Tren prevalensi depresi berdasarkan gendernya menunjukkan perempuan jadi kelompok yang lebih rentan mengalami depresi ketimbang laki-laki. Mengapa demikian?
Seturut hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, angka prevalensi depresi pada perempuan mencapai angka 1,8%, lebih tinggi ketimbang laki-laki yang memiliki angka prevalensi 1%.
Kecenderungan angka prevalensi depresi pada perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki juga banyak ditemui dalam penelitian-penelitian lain, baik dalam lingkup nasional maupun global.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung mengalami bentuk depresi yang lebih berat dan berkepanjangan. Alasannya, ada berbagai faktor yang mempengaruhinya, mulai dari sosial hingga biologis.
Berikut penjelasan tentang alasan perempuan lebih rentan mengalami depresi yang dinukil dari "Why is depression more prevalent in women" (2015) yang ditulis Paul R. Albert untuk Journal of Pscychiatry & Neuroscience.
Alasan 1: Faktor biologis pada perempuan
Perubahan hormonal adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan mental perempuan.
Hormon yang fluktuatif, terutama estrogen dan progesteron, dapat memicu gejala depresi, terutama pada fase tertentu dalam siklus hidup perempuan, seperti saat menstruasi, kehamilan, dan menopause.
Ini menunjukkan hubungan jelas antara faktor hormonal dan prevalensi depresi di kalangan perempuan.
Selain itu, respons emosional terhadap stres dan kekerasan interpersonal juga berperan dalam meningkatkan risiko depresi.
Perempuan umumnya lebih sensitif terhadap hubungan interpersonal dan bisa lebih cepat merasakan stres karena tekanan dari lingkungan sosial yang lebih besar. Hal ini sering kali membuat mereka lebih rentan mengalami gejala depresi.
Perbedaan perempuan dan laki-laki dalam merespons gejala depresi juga berperan.
Sementara laki-laki cenderung menunjukkan gejala eksternal seperti agresi atau ketidakpastian sebagai respons atas depresi, perempuan sering kali menunjukkan gejala internal seperti kecemasan dan perasaan tidak berdaya.
Alasan 2: Faktor usia dan sosial
Remaja dan perempuan muda berada pada risiko tinggi untuk mengalami depresi, dengan prevalensi yang meningkat tajam selama masa pubertas.
Penelitian menunjukkan bahwa pada usia remaja, perempuan memiliki kemungkinan depresi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Kemungkinan tersebut umumnya didorong oleh tekanan psikologis yang dihadapi oleh perempuan muda, termasuk pengaruh sosial, harapan masyarakat, dan perubahan fisik yang terjadi.
Sebaliknya, ketika memasuki usia di atas 65 tahun, prevalensi depresi untuk laki-laki dan perempuan mengalami penurunan, dan cenderung menunjukkan angka prevalensi yang lebih seimbang.
Alasan 3: Kehamilan hingga pascamelahirkan
Faktor lainnya adalah karena perempuan memiliki fase hamil dan persalinan. Dalam fase tersebut, perempuan rentan mengalami depresi.
Ketika menjalani kehamilan, perubahan hormon akan terjadi dengan drastis dan sangat fluktuatif. Keadaan ini meningkatkan risiko stres dan perubahan suasana hati yang cepat.
Terlebih jika kehamilan yang dialami perempuan tidak dibarengi dengan kondisi kesehatan ibu yang baik, dukungan keluarga, tekanan pekerjaan, juga kesiapan mental dan ekonomi yang menunjang.
Kerentanan tersebut tak berhenti hanya ketika perempuan hamil, tetapi juga setelah menjalani proses persalinan.
Persalinan merupakan pengalaman yang tak hanya menguras tenaga, tetapi juga mental perempuan.
Pasca-melahirkan, berbaurnya perasaan dalam diri perempuan dapat membuat mereka mengalami baby blues syndrome yang merupakan gangguan psikologis yang lebih ringan dari postpartum depression syndrome.