Kronologi dan Modus Korupsi Impor Minyak Mentah Pertamina yang Rugikan Negara Rp193 Triliun

27 Feb 2025 07:00 WIB

thumbnail-article

Petinggi Pertamina Sani Dinar Saifuddin (tengah) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding pada Selasa (25/2/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Penulis: Rizal Amril

Editor: Rizal Amril

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka yang terdiri dari petinggi Pertamina dan pihak swasta dalam kasus korupsi tata kelola dan impor minyak mentah antara 2018-2023.

“Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” tutur Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar pada Senin (24/2/2025).

Dari jajaran petinggi Pertamina, terdapat empat tersangka, yakni Riva Siahaan (RS) sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) sebagai Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi (YF) sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, dan Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Sementara itu, dari pihak swasta, terdapat tiga tersangka, yakni Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) sebagai Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, serta Gading Ramadhan Joedo (GRJ) sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Berdasarkan keterangan Kejagung, ketujuh tersangka itu kini telah ditangkap usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua ahli, juga menyita 969 dokumen beserta 45 barang bukti elektronik.

Merugikan negara senilai Rp193,7 triliun, permufakatan antara para tersangka tersebut dilakukan dalam modus operandi yang berlapis.

Kronologi korupsi impor minyak mentah Pertamina

Menurut Abdul Qohar, modus operandi kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina dimulai dari kesepakatan sejumlah petinggi perusahaan BUMN tersebut untuk merekayasa produksi kilang dalam negeri.

Rekayasa tersebut diduga dilakukan oleh Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, dan Agus Purwono. Penyidik Kejagung menemukan bukti bahwa ketiganya bersekongkol untuk menurunkan produksi kilang milik Pertamina.

Hengki pengki ketiga tersangka tersebut berakibat pada tidak terserapnya produksi minyak bumi dalam negeri, sehingga menambah kuota impor minyak mentah.

Upaya menurunkan produksi kilang minyak tersebut dilakukan ketiga tersangka dengan sengaja menolak pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam negeri.

Penolakan tersebut dilakukan dengan alasan harga minyak mentah KKKS tak memenuhi nilai ekonomis dan tidak sesuai dengan spesifikasi kilang milik Pertamina.

"Akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor," tutur Qohar.

Dengan kondisi tersebut, PT Kilang Pertamina Internasional lalu mengimpor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor minyak hasil produk kilang.

Tak hanya impor, juga mark up harga

Tak sampai pada keputusan untuk mengimpor minyak mentah, Kejagung juga menemukan bukti adanya permufakatan jahat antara para petinggi Pertamina dengan broker dari pihak swasta.

Hengki pengki petinggi Pertamina dengan pihak swasta tersebut membuat proses seleksi broker atau Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT) dilakukan secara melawan hukum. 

Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, dan Agus Purwono diduga sudah bersepakat untuk memenangkan broker tertentu dalam proses importasi minyak mentah ini.

Di sisi lain, Dimas Werhaspati dan Gading Ramadhan Jeodo yang jadi pihak swasta dalam hal ini mendapatkan keuntungan dari permufakatan tersebut. Keduanya diduga berkomunikasi dengan Agus Purwono untuk mendapat harga tinggi (spot) dan mendapat persetujuan Sani Dinar Saifuddin serta Riva Siahaan untuk melakukan impor.

”Pemufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengondisian pemenangan DMUT/broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan,” kata Qohar.

Tak berhenti di situ, Kejagung juga menemukan bukti adanya penggelembungan harga dalam kontrak pengiriman barang yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

Akibat mark up harga pengiriman tersebut, negara harus mengeluarkan sekitar 13-15 persen ongkos lebih tinggi dari seharusnya.

Keuntungan dari transaksi tersebut kemudian turut mengalir ke Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.

Menurut Qohar, kerugian senilai Rp193,7 triliun yang disampaikan Kejagung belum final. Hingga artikel ini ditulis, jumlah final kerugian negara akibat korupsi ini masih dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sejauh ini, atas perbuatannya, ketujuh tersangka kasus korupsi impor minyak mentah ini dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER