Korban tewas akibat gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang Myanmar pada 28 Maret 2025 lalu telah mencapai lebih dari 2.000 jiwa. Angka ini terus meningkat seiring dengan upaya pencarian korban yang terus dilakukan. Tim pencari dan penyelamat dari berbagai negara, termasuk Indonesia, telah dikerahkan untuk memberikan bantuan dan mencari korban yang mungkin terjebak di reruntuhan bangunan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan permohonan mendesak untuk bantuan internasional guna membantu menangani situasi bencana ini.
WHO menilai Myanmar membutuhkan US$8 juta atau Rp132,43 miliar (US$1=Rp16.554) untuk menyelamatkan para warga dan mencegah wabah penyakit selama 30 hari mendatang usai diguncang gempa.
"Anggaran itu untuk menyelamatkan nyawa, mencegah penyakit, dan menstabilkan serta memulihkan layanan kesehatan penting," kata WHO dalam keterangan tertulisnya seperti diberitakan AFP, Minggu (31/3).
Dukungan korban dan dukungan internasional
Sebagai respons terhadap permintaan bantuan, pemerintah Indonesia mengirimkan 12 ton bantuan logistik menggunakan pesawat Hercules. Bantuan tersebut mencakup tenda serba guna, selimut, makanan siap saji, dan peralatan medis. Tim yang terdiri dari personel TNI dan pemadam kebakaran juga turut berangkat untuk membantu dalam upaya penyelamatan di lokasi bencana.
Negara-negara lain juga memberikan dukungan, termasuk China, India, dan Filipina. Namun, distribusi bantuan terhambat oleh kerusakan infrastruktur dan jaringan komunikasi yang terganggu. Banyak daerah yang belum menerima bantuan yang memadai, dan warga di lokasi terdampak harus berjuang untuk bertahan hidup.
Keadaan darurat di Thailand
Gempa tersebut tidak hanya mempengaruhi Myanmar, tetapi juga menyebabkan kerusakan parah di Thailand. Di Bangkok, jumlah korban tewas mencapai 19 orang, dengan sebagian besar dari mereka meninggal akibat runtuhnya gedung yang sedang dalam proses pembangunan. Dalam insiden tersebut, diperkirakan sekitar 75 pekerja masih terperangkap di dalam reruntuhan.
Tim penyelamat dan warga setempat bergerak cepat untuk mencari dan memberikan bantuan kepada yang terperangkap. Aktivitas penyelamatan berlangsung terus-menerus meskipun situasi sangat sulit.
Tantangan komunikasi dan pemulihan
Kondisi di daerah terdampak semakin diperburuk oleh gangguan jaringan komunikasi. Laporan menyebutkan bahwa banyak daerah tidak memiliki akses ke layanan telepon dan internet, yang mempersulit koordinasi upaya penyelamatan. Reruntuhan bangunan dan kerusakan infrastruktur juga menghambat perjalanan tim penyelamat ke lokasi-lokasi yang terisolasi.
Di samping itu, kekurangan pasokan medis dan pemadaman listrik di beberapa wilayah meningkatkan kesulitan bagi para penyelamat dan korban. Banyak rumah sakit di Myanmar kewalahan dan mengalami kesulitan untuk menangani jumlah pasien yang terus meningkat.
Sementara itu, masyarakat di daerah yang terkena dampak terus berharap ada peningkatan dalam distribusi bantuan agar mereka dapat pulih dari bencana ini. Dalam situasi yang sangat sulit ini, upaya kolaboratif antara pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat setempat sangat diperlukan untuk mencapai pemulihan yang efektif.