Mengapa Wacana Penambahan Jumlah Menteri di Pemerintahan Prabowo-Gibran Patut Dipersoalkan?

8 May 2024 14:05 WIB

thumbnail-article

Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) menyampaikan pidato dalam acara pemantauan hasil hitung cepat atau quick count di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Prabowo-Gibran menggelar pidato kemenangan usai sejumlah lembaga survei menempatkan capres-cawapres nomor urut 2 unggul atas dua pesaingnya dengan perolehan suara 51 persen - 60 persen. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU/pri.

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

Wacana penambahan jumlah menteri di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka semakin nyaring terdengar. Wacana ini mulai ramai di pemberitaan usai pernyataan Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (6/4/2024).

Habiburokhman tidak membantah wacana tersebut dan bahkan menyambutnya dengan positif. Selanjutnya, dukungan menambah jumlah menteri juga disampaikan dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno. Adi bahkan menggarisbawahi perlunya kementerian khusus untuk melaksanakan program makan siang dan susu gratis yang dijanjikan Prabowo Gibran selama masa kampanye Pilpres 2024.

Empat Alasan Jumlah Menteri Perlu Ditambah

Ada empat alasan yang diutarakan Habiburokhman dan Adi soal pentingnya menambah jumlah menteri.

  • Pertama, menambah jumlah menteri berarti melibatkan lebih banyak orang untuk menyelesaikan persoalan.

"Kalau memang ingin melibatkan banyak orang, menurut saya juga enggak ada masalah. Justru semakin banyak, semakin bagus kalau saya pribadi," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/4/2024).

  • Kedua, Indonesia negara besar sehingga membutuhkan lebih banyak orang untuk berkumpul di pemerintahan. Sambil bermetafor Habiburokhman menyebut kabinet yang gemuk tidak sama dengan orang gemuk.

"Kalau gemuk dalam konteks fisik seorang per orang itu kan tidak sehat, tapi dalam konteks negara jumlah yang banyak itu artinya besar. Negara kita kan negara besar. Tantangan kita besar, target-target kita besar. Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan, sehingga jadi besar," ujarnya.

  • Ketiga, menurut Adi Prayitno, penambahan jumlah menteri sah sepanjang untuk mengakselerasi atau mempercepat kinerja.

"Jangankan jadi 41, jadi 100 kementerian pun tak masalah asal sesuai dengan kebutuhan untuk mempercepat mewujudkan visi dan misi Prabowo-Gibran," jelasnya dikutip Antara saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (8/4/2024) pagi.

  • Keempat, Adi mengatakan salah satu kementerian baru yang perlu dibentuk kementerian yang mengurusi program makan siang dan susu gratis.

"Urusan makan siang gratis dan susu gratis memang penting diurus kementerian tersendiri," ujar Adi.

Kendati didukung bermacam argumen, penambahan jumlah kementerian bukan tanpa persoalan.

Indonesia Negara Besar Bukan Alasan Tambah Jumlah Kementerian

Argumen Indonesia merupakan negara besar sehingga membutuhkan penambahan jumlah menteri masih dapat dipersoalkan dengan melakukan perbandingan situasi di Amerika Serikat.

  1. Perbandingan dengan Amerika Serikat: Meskipun Amerika Serikat juga merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang signifikan, jumlah kabinet atau departemen federal yang ada relatif lebih sedikit daripada yang ada di Indonesia. Amerika Serikat memiliki sekitar 15 kementerian federal, sementara Indonesia memiliki lebih dari 30 kementerian. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi pemerintahan tidak hanya bergantung pada ukuran negara dan jumlah penduduknya, tetapi juga pada struktur dan pengelolaan pemerintahan itu sendiri.

  2. Efektivitas Pengelolaan: Amerika Serikat berhasil menjalankan pemerintahannya dengan jumlah kementerian yang relatif sedikit, namun tetap efektif dalam memberikan pelayanan publik dan mengelola berbagai urusan pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi pengelolaan sumber daya dan koordinasi antarlembaga pemerintah lebih penting daripada sekadar menambah jumlah kementerian untuk memenuhi kebutuhan geografis dan demografis suatu negara.

  3. Pentingnya Koordinasi: Amerika Serikat mengutamakan koordinasi antarlembaga pemerintah dalam merancang dan melaksanakan kebijakan publik, daripada membagi-bagi tanggung jawab ke dalam banyak kementerian yang berdiri sendiri-sendiri. Pendekatan ini memungkinkan penggunaan sumber daya yang lebih efisien dan meminimalkan tumpang tindih tanggung jawab antarlembaga.

  4. Fleksibilitas dan Adaptabilitas: Amerika Serikat memiliki struktur pemerintahan yang fleksibel dan adaptif, yang memungkinkannya untuk merespons perubahan dan tantangan yang cepat dan kompleks. Jumlah kementerian yang terbatas memudahkan dalam mengambil keputusan yang cepat dan efektif, tanpa terjebak dalam birokrasi yang berlebihan.

Dengan demikian, argumen bahwa Indonesia perlu menambah jumlah menteri karena ukuran negara dan jumlah penduduknya tidak sepenuhnya terbukti relevan ketika dibandingkan dengan praktik pengelolaan pemerintahan di negara lain, termasuk Amerika Serikat. Lebih penting untuk memprioritaskan efisiensi, koordinasi, dan efektivitas dalam pengelolaan pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Mengumpulkan Banyak Orang di Kabinet Bukan Jaminan Program Berjalan Efektif

Penambahan jumlah menteri dengan merangkul sebanyak-banyak orang yang berjasa dalam pemenangan juga dapat mengakibatkan munculnya ego sektoral di antara menteri-menteri yang bertanggung jawab atas masing-masing portofolio. Kritik terhadap ego sektoral ini meliputi:

  1. Persaingan yang Merugikan: Dengan bertambahnya jumlah kementerian, mungkin akan timbul persaingan antarmenteri dalam merebut perhatian dan anggaran untuk program-program mereka masing-masing. Hal ini dapat mengganggu koordinasi antarlembaga dan menyebabkan pemborosan sumber daya.

  2. Ketidakberpihakan pada Kepentingan Bersama: Menteri-menteri dapat cenderung lebih memprioritaskan kepentingan sektoral masing-masing daripada kepentingan bersama atau kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini dapat menghambat upaya untuk mencapai tujuan pembangunan nasional yang komprehensif dan berkelanjutan.

  3. Pembengkakan Birokrasi: Persaingan antarmenteri juga dapat menyebabkan pembengkakan birokrasi, dengan masing-masing kementerian berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya dan menambah jumlah staf dan anggaran. Hal ini dapat mengurangi efisiensi dan menghambat kemampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas.

  4. Keterbatasan Kolaborasi lintas Sektor: Ego sektoral dapat menghambat kolaborasi lintas sektor yang diperlukan untuk mengatasi tantangan yang kompleks dan lintas sektoral, seperti kemiskinan, perubahan iklim, dan ketimpangan sosial. Ketika menteri-menteri lebih fokus pada kepentingan sektoral masing-masing, kolaborasi lintas sektor menjadi sulit dilakukan.

  5. Keterhambatan Implementasi Kebijakan: Persaingan dan ego sektoral dapat menghambat implementasi kebijakan, karena masing-masing kementerian mungkin akan menunda atau menghambat langkah-langkah yang tidak sesuai dengan prioritas mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan kebuntuan dalam proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan program-program pemerintah.

Dengan demikian, penambahan jumlah kementerian dapat meningkatkan risiko terjadinya ego sektoral di dalam pemerintahan, yang dapat mengganggu efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta implementasi kebijakan publik.

Program Makan Siang Gratis Tak Butuh Kementerian Baru

Menambah kementerian tambahan hanya untuk mengelola program makan siang dan susu gratis bagi anak-anak Indonesia terasa tidak efisien dan terlalu berbelit. Mengingat bahwa program ini sebenarnya bisa berjalan cukup dengan melibatkan sejumlah kementerian yang sudah ada, seperti Kementerian Pendidikan, Kementerian UMKM, Kementerian Sosial, dan Kementerian Keuangan, penambahan satu entitas pemerintah baru justru dapat memperumit koordinasi dan memperlambat implementasi program.

Dari segi distribusi teknis, Kementerian Pendidikan tentu memiliki infrastruktur dan pengalaman yang cukup untuk mengelola distribusi makan siang gratis ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan Kementerian UMKM yang dapat bekerja sama dengan para pengusaha kecil untuk menyediakan makanan yang diperlukan.

Sementara itu, Kementerian Sosial memegang peran penting dalam mengidentifikasi dan mendata penerima manfaat, sedangkan Kementerian Keuangan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang dibutuhkan untuk program tersebut. Koordinasi antara kementerian-kementerian ini dapat dilakukan secara efektif di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat atau Kesra, tanpa perlu menambah beban administratif dengan mendirikan kementerian baru.

Penggunaan anggaran untuk mendirikan dan mengoperasikan kementerian baru ini dapat dilihat sebagai pemborosan sumber daya negara yang seharusnya dialokasikan dengan lebih bijak untuk program-program yang lebih mendesak dan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, penambahan jumlah kementerian untuk mengelola program makan siang gratis tampak lebih sebagai langkah yang tidak efisien dan berpotensi memperlambat implementasi program yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak Indonesia.

Inti dari Bagi-Bagi Kekuasaan adalah Memperkuat Basis Dukungan Politik

Selain tidak efisien, penambahan kementerian juga dapat dipandang sebagai modus operandi presiden terpilih untuk membagi-bagi jatah kekuasaan kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam memenangkannya di pemilu. Tindakan ini terkesan lebih sebagai upaya untuk memperluas basis kekuatan politiknya daripada sebagai langkah konkret untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Hal ini membuka peluang bagi elite politik dan kepentingan-kepentingan tertentu untuk mendapatkan jatah kekuasaan dan kontrol atas sumber daya negara, tanpa memperhatikan keefisienan dan kebutuhan nyata masyarakat.

Hal ini sejalan dengan pandangan Wakil Presiden (Wapres) ke-10 dan ke-12. JK mengatakan, jika penambahan jumlah menteri dilakukan untuk membalas jasa maka tujuannya lebih politis ketimbang kinerja.

"Ada juga (mengakomodasi partai pendukung). Tapi itu artinya bukan lagi kabinet kerja itu namanya, tapi kabinet yang lebih politis," ujar JK dikutip Kompas.com saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (7/5/2024).

"Ya tentu lah kalau hanya dimaksud hanya mengakomodir politis kan," kata dia.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER