Greenpeace dan YLBHI Diintimidasi Ormas, Peneliti Bilang Mirip Cara Orde Baru Mengontrol Kebebasan

15 Nov 2022 15:11 WIB

thumbnail-article

Momen saat penginapan pengurus YLBHI didatangi Pecalang/ YLBHI

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Rapat internal pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Sabtu (12/11/2022) di Sanur, Bali dibubarkan paksa petugas keamanan tradisional lokal yang biasa disebut pecalang.

Para pecalang memasuki villa penginapan mereka, menginterogasi, meminta KTP, ingin menggeledah ponsel, dan mengajukan bermacam pertanyaan mengenai kegiatan para pengurus YLBHI jelang pembukaan G20.

“YLBHI menduga kuat aparat keamanan menekan petugas-petugas desa untuk mendatangi dan melakukan tindakan-tindakan di atas,” tulis pengurus YLBHI dalam siaran pers mereka.

Beberapa hari sebelumnya para aktivis lingkungan Greenpeace yang bersepeda menuju Bali juga mengalami nasib serupa.

Mereka dihentikan organisasi masyarakat Tapal Kuda Nusantara (TKN), diinterogasi ini dan itu, digeledah, dipaksa tanda tangan surat pernyataan bernada intimidatif, dan dilarang melanjutkan perjalanan ke Bali.

Mengapa aksi-aksi represif terhadap kelompok masyarakat sipil dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil lainnya?

Bagi Ian Wilson, profesor bidang politik dan keamanan di University of Murdoch, Australia apa yang dialami YLBHI dan Greenpeace bukan hal baru dalam perjalanan politik Indonesia.

Pola serupa juga selalu dilakukan Pemerintah Orde Baru. 

“Hal-hal serupa kerap terjadi di masa lalu, di mana organisasi masyarakat digunakan untuk mengganggu atau menekan organisasi dan gerakan sosial progresif. Jadi ini terlihat seperti pola yang familiar bagi saya,” kata Ian kepada Narasi, Selasa (14/11/2022).

Ian mengatakan pada era Orde Baru pemerintah selalu berupaya menjangkau kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk digunakan sesuai kepentingannya.

Misalnya saja menggunakan ormas untuk melakukan “pekerjaan-pekerjaan kotor” yang sejalan dengan tujuan pemerintah, seperti menekan organisasi dan gerakan sosial masyarakat yang tak sejalan dengan agenda negara.

“Ada sejarah panjang antara organisasi masyarakat dan juga pemerintah yang kita bisa lihat terjadi pada masa Orde Baru, di mana pemerintah Orde Baru mencoba mencakup beberapa tatanan sosial dan lalu menggunakannya sebagai bagian dari mekanisme kontrol politik,” ujarnya.

Menggunakan tangan ormas untuk menekan ormas lain memungkinkan pemerintah mendapatkan legitimasi bahwa agenda-agenda mereka juga mendapatkan dukungan dari kelompok masyarakat.

Di saat bersamaan pemerintah bisa terus mengendalikan kontrol atas masyarakat tanpa harus mengotori tangannya secara langsung.

“Salah satu alasannya (mobilisasi ormas) adalah persepsi, untuk memberikan gambaran bahwa ada sebuah konsensus yang luas di masyarakat kepada kepentingan pemerintah,” katanya.

Relasi yang Kompleks

Ian mengatakan perlakuan Ormas Tapal Kuda Nusantara kepada Greenpeace maupun pecalang kepada pengurus YLBHI sangat mungkin berangkat dari mobilisasi pemerintah.

Pemerintah yang di satu sisi ingin mempromosikan bermacam agenda di forum G20, dihadapkan kenyataan bahwa tidak semua ormas menyuarakan pendapat yang sesuai dengan keinginan pemerintah.

“Tidak akan terlihat baik jika pemerintah, yang dipilih secara demokratis, menggunakan aparat resmi negara untuk menekan sesuatu yang dilindungi oleh konstitusi yakni kebebasan berpendapat. (Pemerintah) tidak akan terlihat demokratis sama sekali dan bahkan akan terlihat autoritarian,” kata penulis buku Politik Jatah Preman ini.

Muara dari penggunaan ormas sebagai alat pukul menekan kelompok lain ialah melindungi kepentingan yang ingin dicapai pemerintah. Dalam konteks G20 hal ini dapat dibaca sebagai usaha pemerintah melindungi kepentingan ekonomi politik terkait isu lingkungan yang kerap menjadi perbincangan sensitif dunia.

“Dan yang terjadi di G20 di Bali, Indonesia sebagai tuan rumah pastinya ingin memiliki presentasi yang mulus. Ini menjadi hal yang sensitif untuk Indonesia di mata dunia khususnya karena Indonesia memiliki image dan komitmen tanggung jawab kepada dunia dalam isu lingkungan sedangkan Indonesia juga memiliki ekonomi politik dalam industri minyak sawit yang menjadi isu sensitif untuk organisasi lingkungan. Maka menaikkan isu tersebut menjadi sangat sensitif saat perhatian dunia dan media-media dunia sedang tertuju pada Indonesia.” paparnya.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER