Di tengah kritik bertubi-tubi PDI Perjuangan kepada Jokowi, Presiden Prabowo Subianto malah mengundang Presiden ketujuh Republik Indonesia itu makan malam di kediaman pribadinya di Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pesan politik apa yang bisa kita baca melalui pertemuan ini? Mengapa Prabowo terkesan masih menganggap Jokowi sebagai faktor politik yang lebih penting ketimbang PDI Perjuangan? Hubungan simbiosis mutualisme seperti apa yang membuat relasi Jokowi-Prabowo sukar dipatahkan?
Pertemuan di Tengah Tudingan
Kemesraan selama kurang lebih 19 tahun (sejak Pilkada Solo 2005) antara Jokowi dan PDI Perjuangan berantakan setelah keduanya berdiri pada posisi politik yang saling berseberangan saat Pilpres 2024 lalu. Ketegangan keduanya berlanjut menjelang dan setelah Pilkada 2024.
Dalam sejumlah konferensi pers, PDI Perjuangan tak segan menyebut Jokowi sebagai bagian dari sisi gelap demokrasi Indonesia. Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, misalnya, menyebut sisi gelap demokrasi pada diri Jokowi digerakkan oleh ambisi kekuasaan yang tidak pernah berhenti. Ia menuding Jokowi terlibat dalam penggunaan instrumen kekuasaan seperti kepolisian dan penjabat kepala daerah untuk merekayasa hasil Pilkada 2024.
"Sisi gelap demokrasi ini digerakkan oleh suatu ambisi kekuasaan yang tidak pernah berhenti. Ini adalah perpaduan dari tiga aspek: ambisi Jokowi, gerakan Partai Cokelat, dan PJ Kepala Daerah. Ini menjadi kejahatan terhadap demokrasi," kata Hasto dalam konferensi pers di kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (28/11/2024).
Setali tiga uang dengan Hasto, Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Sitorus juga melontarkan kritik tajam kepada Jokowi. Dalam retorika yang disampaikan kepada awak media, Deddy menyebut pelanggaran dalam Pilkada 2024 dan Pemilu Presiden sebelumnya adalah manifestasi dari budaya politik yang disebut Jokowisme.
Menurut Deddy, Jokowisme menciptakan sistem yang memanfaatkan instrumen negara untuk memobilisasi kekuatan dan memanipulasi hasil pemilu. Pernyataan Deddy juga menggambarkan Jokowisme sebagai sistem politik besar yang memiliki jaringan kuat, kemampuan penggalangan dana, serta dukungan kelompok tertentu.
Melalui narasi ini, PDI Perjuangan tampak mencoba mengonstruksi citra Jokowi sebagai figur yang menggunakan kekuasaan untuk tujuan pragmatis, bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai demokrasi.
"Budaya politik buruk ini kami namakan sebagai budaya Jokowisme karena bermula pada saat seorang penguasa bernama Jokowi, dengan segala cara dan kekuasaan yang dimilikinya, melakukan upaya-upaya untuk menghasilkan pemilu sesuai keinginannya," ujar Deddy.
Upaya Memecah Hubungan Jokowi dan Prabowo
PDI Perjuangan juga tampak berusaha memecah hubungan antara Jokowi dan Prabowo melalui narasi bahwa Jokowi menekan Prabowo untuk mendukung sejumlah calon kepala daerah. Hal ini, menurut mereka, bertentangan dengan etika publik seorang pejabat negara setingkat presiden. Dalam pernyataannya, Deddy Sitorus menyampaikan simpati terhadap posisi Prabowo yang dianggap "tidak dihormati" oleh Jokowi.
“Kami bersimpati dan kasihan melihat Presiden Prabowo ketika kami melihat beliau tidak dihormati selayaknya seorang Presiden,” kata Deddy. Ia menambahkan bahwa tindakan Jokowi terkesan memaksa Prabowo menjadi influencer politik untuk calon gubernur tertentu.
"Bayangkan seorang Presiden setelah kunjungan kerja di hari Minggu untuk ke Merauke harus terbang ke rumah seorang mantan Presiden dan kemudian kesan kami dipaksa untuk menjadi influencer calon gubernur, hati kami tersakiti," ujarnya.
Terakhir, Hasto menyatakan bahwa Jokowi dan keluarga sudah tidak lagi menjadi bagian dari PDI Perjuangan. Ibarat tanduk yang patah, hubungan kedua entitas politik ini tampak sukar disambung seperti sedia kala.
Dalam konteks politik semacam itu, pertemuan di Kertanegara seolah menjadi jawaban atas kritik dan manuver yang dijalankan PDI Perjuangan. Keputusan Prabowo mengundang Jokowi makan malam berdua di kediamannya, seolah dimaksudkan untuk memberi kesan keakraban personal yang melampaui kepentingan dan tarik-menarik politik di antara keduanya.
Dilema Prabowo di Tengah Konflik PDIP dan Jokowi
Di tengah ketegangan Jokowi versus PDI Perjuangan, Prabowo tampaknya berada dalam situasi yang serba dilematis. Situasi ini muncul lantaran perolehan suara signifikan 58,59% di Pilpres 2024 lalu tidak dibarengi perolehan suara yang memuaskan di Partai Gerindra. Partai yang dibentuk sejak 2008 ini hanya finish di peringkat ketiga peraih kursi terbanyak DPR RI. Meski mengalami kenaikan jumlah kursi DPR RI dari 78 ke 86, cocktail effect (atau efek ekor jas) dari Prabowo selaku ketua umum dan calon presiden tampak tidak sepenuhnya berdampak ke Gerindra.
Dalam situasi ini Prabowo menyadari bahwa ia membutuhkan dukungan partai politik lebih besar dari yang ia miliki di Koalisi Indonesia Maju. Maka langkah pertama yang ia lakukan begitu dinyatakan menang oleh Mahkamah Konstitusi adalah membangun komunikasi, baik secara langsung maupun melalui utusan, dengan partai-partai lawan seperti PKB, Nasdem, PKS, dan juga PDI Perjuangan.
Dari proses komunikasi ini Prabowo berhasil merangkul tiga partai seterunya di Pilpres 2024: Nasdem, PKB, dan PKS. Tambahan dukungan dari ketiga partai ini turut mengubah akrononim nama koalisi Prabowo dari KIM menjadi KIM-Plus. Di atas kertas, keberadaan KIM-Plus berperan penting dalam memastikan program-program kerja yang dirancang Prabowo tidak amengalami banyak hambatan di DPR. Sebab pemerintahannya telah mengantongi dukungan suara mayoritas di DPR yakni 470 kursi atau setara dengan 81,03%.
Namun demikian, koalisi gemuk dengan banyak partai membuat Prabowo harus menghadapi proses negosiasi yang lebih rumit dan kompleks untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan politik. Sebab ia harus berkompromi dengan lebih banyak kepala dan kepentingan di masing-masing partai politik.
Dalam konteks ini dukungan PDI Perjuangan yang memiliki 110 kursi di DPR atau pemegang suara mayoritas menjadi amat penting. Merangkul PDI Perjuangan sama artinya dengan menyederhanakan proses negosiasi yang rumit dengan dua atau mungkin tiga partai papan bawah sekaligus.
Risiko Merangkul PDI Perjuangan
Persoalannya, membawa PDI Perjuangan ke dalam pemerintahan juga bukan berarti tanpa risiko. Sebagai partai penentu stabilitas pemerintahan, Prabowo mungkin harus membayar mahal dukungan PDI Perjuangan dengan memberikan jatah kursi yang signifikan di kabinet. Jika hal ini terjadi bukan tidak mungkin kecemburuan politik akan muncul di partai-partai pendukungnya yang sejak awal bersusah payah membantu pemenangan.
Partai dengan pengalaman politik panjang, matang, dan memiliki jumlah kursi kedua di parlemen, seperti Golkar misalnya, mungkin tidak akan bisa menerima begitu saja masuknya PDI Perjuangan ke dalam kabinet.
Bukan cuma berpotensi mengganggu hubungan dengan Golkar, langkah Prabowo memasukan PDI Perjuangan ke kabinet juga berpeluang merusak hubungannya dengan Jokowi. Bukan tidak mungkin kesalahan strategi dan komunikasi yang dilakukan Prabowo akan mengubah dukungan politik menjadi pembangkanan dari Golkar dan Jokowi.
Apalagi, rezim Partai Golkar yang dipimpin oleh Bahlil Lahadilla sekarang ini amat sangat kental dengan pengaruh Jokowi. Hal ini misalnya tergambar dari pernyataan Sekretaris Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Derek Loupatty yang menyebut Jokowi dan Gibran sudah menjadi kader kehormatan Partai Golkar meski tidak memiliki KTA atau berstatus kader.
Selain itu, meninggalkan Jokowi demi PDI Perjuangan bisa merusak hubungan Prabowo dengan kelompok pro-Jokowi yang kuat di birokrasi. Jokowi dikenal mampu mengonsolidasikan kekuatan politiknya dengan cerdik, bahkan hingga akhir masa jabatannya ia tidak segan mengganti pejabat strategis dan membuat kebijakan baru yang memastikan keberlanjutan pengaruhnya.
Mengapa Jokowi Lebih Penting bagi Prabowo?
Hubungan Jokowi dan Prabowo bukan sekadar hubungan politik biasa. Keduanya memiliki kepentingan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Jokowi, meskipun tidak lagi menjabat sebagai presiden, masih memiliki pengaruh besar di birokrasi, militer, penegak hukum, dan jaringan politik lokal.
Selama dua periode pemerintahannya, ia menempatkan banyak loyalis di posisi strategis, termasuk 17 menteri yang kini duduk di kabinet Prabowo. Jumlah itu belum termasuk nama Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI Agus Subiyanto, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin Haraharap. Jaringan ini adalah kekuatan yang dapat menopang atau menghambat stabilitas pemerintahan Prabowo.
Bagi Prabowo, hubungan dengan Jokowi adalah aset strategis yang dapat memastikan stabilitas birokrasi di tengah koalisi besar yang dipimpinnya. Dengan koalisi KIM-Plus yang terdiri dari banyak partai, menjaga hubungan baik dengan Jokowi berarti mengurangi potensi konflik internal di pemerintahan. Selain itu, popularitas Jokowi yang masih tinggi di kalangan masyarakat menjadi modal penting bagi Prabowo menjaga legitimasi politiknya.
Sebaliknya, bagi Jokowi, kedekatan dengan Prabowo memungkinkan dia mempertahankan relevansinya dalam politik nasional. Meskipun mendapat kritik tajam dari PDI Perjuangan, Jokowi tetap menjadi aktor penting dalam politik Indonesia. Dukungan Prabowo dapat memastikan bahwa program-program Jokowi, seperti pembangunan infrastruktur, terus berlanjut.
Dalam konteks ini, menjaga hubungan dengan Jokowi menawarkan stabilitas yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan mendekati PDI Perjuangan. Jokowi tidak hanya memiliki pengaruh besar di birokrasi, tetapi juga kapasitas untuk memobilisasi dukungan rakyat. Selain itu, kedekatan dengan Jokowi berarti Prabowo dapat mengelola transisi kebijakan dengan lebih mulus, tanpa hambatan dari jaringan birokrasi yang loyal kepada Jokowi.
Keputusan Prabowo mengundang Jokowi makan malam di Kertanegara mencerminkan pilihan strategis ini. Dalam politik Indonesia, di mana stabilitas kekuasaan sangat bergantung pada aliansi pragmatis, hubungan antara Jokowi dan Prabowo adalah contoh simbiosis mutualisme yang sulit dipatahkan.
Dilema-dilema di atas pada akhirnya merupakan ujian besar Prabowo baik sebagai presiden maupun politikus. Pilihan dan prioritasnya akan menentukan bukan hanya stabilitas pemerintahannya, tetapi juga konfigurasi politik nasional di masa depan.