Gen Z Banyak yang Menjadi NEET, Hapus Lowongan Diskriminatif dan Tidak Rasional

14 Jun 2024 01:06 WIB

thumbnail-article

Kar Tr / Fotolia

Penulis: Rusti Dian

Editor: Indra Dwi Sugiyanto

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan hampir 10 juta penduduk generasi Z usia 15-24 tahun tidak bekerja dan tidak sedang sekolah (not in employment, education, and training/NEET). Lantas, apa sebenarnya penyebab gen Z banyak yang menjadi NEET?

Survei BPS tersebut masih ramai diperbincangkan dan menimbulkan diskusi tersendiri. Pasalnya, gen Z merasa terus disalahkan dalam setiap masalah yang terjadi. Mulai dari minat membeli rumah yang rendah, penyakit diabetes yang meningkat, hingga masalah pengangguran yang tinggi.

Data BPS tahun 2023 tertulis bahwa sebanyak 9.896.019 orang usia 15-24 tahun tidak sedang menjalani pekerjaan, pendidikan, dan pelatihan. Angka tersebut setara 22,25% total penduduk usia muda di Indonesia. Secara spesifik, terdapat 5,73 juta perempuan dan 4,17 juta laki-laki yang tergolong NEET.

Sebagai informasi, NEET berarti penduduk usia 15-24 tahun yang berada di luar sistem pendidikan, tidak sedang bekerja, dan tidak sedang berpartisipasi atau mengikuti pelatihan. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi kondisi tersebut. Mulai dari keterbatasan finansial, kurangnya akses pendidikan dan transportasi, dan lain sebagainya.

Angka NEET tersebut tentu tidak bisa dilihat secara mentah-mentah. Sebab, golongan NEET terbanyak pada rentang usia 20-24 tahun, yaitu sekitar 6,46 juta orang. Dalam rentang usia tersebut, gen Z sedang atau baru saja menyelesaikan pendidikan. Jadi, ini bisa disebut sebagai masa transisi dari pendidikan menuju kerja.

Persyaratan utopis dalam lowongan pekerjaan

Alih-alih melihat akar masalahnya, pemerintah dan masyarakat sibuk melabeli gen Z sebagai pemalas dan pilih-pilih pekerjaan. Padahal, terdapat sejumlah faktor yang membuat gen Z kesulitan mencari pekerjaan.

Nyatanya, lowongan kerja sekarang cenderung diskriminatif dengan persyaratan yang utopis. Misalnya minimal pengalaman kerja, batas usia maksimal pelamar, peralatan kerja milik pribadi, berpenampilan menarik, minimal pendidikan, dan masih banyak lagi.

Tuntutan-tuntutan tersebut tidak selaras dengan jaminan yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Masih banyak ditemui perusahaan yang tidak bisa memenuhi hak karyawannya seperti gaji sesuai UMR (upah minimum regional), hak cuti, peningkatan kapasitas, dan lain-lain. Belum lagi jam kerja yang terlewat fleksibel sehingga mengaburkan batas antara jam kerja dan jam beristirahat.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menyebut terjadi penurunan lapangan kerja di sektor formal. Pekerja sektor formal yang dimaksud adalah mereka yang memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum.

“Peluang masuk pasar kerja formal di Indonesia kian sulit, termasuk lulusan baru (fresh graduate),” ujar Ida pada Rabu (22/5/2024), dikutip dari Kompas.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih menggunakan logika konvensional dalam melihat dunia kerja. Padahal, lapangan pekerjaan sektor non formal pun turut menopang perekonomian negara. Mereka yang bekerja di sektor non formal diantaranya pekerja lepas (freelancer), seniman, buruh harian, dan lain sebagainya.

Hentikan stigmatisasi pekerja gen Z

Media sosial TikTok sedang ramai membicarakan seseorang yang memberi stigma pada pekerja gen Z. Bahkan ia menyebut secara terang-terangan tidak akan membuka lowongan pekerjaan bagi gen Z dengan alasan tidak bisa bekerja dan banyak menuntut.

Alih-alih dilihat sebagai upaya mendukung lingkungan kerja yang layak, gen Z justru dilabeli banyak menuntut dan pemalas. Padahal, apa yang disuarakan oleh gen Z bertujuan untuk mencapai kesejahteraan pekerja. Bahwa perusahaan harus memenuhi hak setiap pekerja dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan serta tindakan diskriminasi.

Pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu menghilangkan persyaratan diskriminatif dan tidak rasional dalam lowongan kerja. Selain itu, perlu adanya penindakan serius bagi perusahaan yang tidak memenuhi hak karyawannya. 

Dengan begitu, lapangan pekerjaan akan jauh lebih inklusif dan suportif bagi pengembangan karier karyawan.

Topik:

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER