menekankan bahwa hewan yang dijual sebagai hewan kurban harus dalam kondisi sehat.

Sapi Bali menjadi komoditas strategis dan unggulan di Provinsi Bali. I Wayan Lumur, pemilik ternak sapi Bali sekaligus Ketua Kelompok Ternak Dharma Semara, Banjar Semaga, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, menyatakan bahwa meskipun ada kasus LSD, ia tetap akan memelihara sapi Bali.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan, Syamsul Maarif, menjelaskan bahwa surat edaran tersebut telah disesuaikan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang terbaru.

Jumlah hewan ternak yang dipotong saat perayaan Iduladha biasanya mencapai 1,8 juta ekor. Tiga hingga empat bulan sebelum Iduladha, jumlah lalu lintas hewan ternak sangat tinggi.

Syamsul Maarif mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 42.000 titik pemotongan hewan dan sekitar 25.000 tempat penjualan hewan kurban, namun hanya ada 485 unit RPH yang aktif.

Pemerintah akan mengerahkan tenaga paramedis untuk membantu dalam pemantauan, serta melibatkan mahasiswa dari fakultas kedokteran hewan di berbagai universitas.

Pentingnya pemeriksaan hewan kurban

Vetnizah Juniantito dari Divisi Patologi Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University mengimbau untuk memastikan pemeriksaan terhadap hewan kurban sebelum dipotong guna mendeteksi kelainan.

Meskipun LSD tidak termasuk dalam zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia), penyakit ini dapat menurunkan kualitas dan kuantitas daging serta memungkinkan penyebaran bakteri penyakit. Oleh karena itu, hewan ternak yang terinfeksi LSD tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

LSD pada hewan ternak, yang juga dikenal sebagai penyakit "lato-lato", disebabkan oleh infeksi virus capricox. Gejala LSD meliputi timbulnya benjolan yang berkembang menjadi koreng dan luka terbuka pada tubuh hewan ternak.

Hewan yang terkena LSD dapat mengalami penurunan berat badan dan tidak layak untuk dipotong dan dikonsumsi.

Menurut data dari World Organisation for Animal Health, kasus pertama LSD di Indonesia terjadi pada Februari 2022 dan masih terus berlangsung. Hingga awal Mei 2023, penyakit LSD telah menginfeksi sekitar 22.000 hewan di 13 provinsi di Indonesia.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER