Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tetap menjadi inisiatif pemerintah. Hal ini disebabkan karena konsep serta draf RUU tersebut sudah disusun oleh pemerintahan sebelumnya. Supratman menegaskan bahwa bagi pemerintah, terutama Presiden, siapa pun yang menjadi penginisiasi tidaklah penting. Yang lebih esensial adalah penyelesaian RUU sehingga dapat dibahas secara tuntas.
"Bagi kami pemerintah secara menyeluruh, terutama Presiden, siapa pun yang menjadi penginisiasi itu tidak penting. Entah pemerintah atau DPR, yang penting bagi pemerintah dan Presiden adalah RUU itu selesai dibahas," kata Supratman di kutip dari Antara
Pentingnya penyelesaian RUU Perampasan Aset bagi pemerintah tampak jelas. Supratman menambahkan bahwa kehadiran RUU tersebut sangat krusial dalam upaya penegakan hukum dan pengelolaan aset Negara. RUU ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana. Dengan adanya RUU ini, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan pengembalian aset yang merupakan hasil kejahatan kepada negara dan masyarakat.
Draf RUU Perampasan Aset yang ada saat ini memang telah dirumuskan selama periode pemerintahan sebelumnya. Hal ini memberikan landasan yang berharga untuk melanjutkan pembahasan tanpa harus mulai dari awal. Supratman percaya bahwa meskipun ada perubahan dalam struktur pemerintah, isi dan tujuan RUU ini tetap relevan dengan kebutuhan hukum di Indonesia.
Dinamika antara Pemerintah dan DPR
Beberapa waktu lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan keinginan untuk merevisi draf RUU Perampasan Aset. Menurut Supratman, penarikan dan penyusunan kembali draf ini merupakan langkah yang bisa memperkaya substansi RUU, asalkan sinergi antara DPR dan pemerintah terjaga dengan baik. Oleh karena itu, komunikasi yang terbuka antar lembaga sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Presiden Prabowo Subianto juga telah aktif mengomunikasikan perihal RUU ini dengan para ketua umum partai politik. Ini merupakan langkah strategis untuk menjalin kerjasama yang lebih efektif dalam melanjutkan pembahasan RUU. Supratman mengatakan bahwa penting untuk tidak hanya menjaga kelangsungan RUU, tetapi juga memastikan agar semua pihak yang terlibat, termasuk partai politik, dapat memberikan kontribusi terbaik mereka.
"Saya selalu katakan apa gunanya RUU ini masuk dalam prolegnas kalau nanti pemerintah serahkan, kemudian tidak selesai juga. Nah, sekarang Presiden sudah melakukan komunikasi dengan ketum partai politik, saya yakin pasti akan lebih baik," ungkapnya.
Evaluasi Prolegnas setelah masa reses DPR juga menjadi titik penting dalam dinamika ini. Supratman berharap bahwa hasil evaluasi nantinya dapat memberikan masukan yang konstruktif untuk pengembangan lebih lanjut RUU Perampasan Aset. Pembahasan yang mulus dan cepat akan memberikan signal positif bagi upaya pemberantasan korupsi yang menjadi sorotan di kalangan masyarakat.
Status RUU dalam Program Legislasi Nasional
RUU Perampasan Aset telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk periode 2025-2029. Namun, statusnya masih belum mencapai Prolegnas Prioritas Tahun 2025. Supratman menanggapi situasi ini dengan optimis, karena pemerintah akan terus mendorong RUU tersebut agar dapat membahasnya dalam waktu dekat.
Pentingnya masukan dari berbagai pemangku kepentingan sangat ditekankan dalam situasi ini. Supratman menegaskan bahwa apabila DPR menginisiasi naskah akademik baru untuk RUU ini, maka draf tersebut akan dievaluasi dengan seksama. Pertimbangan dari berbagai stakeholder akan menjadi hal yang utama dalam penyusunan naskah akademik agar terhindar dari potensi kesalahan dan bisa menghadirkan solusi yang lebih baik untuk masyarakat.
RUU ini muncul sebagai sebuah kebutuhan hukum yang sangat mendesak untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aset negara. Kesinambungan komunikasi antara pemerintah dan DPR akan menjadi kunci untuk membawa RUU ini ke tahap pembahasan berikutnya di dalam prolegnas.
Sejarah dan Latar Belakang RUU Perampasan Aset
Sejarah RUU Perampasan Aset dimulai dengan usulan pertama yang diajukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2008. Selama hampir dua dasawarsa, RUU ini telah mengalami berbagai dinamika dalam proses pembahasan yang sering mengalami keterlambatan.
RUU ini pernah mendapat perhatian serius di bawah kepemimpinan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, yang telah mengirimkan surat presiden (surpres) untuk mengusulkan agar RUU tersebut dibahas bersama DPR. Meskipun demikian, hingga saat ini, RUU Perampasan Aset belum dibahas secara formal oleh kedua pihak, baik pemerintah maupun DPR.