Hukum Berpuasa Ramadhan tapi Tidak Sholat Tarawih

22 Mar 2024 19:03 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi salat Tarawih di bulan Ramadan. (Sumber: Pexels/Monstera Production)

Penulis: Elok Nuri

Editor: Rizal Amril

Salat Tarawih menjadi salah satu ibadah yang khas dari bulan suci Ramadan selain puasa. Namun bagaimana hukumnya ketika seorang berpuasa tapi tidak salat Tarawih, akankah puasa tetap sah?

Salat Tarawih sendiri memiliki keutamaan yang besar, mengingat amaliah ini tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. semasa hidupnya, yang diteruskan oleh para sahabat dan umat Islam setelah kepergiannya.

Salah satu keutamaan salat Tarawih adalah diampuni dosa yang mengamalkannya pada masa yang lalu-lalu.

Hal tersebut dijelaskan dalam hadis di mana Rasulullah saw. bersabda:

 مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ  (متفق عليه)

Artinya: “Barang siapa melakukan shalat (Tarawih) pada Ramadan dengan iman dan ikhlas (karena Allah ta’âlâ) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘Alaih)

Hukum berpuasa Ramadhan tapi tidak sholat Tarawih

Mengutip dari NU Online, hukum salat Tarawih sendiri adalah sunah yang artinya orang yang puasa Ramadan tapi tidak salat Tarawih tidak akan berdosa.

Lebih lanjut, bagi orang orang yang berpuasa namun tidak Tarawih tetap akan mendapatkan pahala atas puasanya, dan juga tidak akan batal puasa seseorang yang hanya melakukan puasa Ramadan tanpa melaksanakan salat Tarawih.

Orang yang hanya memilih ibadah wajib yaitu puasa Ramadhan, tanpa ibadah sunah yaitu sembahyang Tarawih dijanjikan masuk surga tanpa hisab sekalipun sebagaimana dijelaskan hadis riwayat Muslim berikut ini:

عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنهما أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فقال: أرأيت إذا صليت المكتوبات وصمت رمضان وأحللت الحلال وحرمت الحرام ولم أزد على ذلك شيئا أدخل الجنة ؟ قال نعم رواه مسلم ومعنى حرمت الحرام: اجتنبته ومعنى أحللت الحلال: فعلته معتقدا حله

Artinya, “Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Ya rasul, bagaimana pandanganmu bila aku hanya sembahyang lima waktu, berpuasa Ramadan, menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram. Aku tidak menambahkan sesuatu selain itu. Apakah aku dapat masuk surga?’ ‘Ya, (bisa),’ jawab Rasulullah saw. (HR. Muslim) 

Menurut Imam Nawawi, dalam bukunya Al-Arba‘in An-Nawawiyyah, penjelasan dari “mengharamkan yang haram” dalam hadis di atas adalah menjauhi larangan Allah Swt. 

Sementara maksud dari “menghalalkan yang halal” adalah melakukannya sambil meyakini kehalalannya. (Lihat Al-Imam An-Nawawi, Al-Arba‘in An-Nawawiyyah pada hamisy Al-Majalisus Saniyyah, [Semarang, Maktabah Al-Munawwir: tanpa catatan tahun], halaman 60-61).

Syekh Ahmad Al-Fasyani menjelaskan hadis ini bahwa riwayat itu membolehkan seorang muslim untuk meninggalkan sama sekali ibadah sunah meskipun yang bersangkutan akan kehilangan banyak hal.

 وفي الحديث جواز ترك التطوعات رأسا وإن تمالأ عليه أهل بلد فلا يقاتلون وإن ترتب على تركها فوات ربح عظيم وثواب جسيم وإسقاط للمروءة ورد للشهادة لأن مداومة تركها تدل على تهاون في الدين إلا أن يقصد بتركها الاستخفاف بها والرغبة عنها فيكفر

Artinya, “Pada hadits ini terdapat kebolehan meninggalkan ibadah sunah sama sekali. Kalaupun penduduk sebuah kampung berkomplot untuk meninggalkannya, maka mereka tidak boleh diperangi (diembargo atau diisolasi) sekalipun karena meninggalkan itu berdampak pada luputnya keuntungan besar, pahala berlimpah, jatuhnya muruah, dan penolakan terhadap kesaksiannya. Pasalnya, senantiasa meninggalkan yang sunnah merupakan tanda yang bersangkutan ‘main-main’ dalam beragama. Tetapi jika maksudnya adalah meremehkan dan membenci amalan sunah, maka yang bersangkutan jatuh dalam kekufuran,” (Lihat Syekh Ahmad Al-Fasyani bin Syekh Hijazi, Al-Majalisus Saniyyah fil Kalam ‘alal Arba‘in An-Nawawiyyah, [Semarang, Maktabah Al-Munawwir: tanpa catatan tahun], halaman 61).

Namun jika dilihat dari etika, sikap yang demikian adalah sikap yang kurang baik di sisi Allah Swt., sangat disayangkan jika seseorang yang tidak uzur atau memiliki kesibukan apapun namun tidak melaksanakan ibadah secara maksimal. Hal ini telah disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berikut ini:

Baca Selengkapnya

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER