Inkonsistensi dan Kejanggalan Putusan MK Soal Batas Usia Capres dan Cawapres

17 Oct 2023 17:10 WIB

thumbnail-article

Sidang pengucapan putusan/ketetapan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Jakarta, Senin (16/10/2023). Sumber: Antara.

Penulis: Rusti Dian

Editor: Margareth Ratih. F

Satu hari pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), sejumlah pihak ungkapkan kejanggalan. Mereka menganggap permohonan yang diajukan seharusnya ditolak oleh MK.

Menurut Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, ada beberapa kejanggalan MK yang memperbolehkan orang di bawah 40 tahun menyalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Berikut ini kejanggalan yang diungkapkan Julius kepada Kompas TV pada Selasa (17/10/2023):

  • Pemohon tidak berkepentingan

Julius menilai gugatan tersebut seharusnya ditolak MK karena pemohon tidak memenuhi kriteria dasar yang rasional dan relevan dalam permohonan. Ia berasal dari warga sipil yang tidak berkepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu.

“(Pemohon) tidak memiliki kepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai Capres/Cawapres, atau perwakilan partai yang memenuhi electoral threshold, bukan juga Kepala Daerah atau berpengalaman,” ujar Julius.

  • Inkonsistensi MK

MK tidak konsisten saat merespons perkara yang diputuskan. Mengingat permohonan uji materi ini diajukan oleh beberapa pihak. Enam permohonan lain sudah ditolak Hakim MK tanpa melibatkan Ketua MK Anwar Usman.

“Dalam Perkara Nomor 90, Anwar Usman terlibat lalu memutar balik putusan MK,” terang Julius.

  • Permohonan tidak relevan

Julius menilai tidak ada relevansinya antara frasa usia 40 tahun dan berpengalaman sebagai kepala daerah yang dimaknai sebagai penambahan frasa, bukan pemaknaan frasa.

“Tidak ada frasa “atau pernah, sedang” dalam Petitum yang diajukan Pemohon yang artinya Hakim Konstitusi menambahkan sendiri permohonan dan bertindak seperti Pemohon,”ujarnya.

Pertama kalinya MK tak konsisten

Senada dengan Julius Ibrani, Hakim Konstitusi Arief Hidayat pun mengungkapkan hal yang membuatnya menolak putusan alias dissenting opinion. Menurutnya, penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda, serta penyusunan putusan yang akhirnya ditolak MK dinilai memakan waktu lama.

Kejanggalan lain adalah turut sertanya Anwar Usman atas salah satu perkara yang dikabulkan MK. Padahal, ia tidak hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang digelar Selasa (19/9/2023) terkait tiga perkara yang akhirnya ditolak MK. Tujuan ketidakhadirannya adalah untuk menghindari potensi konflik kepentingan.

“Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun,” ujar Arief saat membacakan dissenting opinion pada Senin (16/10/2023).

Tak hanya Arief, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengaku bingung akan putusan MK tersebut. Menurutnya, ini pertama kalinya peristiwa aneh terjadi selama dirinya menjadi Hakim Konstitusi sejak 11 April 2017. Peristiwa aneh yang dimaksud adalah ketika MK berubah pendirian dan sikap hanya dalam sekelebat.

“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” ujar Saldi Isra pada Senin (16/10/2023).

Sebelumnya, MK telah menolak tiga permohonan uji materi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah. Menurut MK, penentuan usia minimum capres dan cawapres adalah ranah pembentuk undang-undang.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER