27 Februari 2023 13:02 WIB
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
Apakah kamu termasuk orang yang merasa heran ketika mendengar ada oknum kepolisian terlibat bisnis narkoba?
Jika iya, kamu mungkin bertanya-tanya kenapa bisa aparat yang mestinya memberantas narkoba kok bermain mata dengan para bandar dan pengedar.
Oke, sebelum mengurai jawaban dari pertanyaanmu itu, mari kita lihat beberapa contoh kasus yang belakangan ramai dibicarakan.
Kasus ini mencuat saat Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Tana Toraja mengelar keterangan pers pada Rabu (15/2/2023) dengan menghadirkan empat tersangka pengedar sabu.
Para tersangka merupakan bagian dari jaringan pengedar narkoba kelompok Daeng Kilo di Kabupaten Toraja Utara berinisial: RL, EV, AG, dan SR alias Daeng Kilo. BNN menyita barang bukti berupa 43,55 gram sabu dan uang senilai Rp2,5 juta.
Usai Kepala BNNK Tana Toraja AKBP Natalya Dewi Tonglo memberikan keterangan kepada wartawan, salah satu dari empat tersangka tiba-tiba menyela pembicaraan.
"Bisa saya bicara Bu?," tanya salah seorang tersangka kepada Dewi.
"Iya kenapa," jawab Dewi.
Lantaran sudah mendapat izin, tersangka lalu membalikan badan dan mengatakan bahwa praktik bisnis narkoba yang selama ini ia lakukan sebenarnya dibekingin aparat Polres Toraja Utara.
"Kami berani begini karena kami dilindungi dari bawah, Polres," ungkapnya.
Mendengar pernyataan tersebut Dewi langsung menghentikan pembicaraan. Namun video rekaman momen tersebut viral di media sosial.
Dalam keterangan pers Senin (20/2/2023) Dewi berdalih bahwa tersangka yang mengaku dibekingi aparat Polres Toraja Utara sedang di bawah pengaruh sabu-sabu.
Namun pernyataan ini dipertanyakan oleh berbagian kalangan.
“Boleh BNN menganggap itu, tapi publik menilai sendiri. Orang mabuk pasti lebih lancar omongannya,” kata Anggota Komisi III DPR RI Dipo Nusantar saat dihubungi Narasi, Kamis (23/2/2023).
Dipo mengatakan dalam benak publik keterlibatan oknum aparat dalam beragam kasus narkoba telah menjadi rahasia umum.
Sehingga alih-alih membantah, BNN dan Kepolisian harusnya segera mengusut tuntas pernyataan tersangka. Sebagian warga maya (netizen) juga mempertanyakan klaim Dewi, sebab bagaimana mungkin para tersangka yang telah ditangkap sejak 11 Februari 2023 masih ada dalam pengaruh sabu-sabu saat konfrensi pers pada 15 Februari 2023.
“Kita BNN, Polres, sebagai penegak hukum, kita introspeksi lah. Nggak usah bantah-bantah, udah menjadi rahasia umum kok itu,” kata Dipo.
Dipo menyebut kampanye pemberatasan narkoba akan sia-sia selama aparat masih memanfaatkan kasus narkoba untuk kepentingannya sendiri.
"Kita percuma gembor-gembor soal narkoba kalau yang bawa (polisi) sendiri, apa bila betul itu pengakuan. Telusurin itu. Kapolres, mulai dari bawah sampai ke atas. Apalagi ini kan kasus Jendral bintang dua belum selesai juga,” ujarnya.
“Bayangin kabupaten orang berani ngaku gitu, gimana di pusatnya. Kita harus hati-hati. Mabes Polri harus turun tangan, harus ditangani betul-betul siapa yang terlibat.”
Rabu (22/2/2023) Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Komang Suartana membenarkan keterlibatan personel Satresnarkoba Polres Toraja Utara berinisial Bripka G sebagai beking narkoba jenis sabu-sabu jaringan Daeng Kilo.
Kapolres Toraja Utara AKBP Eko Suroso mengungkapkan berdasarkan hasil pemeriksaan paminal (pengamanan internal) diketahui para bandar narkoba selalu berkomunikasi dengan Bripka G sebelum melakukan aksinya.
Bripka G sudah diamankan dan sedang menjalani penempatan khusus.
Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri meminta Bripka G dipecat dari kepolisian jika memang terdapat bukti-bukti yang cukup terkait keterlibatannya sebagai beking narkoba.
Melihat fakta yang terjadi di Kabupaten Tana Toraja benakmu mungkin ingin berkata:
"Bripka G bukan satu-satunya polisi yang membekingi bisnis narkoba.", "Kasus semacam ini pasti juga terjadi di tempat lain.", "Narkoba sulit diberantas karena aparat penegak hukumnya bermain mata dengan para bandar.".
Kata-kata yang berbunyi di benakmu itu juga dirasakan Anggota Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) Ma’ruf Bajammal.
Ma'ruf mengatakan keterlibatan personel polisi membikingi bandar narkoba di Kabupaten Toraja hanya satu dari sekian banyak kasus wewenang aparat menangani perkara narkotika.
“Itu hanya bagian kecil yang terungkap di media” kata Ma’ruf kepada Narasi, Kamis (23/2/2022).
Ma'ruf mengatakan kasus keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba sudah lama ia dengar. Misalnya saja dalam kasus yang melibatkan eks Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Teddy Minahasa dan empat anggota kepolisian aktif lainnya yakni Aipda AD, Kompol KS, Aiptu J dan AKBP D.
Belum lagi kasus bandar narkoba Fredy Budiman (FB) pada 2016 silam di mana terungkap aliran dana pemerasan sebesar Rp 668 juta kepada mantan Kapolres Kepulauan Riau, Perwira KPS, dari jaringan narkoba FS, Akiong.
“Ini gambaran bagaimana rentannya penyalahgunaan terjadi di tingkat penyidikan” kata Ma’ruf.
Mengapa penyalahgunaan wewenang terjadi? Ma'ruf mengatakan hal ini karena wewenang besar yang diberikan kepada kepolisian tidak dibarengi dengan pengawasan.
Ma'ruf menyontohkan kepolisian berwenang menahan, menagguhkan penahanan, dan menggeledah tanpa melibatkan pengawasan dari institusi lain.
“Begitu besar kewenangan penyidik dalam mengungkap perkara, tidak jarang ada penyalahgunaan” ujarnya.
Sehingga, kata Ma'ruf, pelaksanaan teknik pembelian terselubung (controlled delivery) atau penyerahan di bawah pengawasan (undercover buy) dapat dengan mudahnya dimanfaatkan aparat untuk mendapat keuntungan melalui pemerasan.
“Ini kan teknik yang membuka ruang-ruang penyalahgunaan yang terjadi oleh penegak hukum tapi tidak mendapat perhatian serius bagi pemerintah,” katanya.
“Saya yakin ini ke depan pasti akan muncul terus menerus,” sebutnya.
Ma’ruf mengatakan persoalan narkoba juga berakar pada pendekatan keliru aparat. Ia mengatakan para pengguna sering kali diperlakukan sebagai pelaku bukan korban. Padahal, menurut Ma'ruf penanganan terhadap pengguna mesti dilakukan dengan pendekatan intervensi kesehatan dan rehabilitasi, bukan pidana.
“Padahal yang dibutuhkan pengguna narkotika itu bukan penegakkan hukum, tapi intervensi kesehatan. Itu yang harusnya dilakukan. Harusnya itu yang dilakukan BNN” jelas Ma’ruf.
Ma’ruf mengatakan banyak pelaku kasus narkotika berasal kelompok rentan akibat keterbatasan ekonomi dan kemiskinan. Alih-alih menangkap bandar utama, banyak aksi penegakan hukum yang hanya menyasar kelompok rentan.
“Dan yang menjadi problem yang ditangkap itu bukan bandar besar. Hanya sebatas pengguna. Atau kurir yang karena keterbatasan ekonomi rentan dieksploitasi karena kemiskinan. Akhirnya mereka yang jadi korban penegakan hukum,” kata Ma’ruf.
Pendekatan pidana tanpa pandang bulutu dalam penyelesaian kasus narkotika juga dinilai menimbulkan masalah lain seperti overcrowding penjara.
“Hari ini lapas kita penuh karena perkara narkotika” ujarnya.
Dengan ini, Ma’ruf menyatakan penegakan hukum penjara seharusnya hanya dilakukan sebagai ultimum remedium, bukan premium remedium. Artinya pidana adalah jalur terakhir hanya jika upaya lain terbukti gagal.
KOMENTAR
Latest Comment