Advertisement

Selat Hormuz: Jalur Minyak Dunia yang Terancam Perang Iran Vs Israel-AS

18 June 2025 21:33 WIB

thumbnail-article

Peta Selat Hormuz yang jadi jalur penting perdagangan minyak dunia. Sumber: Map.

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

Selat Hormuz bukan sekadar jalur pelayaran, melainkan medan strategis yang bisa menjadi saksi sejarah dari potensi perang besar di kawasan.

Ketegangan geopolitik di Timur Tengah memasuki babak baru yang berbahaya. Kapal induk Amerika Serikat USS Nimitz (CVN-68) dilaporkan telah mematikan transpondernya dan berhenti mengirimkan data lokasi, di tengah dugaan pengerahan menuju kawasan Teluk Persia.

Pergerakan senyap ini memperkuat spekulasi bahwa Selat Hormuz—jalur pelayaran strategis dunia—sedang dipersiapkan menjadi salah satu medan utama dalam konfrontasi terbuka antara Iran, Amerika Serikat, dan sekutunya, Israel.

USS Nimitz, salah satu kekuatan maritim utama AS, disebut sedang bergerak untuk memperkuat postur pertahanan di kawasan Timur Tengah, di tengah konflik yang membara antara Israel dan Iran.

Menurut pelacak kapal Marine Vessel Traffic, sinyal terakhir dari USS Nimitz terekam pada 17 Juni pukul 02:03 GMT atau 09:03 WIB, saat melintas di perairan antara Malaysia dan Indonesia dengan kecepatan 19 knot di jalur 313 derajat. Sistem pelacakan tidak menyebutkan tujuan akhir kapal, namun arah pergerakannya mengarah ke Teluk Persia—wilayah yang mencakup Selat Hormuz sebagai pintu masuk utama.

Seorang pejabat pertahanan AS pada Selasa (17/6/2025) menyatakan kepada RIA Novosti bahwa “Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth telah mengarahkan untuk memindahkan kelompok penyerang kapal induk Nimitz ke Area Tanggung Jawab Komando Pusat guna mempertahankan postur pertahanan AS di Timur Tengah dan menjaga personel Amerika.”

Pejabat Pentagon menyatakan bahwa “Angkatan Laut AS terus melakukan operasi di Mediterania Timur untuk mendukung tujuan keamanan nasional.”

Presiden AS Donald Trump pada hari yang sama menyatakan bahwa “kendali penuh dan total atas wilayah udara Iran telah tercapai,” meski Iran dikenal memiliki sistem pertahanan udara yang kuat dan pelacak langit modern.

Laporan Fox News menyebut bahwa AS telah mengerahkan tambahan jet tempur ke Timur Tengah sebagai bagian dari langkah preventif. Mengutip seorang pejabat AS, media tersebut menyebutkan bahwa Washington juga memperpanjang masa tugas pasukan udara di kawasan, termasuk pengerahan jet tempur F-16, F-22, dan F-35 sebagai kekuatan udara defensif.

Di tengah pengerahan militer ini, Iran memperingatkan bahwa agresi militer terhadap wilayahnya, khususnya jika AS mendukung operasi militer Israel, akan direspons keras. Wakil Tetap Republik Islam Iran untuk PBB, Amir-Sa'eed Iravani, dalam rapat Dewan Keamanan PBB yang membahas isu Suriah dan kawasan Asia Barat, menegaskan bahwa:

“Rezim Zionis Israel, bukan Iran, adalah pihak yang memicu perang setelah mendapat persetujuan dari Amerika Serikat.”

Lebih lanjut, Iravani memperingatkan:

“Agresi Israel terhadap Iran tak boleh dibiarkan berlarut-larut.”

“Teheran tak akan ragu dalam membela kedaulatan, keutuhan wilayah, dan rakyatnya.”

Di sisi lain, AS memperkuat kehadiran militernya di kawasan.

Sementara itu, ancaman terhadap jalur pelayaran vital Selat Hormuz mulai mencuat. Sebuah laporan intelijen yang ditinjau oleh pemerintahan Trump mengungkapkan kekhawatiran bahwa Iran dapat menggunakan taktik penebaran ranjau laut di selat sempit itu jika terjadi konfrontasi langsung dengan AS.

Dikutip The New York Times, laporan tersebut menyebutkan:

“Jika terjadi serangan, Iran kemungkinan akan mulai memasang ranjau di Selat Hormuz sebagai taktik untuk menjebak kapal perang Amerika di Teluk Persia.”

Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran strategis yang dilalui lebih dari 20 persen pasokan minyak dunia. Setiap gangguan di wilayah ini memiliki dampak besar pada stabilitas energi global dan keamanan regional. Karena itu, potensi ranjau atau sabotase terhadap kapal di kawasan tersebut menjadi perhatian serius dunia internasional.

Kondisi ini menunjukkan Selat Hormuz bukan sekadar jalur pelayaran, melainkan medan strategis yang bisa menjadi saksi sejarah dari potensi perang besar di kawasan. Keberadaan USS Nimitz yang kini tak terdeteksi secara terbuka hanya menambah ketegangan akan apa yang akan terjadi dalam beberapa hari ke depan.

Laporan juga mengindikasikan bahwa Iran telah menyiapkan rudal balistik dan senjata lain untuk menyerang pangkalan AS di seluruh kawasan Timur Tengah jika AS terlibat lebih jauh. Para pejabat AS juga menyampaikan bahwa pangkalan-pangkalan militer AS di Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab sudah berada dalam jangkauan sistem rudal Iran, sehingga “tidak memerlukan persiapan tambahan”.

Skenario ini telah memicu kewaspadaan tinggi di Pentagon. Komandan militer AS telah menempatkan lebih dari 40.000 personel militer di wilayah strategis seperti Uni Emirat Arab, Yordania, dan Arab Saudi.

Para analis memperingatkan bahwa konfrontasi militer langsung, apalagi jika melibatkan situs nuklir Iran—seperti fasilitas bawah tanah di Fordo—berisiko memicu perang besar di Timur Tengah. Diskusi internal AS kini mencakup kemungkinan melakukan serangan udara terhadap fasilitas nuklir bawah tanah Iran di Fordo. Opsi tersebut mencakup keterlibatan pembom siluman B-2 dan penggunaan Massive Ordnance Penetrator—senjata penghancur bunker paling kuat milik AS. Namun, para ahli memperingatkan risiko eskalasi besar.

Rosemary Kelanic dari lembaga Defense Priorities yang berbasis di Washington menyatakan bahwa keterlibatan militer AS justru akan memperburuk keadaan.

“Tidak ada kata terlambat untuk tidak memulai perang,” kata Rosemary Kelanic dari lembaga pemikir Defense Priorities di Washington, seperti dikutip The New York Times.

Ia menambahkan bahwa intervensi AS hanya akan “melipatgandakan secara dramatis” dorongan Iran untuk mengembangkan senjata nuklir.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi juga telah memperingatkan:

“Musuh kita harus tahu bahwa mereka tidak dapat mencapai solusi dengan serangan militer terhadap kita dan tidak akan dapat memaksakan keinginan mereka kepada rakyat Iran.”

Ia menegaskan bahwa AS dan Israel akan memikul tanggung jawab atas setiap eskalasi regional. Iravani, dalam forum PBB yang sama, menyebut bahwa agresi Israel merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan Piagam PBB.

“Serangan teror tersebut telah berdampak pada infrastruktur sipil dan fasilitas pengembangan nuklir untuk tujuan damai yang diawasi Badan Energi Atom Internasional (IAEA),” ujar Iravani.

Ia menegaskan bahwa Iran hanya menggunakan haknya untuk membela diri:

“Respons Iran terhadap serangan Israel sepenuhnya bersifat membela pertahanan diri, terbatas, proporsional, serta hanya mengincar fasilitas militer dan ekonomi.”

Menanggapi klaim Israel bahwa mereka bertindak dalam rangka membela diri, Iravani mengingatkan:

“Toleransi terhadap dalih tersebut akan mencoreng prinsip dasar Piagam PBB terkait larangan penggunaan ancaman atau kekerasan dalam hubungan internasional.”

Menutup pernyataannya di Dewan Keamanan PBB, Iravani menyatakan:

“Pengalaman pahit di Gaza, Lebanon, Suriah, dan Yaman sekali lagi menunjukkan bahwa DK PBB telah gagal menjalankan tugasnya yang paling mendasar dan gagal menahan pihak penyerang.”

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER

Advertisement
Advertisement