Mengenal Body Dysmorphia: Gangguan Kesehatan Mental Berupa Khawatir Berlebihan ke Tubuh

22 Jun 2023 18:06 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi kesehatan mental (ANTARA/Shutterstock)

Penulis: Puisi Mardhika

Editor: Akbar Wijaya

Mei lalu Megan Fox mengaku dalam salah satu wawancaranya dengan Sport Illustrated Swimsuit issue 2023, bahwa ia memiliki Body Dysmorphia.

Dalam wawancara tersebut Megan mengaku pernah mengalami kondisi benar-benar tidak mencintai tubuhnya. Salah pemicu perasaan itu adalah perannya sebagai Mikaela Banes dalam film Transformers.

Alih-alih menuai sanjungan atas prestasi aktingnya, publik justru mencap Megan sebagai Sex Symbol” dan menuai kritik  penonton bahwa ia hanya berperan sebagai ‘gadis seksi’.

Megan sudah menyangkal kritik tersebut dengan mengaku bahwa perannya menjadi ‘gadis seksi’ berasal dari arahan sutradara Michael Bay. Sehingga Megan sebetulnya juga merupakan korban objektifikasi seksual di tempat kerja yang selama ini disuarakan gerakan #MeToo.

Citra yang dilekatkan publik kepada Megan sebagai simbol sex membuat segala hidup gemerlapnya sebagai selebriti terasa mengenaskan. Hal ini kemudian membuatnya berani untuk berbicara soal body dysmorphia yang dialami.

Megan Fox bukan satu-satunya selebriti yang memiliki gangguan kesehatan mental itu. Lily Reinhart, salah satu aktris yang meniti kariernya melalui serial web Riverdale juga pernah mengaku memiliki body dysmorphia.

Rasa ketidakpercayaan diri Lily Reinhart yang mengakibatkan body dysmorphia muncul ketika wajahnya mulai ditumbuhi jerawat. Ia bahkan mengaku sempat ingin bersembunyi karena merasa tidak percaya pada tubuhnya.

Billie Eilish juga mengalami hal yang sama. Billie tidak pernah merasa nyaman untuk menggunakan baju yang berukuran kecil dan sempit. Selain itu, rasa kekhawatirannya akibat body dysmorphia mengakibatkan ia enggan bercermin.

Body dysmorphia tak hanya dialami orang-orang yang mendapatkan sorotan publik yang cukup masif seperti Megan Fox, Billie Eilish, dan Lily Reinhart.

Lantaran, body dysmorphia merupakan gangguan kesehatan mental yang umurnya sudah cukup tua dan sudah lama dilakukan penelitian oleh para ahli. Pada 1891, Enrico Morelli, psikiater asal Italia menggagaskan istilah body dysmorphia berasal dari bahasa Yunani yaitu “dysmorfia” yang berarti “keburukan”.

Lalu, apa itu body dysmorphia?

Body Dysmorphic Disorder (BDD) atau yang lebih dikenal dengan body dysmorphia adalah gangguan kronik seseorang yang ditandai dengan rasa ketidaknyamanan hingga kecemasan akan kecacatan tubuhnya yang dirasakan dan dapat dilihat oleh dirinya sendiri (atau beberapa orang) yang terjadi terus-menerus.

Remaja lebih rentan mengidap body dysmorphia. Sebuah riset di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Anxiety and Depression Association of America mengatakan bahwa persentase perempuan yang memiliki body dysmorphia sejumlah 2,3% hampir setara dengan laki-laki yaitu 2,5%.

Bagaimana Cara Mengetahui Gejala Body Dysmorphia?

Jangan panik dan jangan khawatir, body dysmorphia memang akan semakin parah dan mengganggu keseharian kehidupan kita jika kita tidak melakukan self-awareness screening terhadap tubuh kita.

Ciri-ciri seseorang memiliki body dysmorphia yang paling umum ditandai dengan rasa kekhawatiran yang berlebih atau insecure terhadap bagian dari tubuh kita. Penyintas BDD juga sering membandingkan dirinya dengan orang lain, bahkan hingga berusaha keras untuk menutupi kekurangan yang ada di tubuh mereka.

Jika kamu memiliki gejala tersebut yang terus menerus berulang secara berkala apalagi sudah mengganggu aktivitasmu, segeralah periksa ke ahli seperti Psikolog dan/atau Psikiater untuk ditangani lebih lanjut. Kalau tidak, body dysmorphia akan menimbulkan keinginan untuk melukai diri sendiri hingga suicidal attempt

Treatment Apa sih yang Diberikan ke Orang yang Mengidap Body Dysmorphia?

Biasanya, treatment yang diberikan oleh para ahli dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), tindakan ini sangat umum dan efektif untuk meminimalisir kepada seseorang yang mengidap BDD.

CBT adalah terapi yang memfokuskan pikiran dan perilaku yang disfungsional. Umumnya, tindakan CBT menggunakan assessment treatment melalui psikoedukasi, restrukturisasi kognitif, dan pemaparan dengan pencegahan respons (E/RP). Tentunya, jenis terapi dapat diberikan oleh Psikolog atau Psikiater sesuai dengan kebutuhan pasien yang mengalami BDD.

Last but not least, jangan sampai kamu self diagnose, ya! Memiliki kesadaran tinggi terhadap kesehatan mental itu perlu, tetapi jangan membuat kesimpulan sendiri terhadap kesehatan mentalmu. Segera konsultasikan dengan ahlinya agar mendapat tindakan yang tepat.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER