Bagi Mereka TV Analog Seperti Teman, Mengapa Pemerintah Mendikte Kenikmatan Warganya?

6 Nov 2022 22:11 WIB

thumbnail-article

null

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Mereka tidak peduli benar soal kualitas gambar dan suara tv digital. Lantas, mengapa pemerintah harus mendikte kenikmatan mereka?


Sri Purwanti tidak sedang melakukan apa-apa saat saya menyambangi kontrakannya di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (4/11/2022) lalu.

Hari itu sekitar pukul 09.30 WIB Sri baru saja menunaikan tugasnya sebagai pengantar-jemput sekolah anak tetangga.

Sambil menunggu waktu menjemput pulang sekolah tiba, Sri biasanya mengisi waktu sambil menonton televisi. Entah berita atau sinetron berlatar konflik rumah tangga. 

Namun hari itu terasa berbeda dari sebelumnya, Sri menunggu dalam sepi.

Sejak pemerintah menerapkan program Analog Switch Off (ASO) per 2 November 2022 lalu di Jabodetabek, televisi tabung milik Sri praktis tak bisa lagi menangkap siaran.

Kebijakan ini pertamakali disadari Sri saat sang suami Budi menonton televisi di malam hari.

“Lho kok bercek (bercak) semua. Tinggal ‘semut-semut’ gitu. Oh iya baru ingat kan ada pemberitahuan dimatikan. Benar-benar mbak, dibikin kaget,” kata Sri kepada saya.

Budi, suami Sri bekerja sebagai petugas Penanganan Prasaranan dan Sarana Umum DKI atau pasukan oranye. Saban hari kerja, sedari pagi hingga senja, ia membersihkan sampah di bilangan Kemang.

Bagi keduanya dan barangkali rakyat kecil di Ibu Kota lainnya, menonton televisi merupakan ritus yang krusial. Menonton menjadi semacam jalan pelarian dari pepaknya rutinitas harian yang menjemukan.

Benda berbentuk kotak mungil berwarna perak dengan noda kuning di sekelilingnya itu telah menemani Sri sekeluarga selama 16 tahun lamanya, sejak dibeli 2008 lalu.

Televisi menjadi teman Sri menanak nasi, memasak lauk pauk, bersantap malam bersama keluarga, berbincang dengan suami selepas kerja, hingga menina bobokan anak. 

TV Tabung Dianggap Lebih Tahan Rendam

Sejak televisi tabung analognya tak mendapatkan sinyal siaran, Sri dan Budi belum terpikir membeli televisi baru dengan fasilitas penangkap gambar digital.

Pilihan mereka bukan semata-mata lantaran pendapatan yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan harian, tapi juga karena mereka tahu betul betapa rentannya TV digital terhadap ancaman banjir yang hampir saban tahun datang.

Kemang kerap dipandang sebagian orang sebagai kawasan elite Jakarta Selatan. Kompleks perumahannya dihuni kalangan artis, pejabat negara, diplomat asing, pengusaha, hingga eksekutif muda.

Roda ekonomi Kemang diputar lewat binis perhotelan, kerajinan furniture, restoran, coffee shop, supermarket, hingga tempat hiburan malam.

Tapi Sri dan Budi tidak pernah menjadi bagian dari elitisme itu. 

Kontrakan yang mereka diami selama 17 tahun silam, jauh dari kata gemerlap. Garis cokelat setinggi dada orang dewasa membekas di tembok bercat hijau muda kontrakan mereka. Menjadi penanda seberapa parah banjir pernah melanda.

Sudah berkali-kali televisi tabung milik Sri dan Budi terendam luapan air Kali Krukut. Namun benda yang acap dianggap sebagai teknologi ketinggalan zaman itu selalu menolak takluk. Ia masih saja bisa menyala dan menghibur Sri sekeluaga.

“Saya nggak mau melihara TV flat, sebentaran mati. Kena air dikit, LCD mati. Kalau rusak (biaya) service nya kaya beli baru. Ini TV pernah kerendem setengah, masih nyala. Tinggal dibersihkan terus kipas-kipas,” kenangnya penuh kebanggaan.

STB adalah Kemewahan

Membeli Set-Up-Box (STB) untuk mendapat siaran digital juga belum jadi pilihan terbaik dalam waktu dekat. Bagi Sri dan Budi benda berharga ratusan ribu itu adalah kemewahan.

“Kemarin nelpon sama bapak di kampung juga begitu. Langsung pada beli. 350 sama pemasangannya. ‘Ya Allah mahal amat’, kata aku gitu. Kan bosen yak. Di HP Youtube mulu. Nonton sinetron akhirnya jadi nunggu malam di Youtube. Kalo di TV kan enak, cepet, langsung live,” kata Sri.

Pemerintah melalui Kemenkominfo sebenarnya telah menyediakan program pembagian STB gratis bagi warga miskin ekstrem. Per Jumat (4/11/2022) Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim distribusi STB untuk rumah tangga miskin di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sudah 99,3 persen.

"Analog Switch Off (ASO) di Jabodetabek terselenggara, setelah hampir 100 persen RTM (rumah tangga miskin) ekstrem," kata Kementerian Kominfo dalam siaran pers yang dikutip Antara di Jakarta.

Tapi, jangankan mendapatkan, mendengarnya saja Sri belum pernah.

Seperti Kehilangan Teman

Novida yang saban hari bekerja sebagai pekerja rumah tangga juga merasa betapa pun bututnya televisi analog yang ia punya, benda itulah yang selalu menemani hari-harinya di kala sepi.

Maka, ketika pemerintah menerapkan kebijakan ASO tanpa memberi solusi, itu sama seperti halnya mengambil teman setia yang ia punya.

"Seperti kayak teman," kata Novida di kontrakannya bilangan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

“Sepi banget (kalau tidak ada TV). Kemarin TV rusak aja gimana gitu, enggak enak banget. Ada HP juga sama aja. Beda, mendingan TV kata aku. HP itu bosen kalau TV kan nyala terus.” katanya.

Ibu rumah tangga lainnya: Pulung dan Susmiyati ikut menimpali pernyataan Novida.

Bagi mereka, HP tidak bisa menggantikan tayangan televisi. Bukan cuma soal boros kuota, menonton melalui layar HP juga bikin sakit mata.

Televisi menjadi teman mereka dalam menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Selain sinetron, para ibu ini juga senang menyaksikan tayangan serupa kompetisi hafiz Qur'an hingga kompetisi dangdut.

“Masa kerja terus. Habis kerja, pulang istirahat. Ini habis kerja ngga ada TV jadi ya terpaksa duduk aja deh disini ngobrol hehehe” ujar Ibu Susmiyati.

Sehari setelah program ASO resmi diberlakukan, Pulung membeli STB bekas untuk dipasang di TV analognya. Ia juga mengganti antena lamanya demi mendapatkan siaran TV digital yang katanya lebih berkualias secara audio visual.

Namun, entah karena pemasangan yang salah atau STB bekas yang tak berfungsi, televisi Pulung melulu gagal mendapat siaran digital.

Bagi orang-orang seperti Sri, Susmiyati, dan Pulung, ada kenikmatan sendiri saat bisa menonton ragam tayangan yang sudah dinantikan tanpa perlu direpotkan dengan tetek bengek pembelian dan pemasangan STB.

Toh, mereka tidak peduli benar soal kualitas gambar dan suara TV analog yang dianggap tak sebagus TV digital. Lantas, mengapa pemerintah harus mendikte kenikmatan mereka?

Manfaat Siaran Digital

Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kemkominfo) Usman Kansong mengatakan perubahan siaran TV analog ke digital tidak hanya sekadar soal kualitas gambar dan suara.

Menurutnya, masyarakat Indonesia juga bisa mendapat lebih banyak ragam tayangan lantaran jumlah kanal penyiaran yang bertambah.

Kelebihan lainnya, masyarakat juga bisa menikmati layanan ini secara gratis.

“Siaran TV Digital bersifat free-to-air dan bukan TV berlangganan, jadi masyarakat tidak perlu berlangganan ataupun menggunakan kuota paket data internet,” ujar Usman dikutip Antara Sabtu (5/11/2022).

Ia juga menyebutkan lembaga-lembaga penyiaran yang telah melakukan migrasi dari sistem analog ke digital memiliki keuntungan khususnya dalam hal mengadopsi teknologi teranyar dan mengikuti perkembangan siaran TV secara global.

ASO pun memberikan manfaat untuk menyiapkan para pelaku industri di penyiaran bisa memiliki resiliensi yang baik bersaing di era konvergensi.

“Investasi juga akan lebih efisien dalam jangka panjang, sejalan dengan potensi pemanfaatan infrastruktur bersama di era TV digital,” kata Usman.

Sementara itu bagi negara, ASO dinilai memberikan manfaat yang sangat besar terutama dari segi pemanfaatan digital dividen.

Dengan beralihnya layanan analog ke digital, maka pemanfaatan spektrum frekuensi 700 MHz bisa lebih efisien.

Mulai dari peningkatan layanan internet hingga saluran khusus untuk pengingat kebencanaan bisa dihadirkan dengan memanfaatkan digital dividen.

"Efeknya berganda di sektor ekonomi digital, dan memberikan tambahan pemasukan APBN dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain itu juga akan terjadi potensi peningkatan PDB yang signifikan,” katanya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER