Mengapa Ukraina Tolak Mentah-Mentah Usul Refrendum Prabowo?

7 Jun 2023 14:06 WIB

thumbnail-article

Prabowo Subianto/ Kementerian Pertahanan

Penulis: Dzikri N. Hakim

Editor: Akbar Wijaya

Ukraina menolak mentah-mentah proposal damai yang diajukan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto. Mereka menganggap proposal itu aneh dan malah terkesan seperti usulan Rusia.

"Terdengar seperti usulan Rusia, bukan usulan Indonesia,” ucap Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksii Reznikov, seperti dikutip Kyiv Post dari AFP, Sabtu, (3/6/2023).

“Kami tidak butuh mediator seperti ini datang ke kami (dengan) rencana aneh ini," imbuhnya.

Reznikov melayangkan penolakan ini tak lama setelah Prabowo menyampaikan proposal perdamaian ketika berpidato di acara Shangri-La Dialogue di Singapura.

Poin-Poin Proposal Prabowo

Dalam acara Shangri-La Dialogue Prabowo menyodorkan tiga poin untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina, yaitu gencatan senjata, penarikan pasukan, dan referendum.

"Yang pertama harus dilakukan adalah meminta pihak Ukraina dan Rusia untuk menerapkan gencatan senjata," ujar Prabowo, seperti dikutip Antara, Sabtu (3/6/2023).

Selanjutnya, Prabowo juga mendesak pasukan kedua negara mundur sejauh 15 kilometer dari titik gencatan senjata demi menciptakan wilayah demiliterisasi.

Ketua Umum Partai Gerindra ini juga menyebutkan bahwa zona demiliterisasi nantinya harus diamati dan dipantau oleh pasukan penjaga perdamaian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Setelah itu, Prabowo mengusulkan agar PBB menggelar referendum untuk menentukan warga di zona demiliterisasi itu ingin bergabung dengan Ukraina atau Rusia.

"PBB kemudian menggelar referendum kepada masyarakat yang tinggal di wilayah demiliterisasi," ucap Prabowo.

Menurut Prabowo, PBB harus menggelar referendum guna memastikan secara objektif keinginan mayoritas penduduk di wilayah yang disengketakan.

"Saya mengusulkan agar dialog Shangri-La menemukan modus deklarasi sukarela yang mendesak Ukraina dan Rusia untuk segera memulai negosiasi perdamaian," kata Prabowo.

Dinilai Menguntungkan Rusia

Pengamat Hubungan internasional Universitas Brawijaya Adhi Cahya menilai wajar penolakan Ukraina atas usulan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Hal ini karena usulan itu memang terkesan lebih menguntungkan Rusia.

Perihal refrendum di wilayah yang menjadi zona konflik Rusia dan Ukraina misalnya, Adhi mengatakan usulan ini akan lebih menguntungkan Rusia karena memiliki kekuatan militer yang lebih unggul ketimbang Ukraina.

“Jelas itu tidak masuk akal bagi pihak Ukraina, karena Ukraina merupakan pihak yang diserang. Jika dilakukan referendum, tentu saja itu akan sangat menguntungkan Rusia,” kata Adhi kepada Narasi, Senin (5/6/2023).

Menurut Adhi, penting untuk memahami psikologis Ukraina sebagai pihak yang lebih dahulu diserang Rusia sehingga mereka menolak usulan Prabowo.

“Terdapat ketimpangan antara Rusia dan Ukraina, karena Ukraina bukan termasuk negara great power,” ucapnya.

“Lantas Ukraina sebagai negara yang berdaulat dan kemudian diserang oleh Rusia akan dirugikan.”

Apalagi, dilansir dari laman Kementerian Luar Negeri Indonesia, pada 21-27 September 2022 telah berlangsung referendum di 4 wilayah Ukraina yaitu Donetsk, Lugansk, Zaporozhiye, dan Kherson untuk menentukan bergabung atau tidaknya dengan Rusia.

Hasil referendum: ke-4 wilayah tersebut setuju bergabung dengan Rusia: Donetsk (99,23%), Lugansk (98,42%), Zaporozhye (93,11%), dan Kherson (87,05%).

Pada tanggal 29 September 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin menandatangani Dekrit berisikan pengakuan atas kemerdekaan dua wilayah di Ukraina, yakni Zaporizhzhia dan Kherson di selatan Ukraina.

Sebelumnya pada tanggal 21 Februari 2022, Presiden Putin telah mengakui kemerdekaan wilayah Donetsk dan Lugansk dari Ukraina. Selanjutnya, pada tanggal 30 September 2022, Presiden Vladimir Putin menandatangani aksesi bergabungnya  wilayah Donetsk, Lugansk, Kherson, dan Zaporozhye  menjadi bagian dari Rusia.

Indonesia Juga Tak Mau Opsi Refrendum di Papua

Adhi mengibaratkan penolakan Ukraina tak ubahnya dengan sikap Pemerintah Indonesia yang menolak wacana refrendum dalam penyelesaian konflik di Papua. Hal ini lantaran refrendum akan merugikan Pemerintah Indonesia.

“Dengan melihat kondisi sekarang di Papua, langkah referendum tampaknya sangat dihindari oleh pemerintah Indonesia, karena tentu saja melihat kondisi di lapangan yang cukup merugikan jika referendum dilakukan,” kata Adhi.

Adhi mengatakan Pemerintah Indonesia tentunya sudah belajar dari kasus refrendum yang pernah terjadi di Timor Timur yang membuat wilayah itu lepas dari NKRI dan menjadi negara berdaulat Timor Leste.

“Karena apa yang terjadi di Papua itu eksis dari ketimpangan pembangunan yang terjadi, sehingga ada aksi-aksi separatis yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang kecewa karena hal tersebut dan akhirnya menjadi seperti sekarang,” jelasnya.

Adhi menambahkan konflik di Rusia-Ukraina bersifat bilateral berbeda dengan isu konflik di Papua.

“Kondisi di Ukraina tidak memungkinkan untuk terjadinya referendum, karena sejatinya Ukraina sudah merdeka,” ucapnya. 

Indonesia Tidak Punya Sikap Tegas

Adhi menilai sikap tidak tegas Pemerintah Indonesia dalam perang Rusia-Ukraina turut berperan dalam mestimulasi sikap berlainan para pejabat.

"Tentu saja orang menjadi bebas untuk beropini dan bisa jadi kemudian akan jadi masalah bagi publik,” ucapnya.

Menurut Adhi, konflik yang terjadi di Ukraina ini amatlah kompleks dan melibatkan banyak sekali pihak. Termasuk adanya provokasi dari negara Barat yang memicu serangan-serangan Rusia ke Ukraina yang juga perlu disoroti.

Dalam situasi semacam itu Adhi mengatakan Indonesia sebagai sebuah negara memang belum memiliki cukup kekuatan untuk mengambil sikap yang diperhitungkan.

“Contohnya kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina terakhir, hanya menjadi sebatas kunjungan biasa, tidak ada langkah konkret terkait apakah Indonesia akan menjadi aktor aktif yang mendorong mediasi bagi kedua belah pihak,” katanya.

Kendati belum cukup memiliki kekuatan yang berpengaruh, namun Adhi berpendapat sikap para pejabat mestinya bisa mengacu pembukaan konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia.

“Berdasarkan pembukaan UUD ini terlepas dari dilema kekuatan Indonesia yang tidak terlalu signifikan terhadap konflik Rusia-Ukraina, tapi setidaknya Indonesia bisa lebih tegas dan bisa mengkomunikasikan kebijakan luar negeri yang tegas ini kepada pejabat-pejabat publik, kemudian kepada masyarakat,” jelas Adhi.

Percuma Beri Solusi Tanpa Pahami Langkah Konkret

Adhi mengatakan, mendukung solusi damai tanpa memahami langkah konkret dalam mengatasi permasalahan konflik berpotensi memperburuk citra Indonesia di mata dunia.

“Jika memang ada usaha konkret dari pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik ini adalah tentu saja dengan mendorong gencatan senjata dulu, baru kemudian ada mediasi,” ucapnya.

Dirinya menyebut, selama gencatan senjata tidak bisa dilakukan, maka mediasi juga tidak akan pernah bisa dilakukan. Untuk mendorong terjadinya gencatan senjata perlu dilaksanakan penyeimbangan kekuatan antara Rusia dan Ukraina.

“Salah satunya yang bisa dilakukan adalah meminta intervensi dari banyak negara, terutama negara barat ya, untuk membuat Rusia setidaknya mau melakukan gencatan senjata. Bila sudah begini, otomatis Ukraina juga akan mau melakukan gencatan senjata dan mau membicarakan secara lebih serius terkait solusi damai antar kedua belah pihak,” tuturnya.

“Bukan dengan referendum, karena kalo referendum tentu akan menghasilkan win-lose condition, di mana ada pihak terkalahkan dan pihak yang menjadi pemenang.”

Istana Bela Prabowo

Sekretaris Kabinet Pramono Anung meminta proposal perdamaian Rusia-Ukraina dalam forum Shangri-La Dialogue bisa dilihat dari sisi yang positif

"Saya yakin bahwa Pak Prabowo menyampaikan itu pasti dengan niat baik," kata Pramono di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (7/6/2023) seperti dikutip CNNIndonesia.

Vasyl Hamianin, Duta Besar Ukraina untuk Indonesia juga telah mendapat klarifikasi dari Prabowo dalam pertemuan di kantor Menteri Pertahanan, Senin (5/6).

Dia mengaku puas dengan klarifikasi yang disampaikan Prabowo namun enggan memberikan penjelasan detail.

"Pertemuan itu panjang dan konstruktif. Saya puas dengan klarifikasi Pak Prabowo. Dan saya juga memperjelas posisi Ukraina," kata Hamianin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/6/2023).

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER