25 Maret 2023 15:03 WIB
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
Selalu ada cara bagi para pejabat Indonesia untuk berkilah ketika harta kekayaan mereka jadi sorotan lantaran kelakuan anggota keluarganya sendiri yang doyan pamer di media sosial.
Salah satu cara yang sudah jadi template adalah dengan mengatakan bahwa barang mewah dan bermerek yang dipamerkan merupakan imitasi alias KW.
Hal ini seperti yang dilakukan Sekredaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau SF Hariyanto saat koleksi tas bermerek istrinya Adrias diviralkan di media sosial.
“Masalah tas ini saya pun sedih juga. Kan mereka lihat ini disandingkan totalnya Rp420 juta, padahal hanya Rp2-5 juta beli di ITC Mangga Dua di Jakarta,” kata Hariyanto sambil memperlihatkan tas-tas isterinya.
Di antara tas-tas tersebut terlihat merek Gucci dan Hermes. Adrias juga kerap memamerkan foto-foto liburan ke luar negeri di media sosialnya.
“Kalau isteri saya yang pakai pasti dibilang mahal. Ini tidak ada satu pun yang asli ya, artinya itu fitnah. Silakan ke tokonya ITC Mangga Dua lantai 1 dicek benar nggak,” kata Hariyanto.
Hariyanto jelas bukan pejabat pertama yang menjadikan barang KW sebagai dalih saat barang mewahnya disorot masyarakat. Sejumlah nama lain yang juga pernah melakukannya ialah:
Jendral TNI Moeldoko pernah jadi sorotan lantaran mengenakan jam tangan mewah dalam sebuah pertemuan pada April 2014 silam.
Jam itu bermerek Richard Mille tipe RM 001 Felipe Massa Chronograph ‘Black Kite’. Harganya ditaksir lebih dari Rp1 Miliar.
Merespons kontroversi tentang jamnya, Moeldoko mengklaim jam mewah tersebut ia beli seharga Rp5 juta karena KW. Bahkan, Moeldoko membanting jam itu demi membuktikan bahwa jam tersebut palsu.
Dalam sidang Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi Oktober 2022 silam, seorang jaksa jadi sorotan publik lantaran terlihat menenteng tas branded Fendi. Tas milik jaksa bernama Ema Normawati Widodo Putri diperkiraakan berharga Rp48 juta rupiah.
Namun setelah viral, Kapuspen Kejagung Ketut Sumedana mengkonfirmasi bahwa tas milik JPU tersebut ternyata KW. Tas palsu tersebut dikatakan buatan Sidoarjo, alih-alih barang branded asli.
Persoalannya, para pejabat seperti Sekda Hariyanto, eks Panglima TNI Moeldoko, hingga jaksa Ema seharusnya sadar bahwa menggunakan barang palsu - apalagi memamerkannya - tidak membuat citra mereka lebih baik, bahkan berpotensi diperkarakan secara hukum.
Peraturan tentang produk imitasi alias barang KW telah diatur dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) tentang tindak pidana terkait merek.
Dalam aturan tersebut seseorang yang menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik pihak lain dapat dijatuhkan hukuman pidana yakni penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 Miliar.
Pasalnya, jual-beli barang palsu merugikan ekonomi negara.
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kerugian negara akibat industri tersebut mencapai Rp291 Triliun.
Hal ini karena barang KW tidak dikenai pajak dan merugikan UMKM khususnya industri garmen, pakaian jadi, dan alas kaki nasional.
“Kerugian atas beredarnya barang palsu di Indonesia itu ditaksir bisa mencapai Rp291 Triliun,” kata Bhima kepada Narasi, Selasa (21/3/2023)
Bhima juga menyatakan peredaran barang palsu kerap menurunkan daya tarik investasi. Sebab ini menunjukkan rendahnya minat membeli barang asli yang legal.
“Sehingga bagi brand interenasional ketika ingin membangun kantor pemasaran atau pun basis produksi di Indonesia itu tidak menarik, karena masyarakat lebih tertarik produk murah meskipun palsu,” jelasnya.
Kerugian negara atas barang palsu juga sempat diungap oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP). Dalam laporannya, MIAP mencatat peredaran produk-produk palsu terbukti merugikan ekonomi nasional sampai Rp65,1 triliun dalam satu tahun pada 2014.
Menurut laporan MIAP, pemalsuan juga dapat menyebabkan pemerintah kehilangan pendapatan pajak tidak langsung sebesar Rp424 Miliar.
Di antara banyaknya edaran barang palsu, tujuh industri pembajakan terbesar adalah tinta printer yakni 49,4 persen, pakaian palsu sebanyak 38,9 persen, barang olahan kulit sebanyak 37,2 persen, software yakni 33,5 persen, kosmetik yakni 12,6 persen dan makanan minuman palsu sebesar 12,3 persen.
KOMENTAR
Latest Comment