ICW Kritik Kejaksaan Agung Tunda Penanganan Kasus Korupsi ke Peserta Pemilu 2024

25 Aug 2023 00:08 WIB

thumbnail-article

Jaksa Agung ST Burhanuddin/ Antara

Penulis: Dzikri N. Hakim

Editor: Akbar Wijaya

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkritik keputusan Kejaksaan Agung soal penghentian penanganan perkara korupsi kepada para peserta pemilu mulai dari capres, cawapres, caleg, hingga calon kepala daerah.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut keputusan yang dikeluarkan Jaksa Agung ST Burhanuddin tersebut tidak memiliki dasar hukum dan sangat menyesatkan.

“Sebab, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal adanya penundaan karena alasan apapun, terlebih pemilu,” kata Kurnia kepada Narasi, Kamis (24/8/2023).

Menurut Kurnia, Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi lembaga penegak hukum mestinya paham bahwa setiap tingkatan proses hukum memiliki tolak ukur yang jelas.

“Misalnya, jika naik ke tingkat penyidikan, maka penyidik harus memiliki bukti permulaan yang cukup atau minimal dua alat bukti,” ujarnya.

Ia juga menyebut instruksi Jaksa Agung berpotensi mencederai keinginan rakyat dalam memilih pemimpin.

“Selain itu, instruksi Jaksa Agung tersebut juga melanggar hak asasi masyarakat yang menginginkan wakil rakyat atau kepala daerah terpilih bersih dari praktik korupsi,” sebutnya.

Lebih lanjut, Kurnia juga turut menyesalkan pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyampaikan tentang potensi kriminalisasi para kandidat dalam Pemilu. 

Ia mengatakan, argumen yang dilontarkan Mahfud terlalu kering dan cenderung melompat dari permasalahan utama.

“Sebab, jika masalahnya kriminalisasi, maka solusinya adalah meningkatkan profesionalisme penegak hukum, bukan malah menunda prosesnya. Bukannya meluruskan, Mahfud malah ikut-ikutan sesat pikir mengenai hal tersebut,” tegas Kurnia.

Selain itu, ICW menyarankan kepada Jaksa Agung maupun Menkopolhukam untuk membaca ulang mengenai data korupsi politik yang ada di KPK.

Menurut Kurnia, politik menjadi salah satu klaster penyumbang koruptor terbanyak dalam data KPK di hampir dua dasawarsa terakhir.

“Sepanjang tahun 2004-2022, dari total 1.519 tersangka, sepertiga diantaranya atau sekitar 521 orang berasal dari klaster politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah,” tuturnya.

Oleh karena itu, Kurnia mengatakan data tersebut mestinya dijadikan pemantik oleh aparat penegak hukum untuk semakin giat dan gencar memburu koruptor.

“Namun yang terjadi malah sebaliknya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung memutuskan menunda penanganan kasus korupsi yang melibatkan calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), para calon anggota legislatif (caleg), dan calon kepala daerah yang mengikuti Pemilu 2024.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga meminta jajaran jaksa terutama yang bertugas di bidang intelijen dan tindak pidana khusus untuk berhati-hati saat menerima dan menangani aduan korupsi yang melibatkan capres, cawapres, caleg, dan calon kepala daerah.

Ia menjelaskan keputusan tersebut diambil lantaran institusi Kejaksaan rawan dijadikan alat untuk menyerang calon tertentu dalam bentuk kampanye hitam (black campaign) saat memasuki tahun politik.

“Ini perlu penanganan khusus dengan tetap mengedepankan kecermatan dan kehati-hatian guna mengantisipasi adanya indikasi terselubung yang bersifat black campaign yang dapat menghalangi suksesnya pemilu, serta untuk menghindari proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan dapat dipergunakan sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu,” kata Jaksa Agung seperti dikutip Antara, Minggu (20/8/2023).

Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung mengingatkan jajarannya di Kejaksaan agar netral dan tidak memihak pada salah satu calon.

“Kejaksaan harus senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi netralitas dengan tidak memihak atau berafiliasi dengan partai politik ataupun kepentingan politik manapun, terlebih dalam pelaksanaan tugas pokok fungsinya, khususnya dalam penegakan hukum,” kata ST Burhanuddin.

Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak menilai keputusan Kejaksaan Agung menunda perkara terkait korupsi menjelang Pemilu 2024 sudah tepat.

“Saya kira ini adalah langkah bijaksana dalam rangka menjaga dan mengamankan agenda konstitusi bangsa,” kata Barita kepada Antara.

Menurut Barita, Instruksi Jaksa Agung ini adalah tindakan cermat, hati-hati, dan profesional yang semestinya dijalankan jajaran Adhyaksa untuk menjaga netralitas aparat Kejaksaan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang.

Ia juga menilai kebijakan itu tidak akan menghentikan proses hukum yang dilakukan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di wilayah Indonesia, termasuk pelaku korupsi yang berasal dari kalangan partai politik.

Menko Polhukam Mahfud MD menilai memorandum yang dikeluarkan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait laporan dugaan korupsi yang melibatkan calon presiden, calon wakil presiden, hingga calon kepala daerah agar ditunda hingga Pemilu 2024 selesai sebagai sesuatu yang biasa.

"Ya memang sejak dulu gitu karena sering kali kalau ada pemilu itu para calon sering dikriminalisasi dengan laporan-laporan yang kemudian sering tidak terbukti sehingga, dia sudah terlanjur jatuh namanya tidak terpilih bahkan tidak berani mendaftar juga," kata Mahfud di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (21/8/2023).

Menurut Mahfud, kebijakan ini tidak berlaku untuk kasus-kasus yang tengah berjalan. Mahfud mengatakan kebijakan Kejaksaan Agung agar tak ada politisasi.

"Tentu kalau yang sedang berjalan nanti biar dicari jalan keluar di Kejaksaan Agung, tentu saja kalau sudah berjalan kan tidak bisa dikaitkan dengan itu, tapi semuanya tentu akan dibijaki agar hukum itu tidak dipolitisir lah gitu," jelas Mahfud.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER