Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah melaporkan bahwa selama musim kemarau 2025, Tanah Merah di Papua Selatan mencatat suhu tertinggi mencapai 37 derajat Celsius. Penemuan ini menunjukkan dampak dari transisi musim yang dapat mempengaruhi pola cuaca di seluruh Indonesia.
Deputi Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menjelaskan bahwa meskipun suhu di Tanah Merah sangat tinggi, kelembapan udara di wilayah tersebut tetap berada di angka 60 persen. Kondisi kelembapan yang relatif moderat ini berkontribusi pada peningkatan suhu, karena permukaan tanah dapat memanas dengan cepat.
Suhu di Tanah Merah mengalami fluktuasi dari hari ke hari. Dalam beberapa hari setelah mencapai 37 derajat Celsius, suhu menurun menjadi 33,4 derajat Celsius dan mengalami variasi yang menunjukkan dinamika cuaca lokal yang normal.
Faktor penyebab suhu tinggi
Faktor pertama yang mempengaruhi tingginya suhu di Tanah Merah adalah kondisi cuaca yang cerah tanpa banyak awan. Ini memungkinkan radiasi matahari mencapai permukaan tanah secara maksimal, sehingga mempercepat proses pemanasan.
Andri menambahkan bahwa karakteristik permukaan tanah di Tanah Merah cepat menyerap panas. Selain itu, minimnya pergerakan angin di wilayah tersebut menyebabkan akumulasi panas yang lebih besar di permukaan tanah, memperparah suhu tinggi.
Posisi semu Matahari yang dekat dengan ekuator juga berperan dalam meningkatkan intensitas sinar matahari. Ini menyebabkan sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya di Papua Selatan, mengalami suhu yang lebih tinggi selama periode transisi musim ini.
Proyeksi musim kemarau 2025
BMKG memperkirakan bahwa peralihan angin monsoon dari Asia ke Australia akan memicu awal musim kemarau. Proses ini dimulai pada Maret dan berlanjut hingga April, dengan beberapa wilayah mulai mengalami dampak kemarau lebih awal.
Puncak musim kemarau 2025 diprediksi terjadi pada Juni dan Juli. Pada periode ini, beberapa daerah mungkin menghadapi cuaca panas ekstrem yang dapat memicu kekeringan. BMKG telah mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap kondisi ini.
Beberapa wilayah yang diproyeksikan akan mengalami dampak signifikan dari musim kemarau mencakup Lampung, pesisir utara Jawa, dan sejumlah daerah di Kalimantan serta Papua bagian selatan. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa temperatur dan pola curah hujan akan bervariasi di setiap daerah.
Persiapan menghadapi musim kemarau
Dalam menghadapi musim kemarau, BMKG merekomendasikan sektor pertanian untuk menyesuaikan jadwal tanam. Hal ini penting untuk memastikan bahwa produktivitas tidak terganggu selama periode dengan curah hujan rendah.
BMKG juga memperingatkan tentang peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Masyarakat diminta untuk meningkatkan kesiapsiagaan, terutama di daerah-daerah yang rawan kebakaran dan diprediksi mengalami musim kemarau yang lebih kering dari normal.
Pengelolaan sumber daya air menjadi prioritas dalam menghadapi kemarau. BMKG mengingatkan pentingnya menjaga keberlanjutan dan efisiensi penggunaan air, terutama di wilayah yang kemungkinan akan terdampak kekeringan.
Dengan berbagai proyeksi dan imbauan ini, BMKG berupaya untuk memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk meminimalisir dampak negatif dari musim kemarau.