Sejak Revolusi Islam 1979, Republik Islam Iran menjadi salah satu negara paling terisolasi secara geopolitik di dunia. Embargo ekonomi dari Amerika Serikat, sanksi multilapis Uni Eropa, hingga pemutusan hubungan diplomatik dengan mayoritas negara-negara Arab Sunni tak menyurutkan langkah Teheran untuk bertahan, berkembang, dan—dalam banyak hal—melawan.
Kini, ketika konflik Timur Tengah kembali mencapai titik didih, Iran tak sekadar bertahan. Ia menunjukkan bahwa negara ini mampu menantang kekuatan gabungan Israel dan Amerika Serikat secara langsung, baik di medan diplomatik, politik, maupun militer.
Ekonomi Perlawanan: Menaklukkan Sanksi dengan Ketahanan dan Skema Bayangan
Sejak Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir JCPOA pada 2018 dan memberlakukan kembali kebijakan “maximum pressure,” ekonomi Iran terpukul keras. Nilai tukar rial anjlok lebih dari 80 persen, sementara ekspor minyak—sumber devisa utama Iran—menyusut dari 2,5 juta barel per hari menjadi di bawah 500 ribu.
Namun, Iran tidak runtuh. Negara ini membangun “ekonomi perlawanan” (resistance economy) dengan tiga pilar utama: memperkuat industri domestik, menjalin kemitraan ekonomi dengan China, Rusia, serta Asia Tengah, dan mengoperasikan jaringan bayangan untuk tetap mengekspor minyak menggunakan kapal-kapal dengan transponder dimatikan dan dokumen pelayaran palsu.
Menurut data IMF (2024), meskipun pertumbuhan ekonomi Iran stagnan di kisaran 1,5–2 persen, negara ini berhasil menstabilkan inflasi dan menjaga ketahanan pangan. Iran juga memperkuat sektor pertahanannya—dari produksi drone kamikaze Shahed-136 hingga rudal balistik jarak menengah—sebagai substitusi atas teknologi Barat yang tak lagi tersedia karena sanksi.
Poros Perlawanan dan Perlawanan Terbuka
Di bawah tekanan ekonomi dan isolasi diplomatik, Iran membentuk aliansi regional dengan kekuatan proksi: Suriah, Hizbullah di Lebanon, kelompok Houthi di Yaman, serta milisi Syiah di Irak. Jaringan ini dikenal sebagai Axis of Resistance—Poros Perlawanan—yang digunakan Iran untuk membangun tekanan strategis terhadap kehadiran militer AS dan kepentingan Israel di kawasan.
Langkah paling mencolok terjadi minggu ini: untuk pertama kalinya dalam sejarah, Iran secara terbuka meluncurkan lebih dari 200 rudal dan drone ke wilayah Israel, menghantam Tel Aviv dan Haifa, serta memicu kepanikan dalam kabinet perang Benjamin Netanyahu.
Menanggapi ini, Presiden Donald Trump menuntut “UNCONDITIONAL SURRENDER” dari Iran dan memperingatkan Ayatollah Ali Khamenei bahwa “kami tahu di mana Anda berada, tapi tidak berniat membunuh Anda—setidaknya untuk saat ini.”
Namun pada 18 Juni 2025, Khamenei membalas ancaman itu dengan lantang:
“Orang bijak yang mengenal Iran, rakyatnya, dan sejarahnya tidak akan berbicara kepada bangsa ini dengan bahasa ancaman, karena bangsa Iran bukanlah bangsa yang akan menyerah. Amerika harus tahu bahwa setiap keterlibatan militer oleh AS akan tanpa ragu menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki bagi mereka.”
Pernyataan tersebut dirilis dalam format video beresolusi rendah, dengan latar tirai krem, bendera Iran, dan potret Ayatollah Khomeini. Lokasi Khamenei tidak diketahui, kemungkinan sebagai langkah keamanan.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, memperingatkan bahwa intervensi AS bisa “berujung pada perang total.” Ribuan tentara Amerika yang ditempatkan di Uni Emirat Arab, Qatar, dan Yordania berada dalam jangkauan rudal Iran.
Amerika, Hormuz, dan Prospek Perang Regional
Ketegangan ini dipicu oleh serangan mendadak Israel ke fasilitas militer bawah tanah Iran, termasuk situs nuklir Fordo. AS sempat mengambil posisi netral, namun kini mulai memperkuat kehadiran militer dengan mengerahkan kapal induk USS Nimitz, pesawat tempur siluman F-22 dan F-35, serta pembom B-2 ke wilayah Teluk.
Laporan The New York Times menyebutkan lebih dari 40.000 personel militer AS telah siaga, dan Pentagon memperingatkan bahwa Iran bisa saja menanam ranjau laut di Selat Hormuz sebagai strategi pemblokiran jalur minyak global.
Dengan lebih dari 20 persen pasokan minyak dunia melintasi Hormuz, kemungkinan benturan langsung antara Iran dan AS menjadi ancaman nyata yang tak bisa diabaikan.
Militer Israel mengonfirmasi telah menyerang fasilitas pembuatan sentrifugal uranium dan komponen rudal di dan sekitar Teheran. Dua fasilitas diserang, menurut laporan IAEA, sebagai bagian dari eskalasi terbaru.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, juga menyebut bahwa pasukan Israel menghantam markas pasukan keamanan internal Iran, yang selama ini menjadi tulang punggung represi terhadap oposisi domestik.
Serangan Israel telah menewaskan ratusan orang, termasuk ilmuwan nuklir dan pejabat militer senior. Menurut Iran Human Rights Documentation Center, setidaknya 585 korban jiwa tercatat, termasuk 239 warga sipil dan lebih dari 1.300 luka-luka.
Iran membalas dengan sekitar 400 rudal dan drone, menewaskan sedikitnya 24 warga Israel dan menyebabkan kerusakan signifikan di pusat kota. Namun, jumlah rudal yang diluncurkan menurun belakangan ini—diperkirakan akibat keberhasilan Israel menargetkan peluncur dan gudang senjata Iran.
Israel kemudian melonggarkan beberapa kebijakan darurat, mengizinkan kantor dan aktivitas publik dibuka kembali—indikasi bahwa mereka menilai serangan Iran mulai menurun.
Retorika Nasionalisme dan Konsolidasi Internal
Ketahanan Iran selama 46 tahun tidak hanya dibangun di atas mesin negara, tetapi juga pada narasi nasionalisme religius dan resistensi terhadap “arogansi global.” Meskipun kerap dilanda demonstrasi dan krisis ekonomi, negara ini berhasil mempertahankan dukungan dari kelas menengah ke bawah.
Seperti yang ditegaskan perwakilan Iran di PBB, Amir Saeed Iravani:
“Musuh kami harus tahu bahwa mereka tidak dapat mencapai solusi dengan serangan militer terhadap kami, dan tidak akan dapat memaksakan keinginan mereka kepada rakyat Iran.”
Analis dari Defense Priorities, Rosemary Kelanic, bahkan memperingatkan:
“Intervensi militer terhadap Iran justru akan melipatgandakan motivasi mereka untuk mengembangkan senjata nuklir.”
Kesimpulan: Negeri yang Tak Pernah Tunduk
Iran telah melewati perang, revolusi, embargo, pembunuhan jenderal, dan sabotase nuklir. Tapi negara ini tetap bertahan, dan dalam banyak hal, terus membalas.
Apakah Iran akan jatuh? Sejarah empat dekade terakhir menunjukkan sebaliknya. Dalam dunia yang semakin bergejolak, Republik Islam ini mungkin tetap menjadi satu dari sedikit negara yang, meski dikepung, belum pernah benar-benar tunduk.