Perempuan Korban Kawin Tangkap: Sedih, Stres, dan Malu, Sampai Kapan Praktik Ini Dilanggengkan?

29 September 2023 00:09 WIB

Narasi TV

Warga Sumba membawa sejumlah kuda di kampung adat Waitabar, Sumba Barat yang digunakan sebagai mahar kawin uang diberikan oleh pihak pria kepada mempelai perempuan. (ANTARA News/Kornelis Kaha)

Penulis: Maria Goreti Ana Kaka*

Editor: Akbar Wijaya

Awal September 2023 lalu, media sosial ramai dengan video rekaman praktik kawin tangkap yang terjadi (lagi) di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ini bukan kasus pertama dan video itu ibarat fenomena gunung es atas praktik yang terjadi selama ini namun tidak terekspos atau tidak terlapor.

Kawin tangkap adalah sebuah praktik memperistri perempuan dengan cara menculik dan menangkap. Perempuan yang sudah ditangkap dan diculik oleh segerombolan laki-laki ini akan dibawa ke rumah laki-laki yang akan memperistrinya.

Sebelum memasuki rumah laki-laki, perempuan lajang yang ditangkap ini akan diberi percikan air adat dari kendi oleh pihak laki-laki. Percikan air adat dianggap bisa menjadi medium yang menenangkan hati perempuan tersebut.

Setelah itu, perempuan yang ditangkap ini akan dimasukkan ke dalam koro (kamar) khusus. Pada waktu yang bersamaan, keluarga laki-laki akan mengutus wunang (juru bicara) yang akan menemui keluarga perempuan dan memberitahu keberadaan anak perempuan mereka. Kedua belah pihak akan menentukan jumlah mahar dan jadwal pernikahan yang sudah disepakati.

Cerita Para Korban

Saya sempat bertemu dan mengobrol dengan sepuluh (10) orang korban dan penyintas kawin tangkap di Sumba. Rata-rata dari mereka masih berusia anak ketika menjadi korban kawin tangkap.

Mereka mengungkapkan kawin tangkap menjadi pengalaman traumatis yang membekas hingga sekarang. Mereka bahkan tidak berani menceritakan ke publik, termasuk anak-anak mereka tentang peristiwa itu lantaran takut dianggap membongkar aib keluarga.

Dari sejumlah korban yang ditemui, beberapa di antaranya berhasil melarikan diri. Namun, kebanyakan dari mereka hanya bisa pasrah, karena sejumlah alasan.

Mereka yang tidak berdaya untuk kabur dan melawan ini acap kali takut dengan keluarga mereka sendiri. Banyak keluarga yang menganggap praktik ini sebagai ritual budaya.

Jika keluarga laki-laki berkenan membayar mahar atau belis, kawin tangkap dianggap bukan sebuah masalah. Apalagi, kalau pelaku memiliki strata sosial tinggi, tidak jarang ada keluarga yang menganggap ini sebagai wadah untuk menaikkan derajat keluarga, meski anaknya menjadi korban.

Para korban juga bercerita meski sudah memiliki pacar, mereka terpaksa menikah dengan pelaku untuk menghindari konflik antar keluarga. Mereka juga terpaksa putus sekolah dan menanggung trauma berkepanjangan.

Ada juga yang memilih kabur ke luar Sumba karena takut diculik lagi. Bahkan ada yang mengasingkan diri karena malu dan takut mendapatkan dikomentari miring sebagai pihak yang tak menghargai budaya Sumba.

“Saya baru umur 17 tahun waktu ditangkap di dalam rumah. Pelakunya masih punya hubungan keluarga dengan kami. Saya lagi tidur di kamar, tiba-tiba rombongan laki-laki datang tangkap dan bawa saya ke kampung pelaku. Sesak sekali. Mau melawan, tapi tidak sanggup”, salah satu penyintas berinisal IG mengawali ceritanya.

IG mengaku terpaksa menikah dengan pelaku karena menuruti keinginan keluarga. Kawin tangkap itu terjadi pada tahun 1995. Ia pun sudah dikaruniai beberapa orang anak, tetapi peristiwa kawin tangkap yang dialaminya meninggalkan trauma mendalam.

Setiap kali mengingat kejadian tersebut, ia hanya bisa menangis. Saat menceritakan pengalamannya, dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, ia berkali-kali menegaskan bahwa ia tak mau anak-anaknya mengalami kejadian serupa.

Selain IG, ada Meri (bukan nama sebenarnya) yang juga menjadi korban kawin tangkap. Tujuh tahun yang lalu, ia baru lulus dari bangku SMA. Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba keluarga pamannya datang bersama rombongan untuk menangkapnya.

Saat kejadian, di rumah hanya ada ibunya dan dua adiknya yang masih kecil. Walau Meri terus memberontak, tetapi karena pelaku yang menangkapnya berjumlah banyak, ia pun diboyong ke rumah pelaku. Untungnya, Meri berhasil melarikan diri.

“Di kepala saya waktu itu, intinya saya larikan diri dulu ke luar Sumba. Saya tidak punya HP juga, jadi tidak bisa komunikasi dengan mama. Saya hanya dengar cerita kalau keluarga pelaku ini bamusuh (memusuhi) dengan mama karena anggap mama bantu saya lari”, tutur Meri.

Air mata berlinang dari pelupuk matanya ketika dia membagikan ceritanya. Butuh waktu lama untuk dia mengumpulkan keberanian sampai akhirnya memutuskan untuk mencari pekerjaan dan melanjutkan studinya. Ia pun tak banyak bercerita ke orang lain tentang peristiwa ini karena takut membahayakan ibunya.

Ada kisah korban lain yang juga menyayat hati. Sebut saja Ina. Dia ditangkap karena perempuan lain yang ingin ditangkap oleh pelaku ternyata melarikan diri. Demi menutupi rasa malu, pada hari yang sama, keluarga bersepakat untuk menangkap Ina sebagai pengganti. Ia memiliki dua anak dari pernikahannya dengan pelaku yang merupakan kenalan pamannya.

“Setelah punya dua anak, saya lari ke Malaysia. Setelah beberapa tahun, saya ke Batam dan menetap di sana. Saya tidak mau kembali ke Sumba lagi. Saya punya hati sakit sekali kalo (re: kalau) ingat kejadian itu dan tidak akan saya lupa sampai kapan pun”, ujar Ina.

Berbeda dengan cerita IG, Meri, dan Ina, AL yang merupakan seorang mahasiswi ikut berbagi cerita. Pada tahun 2019, dia baru saja kembali dari Malaysia. Hari kedua di kampung, ia hendak ke pasar untuk berbelanja. Tiba-tiba muncul rombongan laki-laki yang menangkapnya.

AL memberontak sekuat tenaga. Ia pun berhasil lari ke dalam rumah dan mencoba bersembunyi di dalam lemari, tetapi karena takut ibunya menjadi sandera, ia akhirnya mengikuti kemauan pelaku.

AL juga bercerita tentang teman dekatnya (YM) yang menjadi korban kawin tangkap. YM berusia 16 tahun ketika ditangkap. Seperti kisah korban lainnya, YM tak memiliki daya untuk melawan. Ia harus rela menikah dengan pelaku.

Namun, saat mengandung, pelaku kawin tangkap yang saat itu jadi suaminya justru berselingkuh. YM mengalami stres parah dan terus menyalahkan dirinya. Hingga kini, ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan tak mau berinteraksi dengan siapa pun.

Salah satu penyintas berinisial LD ikut membagikan ceritanya. Tahun 2006, ia ditangkap oleh laki-laki yang kini menjadi suaminya. Ternyata, keluarganya sudah mengatur perjodohan tersebut. Setelah tiba di rumah keluarga laki-laki, ia mengurung diri di dalam kamar selama beberapa hari. Seiring waktu berjalan, ia akhirnya luluh dan coba membuka hati untuk lelaki yang menangkapnya. Kini ia sudah memiliki beberapa orang anak dari pernikahannya bersama pelaku.

“Awalnya saya sedih dan stres sekali. Sekitar satu minggu, saya coba berdamai dengan keadaan dan perasaannya saya. Mau bagaimana lagi, saya sudah masuk rumah laki-laki. Setelah urusan adat dan bayar belis (mahar), kami akhirnya sah menikah. Sekarang anak-anak saya sudah besar.”,  kenang LD.

Pengakuan Pelaku yang Terlibat

Para pelaku kawin tangkap sering memanfaatkan acara adat sebagai momentum untuk menangkap dan membawa lari seorang perempuan. Salah satu titik kumpul para pelaku adalah terminal pasar lama Waikabubak yang ramai dilalui perempuan.

Pelaku kawin tangkap biasanya berupa rombongan yang sudah lengkap dengan kendaraan maupun pasukan berkuda. Saya berhasil mengobrol dengan salah satu pemuda yang turut terlibat dalam rombongan pelaku kawin tangkap beberapa tahun lalu.

“Sejujurnya, saya dan teman-teman lain tidak ada niat untuk bawa lari perempuan. Tujuan kami hanya untuk pergi nonton acara adat. Begitu sampai di pasar lama, si teman ini langsung bilang ‘Ada babi yang mau dipikul. Sudah ada bemo juga’. Kami tanyalah babi apa yang dia maksud. Dia akhirnya jujur kalau ada perempuan yang mau dia bawa lari”, cerita KTB, salah satu pemuda yang pernah membantu temannya untuk melakukan kawin tangkap.

Meski tidak diiming-imingi sesuatu oleh temannya, KTB mengungkapkan bahwa dia hanya ikut-ikutan membantu menangkap perempuan. Temannya yang menjadi inisiator tersebut tidak memiliki hubungan apa pun dengan si perempuan target, baik hubungan sebagai pasangan maupun hubungan kekerabatan.

Si pelaku utama benar-benar hanya ingin memperistri si perempuan yang menjadi target, tanpa harus capek dan repot untuk bertemu keluarganya. 

Waktu itu, kebetulan lagi acara Wulla Poddu. Kami satu rombongan, satu bemo, di terminal pasar lama Waikabubak. Kami akhirnya mendekati si ‘nona’ yang menjadi target. Kami berhasil tangkap dan bawa dia ke bemo (angkot). Ternyata, si nona ini berhasil ‘bongkar lari’ (melarikan diri). Nah, saat dia lari itu, mungkin ada batu licin, jadinya dia jatuh. Pas (ketika) kami su (sudah) dekat dia, tiba-tiba nona ini pingsan. Kami hanya angkat si nona ini ke bale-bale (dipan bambu) dekat situ”, kenang KTB. 

Kawin tangkap yang seringkali dianggap wajar karena menggunakan ‘tameng’ budaya, penting sekali untuk dikaji dari perspektif budaya, terutama dalam tradisi perkawinan.

Sumba menganut sistem patrilineal dan patriarkal, sehingga pembuat kesepakatan adalah laki-laki. Segala kesepakatan budaya, secara langsung maupun tidak langsung ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan laki-laki dan tidak berpihak pada kaum perempuan. Praktik ketidakadilan dan mengorbankan perempuan, seperti kawin tangkap di Sumba adalah bukti nyata dominasi laki-laki atas budaya.

Orang Sumba memaknai perkawinan sebagai proses transaksi moral, barang, dan jasa antara keluarga laki-laki dan perempuan yang harus dilakukan secara berimbang, berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam konteks kawin tangkap, kedua belah pihak berupaya mempertegas posisi tawar mereka sembari mencari validasi.

Di balik praktik yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan ini ada upaya mengejar prestise di antara kedua belah pihak. Namun, nahasnya, perempuan tidak berdaya untuk protes atau melawan karena suara perempuan dianggap tidak perlu dan tidak penting untuk didengar.

Pater Doni Kleden, CSsR, salah satu antropolog, menyampaikan bahwa Sumba  mengenal  beberapa jenis perkawinan yang terwaris dan masih dipraktikkan. Ada pernikahan yang normal yakni mengikuti  pentahapan  dalam  proses  pernikahan,  ada Kona (levirat),  ada Kako  Ndouna (lari  ikut  laki-laki),  ada Wenda  Mawine (kawin  tangkap),  ada  perkawinan  Angu  (kawin  masuk,  dari  laki-laki  masuk  ke  keluarga perempuan)  dan  ada  perkawinan  Ailana  Kalaki  Lede  (perkawinan  antara  dua  orang  yang  masih  ada  hubungan darah). Kawin tangkap menjadi salah satu jenis perkawinan yang cukup serius untuk diperbincangkan.

“Kawin tangkap terjadi tanpa dilandasi oleh rasa cinta. Ini biasanya karena kemauan orang tua laki-laki dan orang tua perempuan, tanpa persetujuan atau sepengetahuan perempuan. Mungkin laki-laki tahu, tetapi perempuannya tidak. Motifnya juga banyak. Ada karena masalah status, kekerabatan, maupun faktor ekonomi”, tutur Dosen Universitas Katolik Waitabula tersebut.

Dalam praktik kawin tangkap, biasanya perempuan disuruh ke pasar, ke tempat pemandian umum, atau tempat ramai lainnya, di mana rombongan laki-laki yang akan menangkap atau menculik perempuan tersebut sudah bersiap-siap.

Dari berbagai kasus kawin tangkap yang terjadi di Sumba, ada yang memang sudah didesain oleh keluarga untuk menjodohkan anak mereka. Namun, ada pula yang menyasar korban secara acak.

Laki-laki biasanya pernah bertemu atau mengenal si perempuan, sehingga mengincarnya untuk dijadikan sebagai pasangan dengan menangkapnya. Makanya, kawin tangkap sering dianggap sebagai jalan pintas memperistri seseorang.

Setelah ditangkap, perempuan diboyong ke rumah laki-laki dengan menggunakan kuda, bemo, atau mobil pick up yang dijaga ketat. Orang-orang yang berada di sekitar lokasi kejadian, hanya bisa menonton dan tidak menolong korban karena menganggap praktik ini sebagai sesuatu yang lazim.

Praktik yang Harus Ditentang

Lantas, apakah benar bahwa kawin tangkap diakui sebagai sebuah budaya dalam tatanan adat masyarakat Sumba?

Lado Regi Tera, seorang Rato Rumata (tetua adat/ketua suku) mengungkapkan kawin tangkap tidak diakui dalam adat Sumba, sebab bertentangan dengan nilai luhur Marapu (aliran kepercayaan orang Sumba) yang menjunjung tinggi dan menghormati harkat dan martabat perempuan.

Bagi Rato Rumata, kawin tangkap hanyalah jalan pintas memperistri seorang perempuan dan kemudian mencari pembenaran atas praktik ini dengan menyebutnya sebagai sebuah budaya.

“Kawin tangkap adalah praktik yang harus ditentang. Selain karena mengandung kekerasan, praktik ini juga merupakan penyimpangan dari sistem pernikahan adat Marapu yang berlandaskan musyawarah dan kesepakatan. Kawin tangkap adalah praktik penyalahgunaan adat.”, tegas ketua lembaga adat kampung Tarung tersebut.

Maraknya kasus kawin tangkap di Sumba, membuat Asty Kulla tergerak untuk mengadvokasi isu ini lewat komunitas English Goes to Kampung (EGK). Mulanya EGK hanya fokus menyediakan kelas bahasa Inggris bagi anak-anak di pesisir Sumba.

Namun, seiring waktu berjalan, Asty dan tim EGK mulai mengadvokasi isu-isu sosial kemanusiaan di Sumba Barat lewat aktivasi maupun pendampingan kepada anak-anak dan juga orang dewasa. Salah satu yang gencar disuarakan EGK adalah tentang kawin tangkap.

“Dulu Oma saya juga korban kawin tangkap. Makanya, saya tertarik untuk menyuarakan perlawanan atas praktik ini, salah satunya lewat edukasi di EGK yang sudah tersebar di berbagi kampung di Sumba Barat. Memang banyak orang bilang ini budaya, tapi saya tidak setuju. Budaya semestinya penuh kasih dan tidak merampas hak kita sebagai manusia”, CEO Karaja Sumba tersebut menuturkan keresahannya.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR