2 Oktober 2023 14:10 WIB
Penulis: Elok Nuri
Editor: Rizal Amril
Badan Intelijen Negara (BIN) merupakan salah satu Lembaga Negara Non-Kementerian (LPNK) yang bertugas untuk menangani hal yang berkaitan dengan intelijen negara.
Dalam sejarahnya, BIN awalnya bernama Badan Istimewa (BI) yang dibentuk pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Sejak saat itu, BIN mengalami beberapa perubahan hingga akhirnya menjadi BIN yang sekarang kita kenal. Dari yang bernama Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pada masa Soekarno, menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) pada era Soeharto, hingga menjadi BIN di era Gus Dur.
Lantas, bagaimana sejarah lengkapnya dan apa saja fungsi, tugas, dan susunan organisasi di dalamnya?
Hariyadi Wirawan dalam Reformasi Intelijen Negara (2005) menjelaskan bahwa perkembangan Badan Intelijen Negara terbagi menurut beberapa era.
Era pertama, yakni masa intelijen perjuangan. Pada masa ini, tugas intelijen memiliki tujuan utama sebagai sarana para penguasa masa itu untuk mendapatkan informasi sedini mungkin tentang gerak-gerik penjajah yang berusaha kembali menduduki Indonesia.
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, informasi tersebut sangat penting didapat demi merumuskan strategi dalam hal diplomatik dan militer.
Untuk tujuan tersebut, Badan Istimewa dibentuk pada September 1945. Kolonel Zulkifli Lubis, prajurit PETA yang pernah mengenyam pendidikan intelijen Nakano Jepang, ditunjuk untuk mengepalai badan intelijen yang baru tersebut.
Akan tetapi, BI tak berjalan mulus untuk menggapai tujuan utamanya.
Situasi geopolitik yang sama sekali belum mapan, ditambah luasnya area geografis Indonesia, membuat ruang gerak BI terbatas.
Soekarno yang kala itu menjabat sebagai presiden juga tak selalu memiliki kontrol penuh atas BI. Operasi-operasi yang dilakukan BI tak selalu sejalan dan bisa dimanfaatkan oleh pemerintah kala itu.
Karena alasan tersebut, pada 7 Mei 1946, BI diubah menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani).
Akan tetapi, ketika lembaga tersebut belum selesai membenahi organisasinya sendiri, situasi memanas dalam organisasi pertahanan kemanan.
Departemen Pertahanan kala itu justru membuat lembaga intelijen sendiri dengan nama Badan Pertahanan B. Pembentukan Badan Pertahanan B itu disebut merupakan salah satu upaya militer untuk memperlihatkan dominasi setelah Brani banyak diisi oleh orang dari kalangan sipil.
Akibat persaingan tersebut, Brani dibubarkan dan dibentuknya Bagian V oleh Departemen Pertahanan sebagai penggantinya.
Pada era 1950-an, ketika tentara Indonesia dikomandoi oleh T. B. Simatupang, badan intelijen kembali berubah. Kala itu, dibentuk sebuah badan baru bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP).
Akan tetapi, pada 1959, pemerintahan Soekarno sempat mencoba memisahkan badan intelijen dengan militer dengan membuat badan baru bernama Badan Koordinasi Intelijen (BKI).
Akan tetapi, BKI tak bertahan lama. Tak sampai setahun, tepatnya pada 10 November 1959, BKI diubah menjadi Badan Intelijen Pusat (BIP) dengan Dr Subandrio sebagai kepalanya.
BIP menjadi penutup era intelijen perjuangan dan situasi politik kala itu membuka era baru–yang oleh Hariyadi Wiryawan–disebut sebagai era intelijen pembangunan.
Era tersebut, tentu, dimaksudkan sebagai era intelijen ala Orde Baru.
Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1967, ia kemudian membentuk sebuah badan khusus bernama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini punya cakupan tugas yang luar biasa luas, yakni menghalangi setiap usaha melawan pemerintahan yang sedang berkuasa–tentu dengan interpretasi mengenai makna "usaha" yang juga kelewat luas.
Setelah Kopkamtib, Soeharto kemudian membentuk Komando Intelijen Negara (KIN) yang menjadi badan intelijen pengganti BIP.
KIN bertanggung jawab secara langsung ke Soeharto dan pejabat strukturalnya diisi oleh orang kepercayaan Soeharto, yakni Brigadir Jenderal Yoga Sugama sebagai Kepala Staf KIN.
Tugas utama Brigjen Yoga Sugama adalah membersihkan sisa-sisa kekuatan yang dapat mengganggu kekuasaan, yang kala itu diartikan sebagai PKI dan Orde Lama.
Bersama Kopkamtib, KIN punya wewenang untuk mengawasi, memantau, dan menangkap "ancaman" hingga ke seluruh pelosok desa.
Kedekatan Soeharto dengan Amerika Serikat juga berpengaruh terhadap badan intelijen kala itu. Dengan hubungan Soeharto dan AS tersebut, praktis membuat KIN kemudian punya jaringan dengan dinas intelijen Negeri Paman Sam tersebut, seperti CIA.
Pada 1967, Soeharto kemudian mengganti KIN dengan sebuah badan baru bernama Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Pada era Bakin, kegiatan intelijen badan bentukan Soeharto tersebut berfokus pada operasi luar negeri dan kontra spionase.
Ketika Bakin sibuk menjalankan operasi luar negeri dan kontra spionase tersebut, fungsi pengawasan politik dalam negeri lebih banyak dilakukan oleh Kopkamtib melalui Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel)–meskipun Bakin tetap punya peran.
Namun, pekerjaan pengawasan situasi politik dalam negeri tidak hanya diemban oleh kedua badan tersebut, terdapat satu badan intelijen di bawah komando militer yang punya wewenang yang juga luas, yakni Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI.
Bahkan BAIS menjadi salah satu lembaga dari komunitas intelijen kala itu yang punya otoritas terkuat. Lembaga ini juga punya andil besar dalam operasi militer di Timor Timur yang sarat akan pelanggaran HAM.
Pada era pembangunan tersebut, komunitas intelijen di Indonesia mulai menemukan bentuk yang kuat. Melalui koordinasi Bakin, Kopkamtib, dan BAIS, intelijen memiliki dasar fondasi yang lebih utuh, meskipun ketangkasannya lebih dirasakan rakyatnya sendiri ketimbang negara lain.
Akan tetapi, ketika komunitas intelijen mulai kuat, situasi geopolitik kala itu justru berjalan sebaliknya.
Soeharto menggunakan komunitas intelijen sebagai sarana mempertahankan kekuasaan selama puluhan tahun, sebagaimana terlihat misalnya dari peran intelijen dalam Pepera Irian Barat tahun 1969, pembuangan 11.000 tapol di Pulau Buru pada 1969-1979, penembakan misterius tahun 1982-1985, serta operasi militer di Aceh dan Timor Timur.
Dalam buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto (2022), dijelaskan bahwa masa tersebut merupakan masa di mana komunitas intelijen justru "pecah kongsi".
Yoga Sugama, yang jadi andalan Soeharto dalam hal intelijen, menyarankan presiden kedua tersebut untuk mengurungkan niat kembali mencalonkan diri.
Sementara, Benny Moerdani yang telah menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan kala itu mengkritik bisnis anak-anak Soeharto.
“Pecah kongsi” tersebut kemudian diikuti dengan krisis moneter yang menerjang Asia pada 1997 dan menghantam Indonesia pada tahun berikutnya. Soeharto lalu mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998 setelah gelombang protes menuntut reformasi terjadi di mana-mana.
Reformasi 98 secara tak langsung turut mengubah peta komunitas intelijen, terutama intelijen dari militer.
Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 103 Tahun 2001, Badan Intelijen Negara disahkan.
BIN kemudian berdiri hingga kini. Pada 2014 lalu, struktur hirarki BIN berubah dari yang semula bertanggung jawab ke presiden menjadi ke Kemenko Polhukam.
Namun, pada 2020, melalui Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2020, BIN dikeluarkan dari tugas koordinasi Kemenko Polhukam dan kembali bertanggung jawab langsung ke presiden.
Selaku Lembaga Negara Non-Kementerian (LPNK), BIN memilki beberapa fungsi berdasarkan Perpres Nomor 73 tahun 2017, yakni:
Selain fungsi sebagaimana dijelaskan di atas, BIN juga memiliki tugas sebagai berikut:
Untuk menjalankan tugas dan fungsinya tersebut, BIN membagi hirarki organisasi menjadi berikut:
KOMENTAR
Latest Comment