15 Juli 2022 14:07 WIB
Editor: Akbar Wijaya
Duel pikiran yang melibatkan dua pendekar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM): Eddy O.S. Hiariej versus Zainal Arifin Mochtar terjadi di rubrik opini Harian Kompas.
Duel bermula dari opini berjudul “Penghinaan dan Hukum Pidana” yang ditulis Hiariej dan dimuat Harian Kompas, Kamis (7/7/2022).
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM sekaligus Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI ini mendedahkan bermacam argumentasi mengenai alasan dipertahankannya pasal-pasal penghinaan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Selang beberapa hari kemudian Zainal Arifin Mochtar turun gelanggang memberikan tanggapan. Lewat opini berjudul “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi” yang terbit di rubrik Harian Kompas, Rabu(13/7/2022), Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM ini menguliti satu demi satu argumentasi Hiariej.
Bagaimana keseruan duel pikiran dua pendekar hukum yang patut diapresiasi dan dilestarikan ini? Berikut ulasannya.
Hiariej mengawali tulisan dengan melontarkan sinisme kepada para kritikus pasal penghinaan dalam draf RKUHP. Ia menyebut pasal-pasal yang diributkan para pengkritik sebagai isu basi yang sudah dijelaskan berulang kali. “Sebenarnya pasal-pasal penghinaan yang diributkan adalah isu basi yang sudah dijelaskan berkali-kali,” kata Hiariej.
Sinisme Hiariej dilandasi argumentasi bahwa sepanjang 2021 pemerintah dan DPR telah menyosialisasikan ketentuan dalam RKUHP di 12 provinsi, termasuk pasal-pasal penghinaan yang diributkan bermacam kalangan.
Namun, kata Hiariej, berbagai poster dan tulisan yang beredar tentang pasal-pasal penghinaan tidak mengutip secara keseluruhan baik pasal maupun penjelasannya. Ia menuding hal ini sengaja dilakukan untuk: “menimbulkan kegaduhan dan distorsi informasi kepada publik,” ujar Hiariej.
Zainal merespons argumentasi Hiariej tersebut dengan sedikit sanjungan di bagian awal. Ia bilang draf RKUHP ini memang memiliki begitu banyak kemajuan dan terobosan di bidang hukum, namun bukan berarti ia tak memiliki ruang untuk dikritik.
“Terutama terkait begitu banyaknya ancaman pidana yang diberikan dalam kaitan dengan hak menyatakan pendapat, khususnya terhadap negara dan aparatnya,” kata Zainal.
Zainal menyayangkan para penyusun undang-undang yang gagal menciptakan terobosan baru dalam pasal-pasal penghinaan sebagaimana terobosan-terobosan yang terdapat dalam pasal lain di RKUHP.
Seyogyanya, menurut Zainal, pasal penghinaan tak lagi masuk dalam ranah pidana melainkan perlu diseret ke ranah perdata. “Karena sangat berkaitan erat dengan relasi individual,” terang Zainal.
Hiariej mengemukakan alasan normatif mengapa pasal penghinaan dalam RKUHP tetap dipertahankan. Pertama, pasal-pasal penghinaan dapat mengakibatkan pembunuhan karakter. Kedua, tidak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Ketiga, merupakan bentuk ketidakadilan yang melanggar kaidah sopan santun juga norma agama.
Hiariej menggaris bawahi konstruksi pasal penghinaan berikut penjelasannya tidak akan menghalangi kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Sebab, konstruksi pasal ini mengandung delik aduan yang bersifat subyektif tergantung pada orang atau pihak yang diserang nama baiknya. “Artinya, perkara hanya bisa diproses atas dasar pengaduan presiden atau wakil presiden,” kata Hiariej.
Selain itu, pasal penghinaan juga mengandung delik penyebaran yang berarti substansi yang berisi penghinaan harus disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh si pelaku. Terakhir, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh sesuatu hal yang dianggap menghina seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan membuktikan tuduhan itu.
“Hanya yang memiliki kapasitas intelektual kurang memadai saja yang tidak dapat membedakan antara penghinaan dan kritik,” ujar Hiariej.
Zainal membalas argumentasi Hiariej soal "kapasitas intelektual" dengan mengatakan bahwa konstruksi pasal penghinaan dan penjelasannya berpotensi ”karet” lantaran parameter penggunaannya akan menjadi diskresi aparat penegak hukum (APH).
Menurut Zainal para penyusun undang-undang mestinya belajar dari penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memangsa begitu banyak korban salah sasaran dan kemudian memaksa negara mengeluarkan semacam prosedur penggunaannya, karena sifat ”karet”-nya.
“Sering kali, masalahnya bukanlah pada pemahaman publik yang tidak mampu membedakan kritik dan penghinaan, tetapi problem di APH yang acap kali rabun membedakannya karena kecenderungan berpihak kepada penguasa,” kata Zainal.
Duel pikiran Hiariej versus Zainal makin seru dan asik. Kali ini Hiariej melontarkan sanggahan bahwa pasal penghinaan presiden dan wakil presiden bersifat diskriminatif karena seolah-olah memperlakukan presiden dan wakil presiden sebagai warga negara istimewa, padahal sudah ada pasal-pasal penghinaan yang berlaku umum untuk setiap orang.
Menurut Hiariej pasal ini tidak melanggar prisip equality before the low lantaran presiden dan wakil presiden adalah primus inter pares (pertama di antara yang sederajat). “Logika sama pula berlaku bagi tindak pidana yang mengancam nyawa presiden dan wakil presiden, tidak dimasukkan pasal pembunuhan yang berlaku umum, tetapi dikategorikan makar,” ujar Hiariej.
Zainal merespons serangan Hiariej dengan memfokuskan kritik pada analogi yang dibangun Hiariej. Menurutnya: “Logika yang dibangun Hiariej—bahwa presiden dan wakil presiden adalah primus interpares dan karena itu harus dibedakan seperti ketika membedakan pembunuhan atas presiden yang jadi delik makar dan bukan pembunuhan biasa—tentunya kurang tepat.”
Zainal mengatakan makar dan menghina jelas dua hal yang berbeda. Hal ini lantaran yang pertama berimplikasi terhadap kehidupan bernegara. Sedangkan yang kedua hanya berimplikasi terhadap diri pribadi presiden.
“Dalam makar, yang dipidanakan tentunya adalah permulaan pelaksanaannya. Belum lagi, mengapa dikategorisasikan makar dengan dicegah di permulaan pelaksanaannya, karena potensi besar merusak jalannya kehidupan bernegara secara langsung ataupun tak langsung. Jauh berbeda dengan penghinaan atas presiden, yang nyaris tidak berimplikasi apa-apa kecuali atas diri pribadi presiden,” ujar Zainal.
Hiariej menohok para pengkritik pasal penghinaan dengan metode perbandingan. Menurutnya masih banyak negara yang mempertahankan pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara dan penguasa umum.
“Baik yang berbentuk monarki konstitusional maupun republik demokrat, seperti di Inggris, Denmark, Belgia, Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan Turki,” terang Hiariej.
Ia melanjutkan secara substansi kandungan KUHP di semua negara bersifat universal, kecuali dalam tiga hal: kejahatan politik, kejahatan kesusilaan, dan penghinaan.
“Terlebih bagi Indonesia sebagai negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila, penghinaan terhadap siapa pun tidak dapat dibenarkan karena kebebasan berpendapat, berekspresi, dan kritik haruslah berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab,” katanya.
Namun, Zainal membalas argumentasi Hiariej dengan dalil bahwa aturan ala lese majeste yang memang masih berlaku di beberapa negara tak dapat dijadikan pembenaran untuk menerapkannya di Indonesia.
Aturan tentang penghinaan, kata Zainal, sebenarnya merupakan bentuk hukum monarki, yang masih dipertahankan di negara-negara yang punya tradisi monarki yang demokrasinya (terkadang) dipadukan dengan demokrasi parlementer.
Hal tersebut lantaran raja atau ratu adalah simbol negara yang tidak dipilih secara demokratis, tetapi diturunkan secara hereditas (genetik-red.).
Ini, kata Zainal, jelas berbeda dengan posisi kepala negara yang dipilih melalui pemilu secara demokratis sehingga meniscayakan kritik dan ekspresi. Bahkan, lanjut Zainal, dalam sistem presidensial di mana presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, rakyat bukan hanya selaku warga negara, tetapi juga selaku pemilih.
“Relasi yang ada adalah warga negara dan juga sebagai pemilih yang memiliki relasi langsung dengan presiden yang dipilihnya. Itu sebabnya, negara dengan demokrasi presidensial tidak banyak yang menggunakannya,” kata Zainal.
Zainal mengatakan beberapa negara lebih memilih pendekatan perdata dalam penerapan pasal penghinaan, alih-alih pendekatan pidana. “Hanya dalam kondisi teramat khusus, akan dijadikan pidana. Pun, tatkala mau dipertahankan sebagai delik pidana, prinsip equality before the law sebagai prinsip negara hukum demokratis harus diperhatikan,” ujarnya.
Bagi Zainal argumentasi penjelasan Hiariej tentang mengapa pasal penghinaan tetap dipertahankan merupakan bentuk pengabaian terhadap makin merosotnya Indeks Demokrasi Indonesia yang salah satunya karena adanya ancaman represi atas kebebasan berekspresi.
“Tentu saja menambah aturan berpotensi menindas kebebasan berekspresi dan di ujungnya kian melemahkan indeks demokrasi,” katanya.
Argumentasi berikutnya yang diajukan Hiariej mengapa pasal penghinaan tetap dipertahankan adalah lantaran pasal penghinaan terhadap kepala negara asing masih tetap ada di dalam RKUHP dan bahkan juga berlaku di KUHP semua negara.
Sehingga, menurut Hiariej: “Sangat ironi, jika penghinaan terhadap kepala negara asing diancam pidana—ini terdapat di KUHP di seluruh dunia—sementara kepala negara sendiri tak diberi perlindungan hukum terhadap martabat dan nama baiknya,” katanya.
Namun argumentasi itu menurut Zainal tidak tepat digunakan sebagai alasan. Ia menjelaskan pasal penghinaan atas kepala negara lain merupakan penjagaan atas relasi antarnegara yang bersifat resiprokal (timbal-balik).
Bahkan, pasal ini menurut Zainal membutuhkan penerjemahan lebih lanjut dalam konteks-konteks tertentu. Semisal, ada penghinaan dan kritik atas kepala negara lain, tetapi merupakan sikap yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945, apakah tetap merupakan hal yang harus dipidanakan?
“Misalnya, kritik keras kepada negara yang masih melakukan tindakan penjajahan atas negara lain, maka kritisi atas itu adalah bagian dari doktrin dasar negara ‘kemerdekaan adalah hak segala bangsa’ dan ‘penjajahan di atas dunia harus dihapuskan’. Apakah mungkin seseorang dipidana dengan konstruksi demikian?”
Hiariej memperluas pembahasan tentang penghinaan presiden dan wakil presiden ke kekuasaan umum atau lembaga negara yang terdapat dalam Pasal 351 RKUHP. Dalam tulisannya ia mengutip utuh pasal ini yang tampaknya dimaksudkan sebagai usaha untuk tidak mendistorsi dan menimbulkan kegaduhan sebagaimana ia tuduhkan kepada para kritikus:
Pasal 351 Ayat (1), ”Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Pasal 351 Ayat (2), ”Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”. Pasal 351 Ayat (3), ”Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”.
Penjelasan Pasal 351 Ayat (1), ”Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu, perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Yang dimaksud dengan ’kekuasaan umum atau lembaga negara’ antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, atau pemerintah daerah”.
Menurut Hiariej Pasal-pasal a quo adalah pengejawantahan asas kewibawaan dalam hukum pidana. Ia menyebutkan pada 2006, substansi pasal yang sama (Pasal 207 KUHP) pernah diuji di MK dan hasilnya MK menolak gugatan itu dan menyatakan pasal tersebut hanya bisa diterapkan atas pengaduan pihak yang dihina.
“Ketika ada pasal yang diuji di MK dan MK menolak gugatan itu, logika sederhananya pasal yang diuji tak bertentangan dengan konstitusi. Lebih lanjut, substansi Pasal 351 RUU KUHP dirumuskan sesuai putusan MK,” kata Hiariej.
Argumentasi Hiariej dibalas Zainal dengan menyoroti bagian penjelasan Pasal 351 ayat (1) yang secara spesifik menyebut kekuasaan umum atau lembaga negara antara lain adalah DPR, DPRD, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, atau pemerintah daerah.
Bunyi penjelasan itu menurut Zainal menjelaskan apa yang ada di relung kesadaran para penyusun RKUHP ini bahwa lembaga-lembaga tersebut memang kerap bermasalah dan menjadi sasaran kritik.
Frasa “antara lain” dalam penjelasan pasal itu juga tak luput dari kritik Zainal. Menurutnya frasa itu membuat hampir seluruh jabatan dalam lingkup pemerintahan di pusat dan di daerah akan mendapatkan konteks perlindungan ini. “Bayangkan, kemungkinan banyaknya perkara atas ini,” kata Zainal mengingatkan.
Sejalan dengan kritiknya mengenai pasal penghinaan presiden, Zainal mempertanyakan mengapa pasal penghinaan lembaga negara tidak dijadikan delik aduan biasa saja? Lagi pula, kata Zainal, seturut putusan MK, delik penghinaan lebih ditujukan kepada orang yang menjabat bukan lembaganya.
“Jika menjadi delik penghinaan biasa, akan sama dan lebih setara (equal) dengan seluruh rakyat biasa,” kata Zainal.
“Pertanyaan menarik malah bisa dilayangkan, bagaimana jika pejabat yang melakukan penghinaan atas orang biasa dan menimbulkan kerusuhan?”
Frasa “mengakibatkan kerusuhan” pidana bisa melonjak dua kali lipat dalam Pasal 351 ayat (2) juga dipertanyakan Zainal.
“Apa yang menjadi parameter dan magnitudo kerusuhannya? Jika ada bentrokan dengan aparat, apakah itu sudah dianggap kerusuhan? Belum lagi, kalau kerusuhan itu direkayasa, seperti menurut salah satu laporan investigasi NarasiTV, terjadi dalam kasus kerusuhan di depan Bawaslu, Mei 2019. Kala itu ada sekelompok orang dengan seragam yang terorganisasi menciptakan kerusuhan dan hingga saat ini belum terungkap pelakunya. Apakah adanya rekayasa kerusuhan semacam ini bisa jadi alasan ”mengerasnya” ancaman pidana yang ada?”
Di babak akhir argumentasinya Hiariej mengatakan bahwa menyusun KUHP di negara multietnis, multikultur, dan multireligi bukan hal mudah. Maka kekurangan dalam penyusunan KUHP adalah suatu kewajaran. Namun menurut Hiariej pro-kontra beberapa pasal tak menghalangi enam ratusan pasal lain untuk disahkan.
"Pintu MK terbuka lebar bagi setiap individu yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar oleh rumusan pasal-pasal di RUU KUHP. Di sanalah pertarungan argumentasi hukum yang lebih elegan dan bermartabat," ujar Hiariej.
Zainal enggan menerima begitu saja sodoran Hiariej agar pihak yang tak puas dengan RKUHP mengajukan gugatan ke MK. Menurutnya sikap semacam ini tidak layak dikemukakan pejabat penyusun undang-undang.
"Pembentuk UU tidaklah layak bertindak sembrono membuat sampah dengan alasan ada keranjang dalam bentuk MK. Ini tidak fair karena seakan menegasikan kewajiban bagi pembentuk UU untuk memperlakukan UU secara sakral dan menegakkan demokrasi dengan membentuk UU yang menghargai negara hukum demokrasi itu sendiri," katanya.
Selain itu, kata Zainal, kondisi MK saat ini tengah menunjukkan gejala mengkhawatirkan. Di tengah kepungan UU yang buruk, tambah Zainal, MK seakan abai dan malah tidak selesai dengan dirinya sendiri.
"MK yang diharapkan menjadi penjaga demokrasi malah dalam beberapa hal lebih berperan dan terjebak dalam pertarungan nonhukum dan kepentingan yang ada di tubuh MK itu sendiri," tutup Zainal.
KOMENTAR
Latest Comment