Cho Yong Gi merupakan seorang mahasiswa Program Studi Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia angkatan 2022. Ia adalah sosok yang dikenal aktif dalam berbagai kegiatan organisasi di kampus serta memiliki ketertarikan dalam bidang kemanusiaan. Dalam peringatan Hari Buruh yang dikenal dengan aksi May Day pada tanggal 1 Mei 2025, Cho Yong Gi turut berpartisipasi dengan menjalankan peran sebagai relawan medis.
Dalam aksi tersebut, ia mengenakan atribut lengkap sebagai petugas medis yang mencakup helm berlambang palang merah, membawa bendera tim medis, serta perlengkapan medis di dalam tasnya. Tujuan kehadirannya adalah memberikan pertolongan pertama kepada peserta aksi yang mengalami luka atau membutuhkan perawatan selama demonstrasi berlangsung. Tindakan Cho ini mencerminkan semangat kemanusiaannya, berupaya membantu dan melayani orang lain di tengah situasi yang berisiko.
Kronologi penangkapan
Cho Yong Gi ditangkap di depan Gedung DPR/MPR RI saat ia berusaha memberikan bantuan kepada peserta aksi yang terluka. Penangkapannya terjadi tepatnya pada saat kericuhan mulai muncul di lapangan. Polisi mengklaim bahwa Cho tidak segera membubarkan diri meskipun telah diperingatkan beberapa kali, yang dijadikan alasan untuk menangkapnya.
Ketika ditangkap, Cho bersama dengan tiga rekannya yang juga berperan sebagai relawan medis. Sebelum penangkapannya, ia mendengar teriakan warga yang meminta pertolongan untuk seseorang yang mengalami luka di kepala akibat kericuhan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sudah ada tekanan dari situasi yang berkembang, Cho tetap berupaya untuk melakukan tugasnya sebagai petugas medis.
Tuduhan tindak pidana yang dikenakan
Setelah penangkapannya, Cho Yong Gi dan tiga rekannya dikenakan berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal yang disangkakan antara lain adalah Pasal 212, Pasal 216, dan Pasal 218. Pasal 212 mengatur tentang perlawanan terhadap pejabat yang sedang menjalankan tugas sah, Pasal 216 tentang tindak pidana tidak menuruti perintah pejabat berwenang, dan Pasal 218 mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakilnya.
Pihak hukum dan dosen dari Fakultas Ilmu Budaya menyayangkan penetapan status tersangka terhadap Cho dan rekan-rekannya ini. Mereka berpendapat bahwa tindakan yang diambil oleh Cho dalam konteks aksi demonstrasi adalah sebuah hak warga negara serta bagian dari tugas kemanusiaan yang harus dilindungi. Ketua Program Studi Filsafat, Ikhaputri Widiantini, berharap agar pihak kepolisian dapat meninjau kembali penanganan kasus ini secara objektif dan berkeadilan.
Reaksi dan dukungan dari masyarakat
Penangkapan Cho Yong Gi melahirkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama dari kalangan akademisi dan aktivis. Ikhaputri Widiantini, sebagai Ketua Prodi Filsafat, menyatakan keprihatinannya atas penetapan tersangka terhadap Cho dan rekannya. Ia menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Cho adalah bagian dari hak yang dijalankan oleh warga negara yang seharusnya dihormati dan dilindungi oleh hukum.
Pendapat dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) juga berpandangan bahwa penetapan tersangka terhadap Cho dan rekan-rekannya adalah bentuk kriminalisasi terhadap aktivisme mahasiswa dan penyempitan ruang gerak masyarakat sipil untuk menyuarakan pendapat. Mereka menganggap bahwa tindakan polisi dalam menangkap peserta aksi yang sedang menjalankan tugas medis tersebut sangat merugikan dan berdampak negatif pada iklim demokrasi di Indonesia.
Dampak dari penangkapan ini terhadap aktivisme mahasiswa cukup signifikan. Banyak mahasiswa merasa takut untuk terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi di masa mendatang, karena khawatir akan mengalami nasib yang sama seperti Cho. Hal ini menciptakan ketidakpastian di kalangan mahasiswa soal bagaimana hak untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan dapat dilaksanakan tanpa rasa takut akan represifitas aparat.
Berdasarkan fakta-fakta yang muncul seputar kasus Cho Yong Gi, muncul harapan dari masyarakat agar hak asasi manusia, termasuk hak untuk berunjuk rasa dan berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan, semakin diperhatikan dan dilindungi oleh hukum. Seiring berjalannya waktu, diharapkan keadilan dapat ditegakkan dan kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum, untuk menghormati dan melindungi hak-hak setiap individu dalam masyarakat.