18 Agustus 2023 21:08 WIB
Penulis: Dzikri N. Hakim
Editor: Akbar Wijaya
Miftahudin Ramli alias Midun hanya bisa tersedu sedan saat tahu bahwa dirinya dilarang petugas keamanan memasuki area Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senin 14 Agustus 2023.
Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi titik singgah terakhir Midun dalam upaya merawat ingatan atas meninggalnya 135 nyawa dalam peristiwa Kanjuruhan. Sayangnya di titik akhir inilah ikhtiarnya justru menemui hambatan.
Pihak keamanan tak memperkenankan Midun masuk membawa sepeda ke dalam kawasan stadion.
“Kalau hanya saya yang masuk sih itu nggak penting. Yang penting sebenarnya muatan yang ada di situ [sepeda]. Itu ada [melambangkan] 135 [korban], kemudian ada laporan yang belum ditindaklanjuti, atau sudah ditindaklanjuti tapi masih jalan di tempat, mungkin. Itu aja,” kata Midun.
“Dan maksud saya tadi itu, kalau saya masuk, hanya foto-foto di depan, itu nggak penting,” lanjutnya.
Untuk sampai ke Stadion Utama Gelora Bung Karno Midun telah mengayuh sepeda dari Malang sepanjang 778 kilometer. Pria asal Batu, Malang ini menghabiskan waktu 11 hari menuju Ibukota, sejak Kamis (3/8/2023).
“Saya dari Batu ke sini itu memang sudah nazar saya. Setelah kejadian itu [tragedi Kanjuruhan], saya harus memberi rasa perhatian, ekspresi prihatin gitu ya dengan kejadian itu,” kata Midun.
Midun sempat mengaku khawatir kalau-kalau tragedi Kanjuruhan perlahan dilupakan banyak orang dan akan pudar begitu saja, padahal penanganan kasusnya masih terus berjalan, meski baginya kasus itu hanya berjalan di tempat saja, tak pernah kemana-mana.
“Saya berangkat dari Batu, dengan judulnya itu kan ekspedisi lintas stadion jalur Pantura. Tujuannya ya menolak lupa kejadian itu, memelihara ingat katanya teman-teman,” ucap Midun.
Dengan niatan serupa itu, kontur jalur pantura yang naik-turun bukan cuma ia lalui menggunakan sepeda seperti pada umumnya. Lebih-lebih, ia telah melakukan modifikasi dengan menyambungkan keranda besi pada bagian belakang sepeda. Sebagai simbol, telah ada nyawa yang hilang, ketika peristiwa Kanjuruhan itu datang.
Keranda sambungan itu juga ia dandani dengan kain hitam bertuliskan “Justice for Kanjuruhan” dan “Football Without Violence” pada sisi kanan dan kirinya, serta goresan “135” berwarna putih di bagian depan dan belakang, angka yang mengacu pada jumlah korban meninggal dalam tragedi yang pecah pada 1 Oktober 2022 itu.
Sepanjang perjalanannya menuju Jakarta, Midun selalu menyempatkan datang ke stadion di tiap kota yang ia lalui. Sepeda beserta keranda di belakangnya juga turut dibawanya masuk ke lapangan guna menyampaikan pesan kepada seluruh pemangku kepentingan agar tragedi Kanjuruhan tidak terjadi lagi di stadion lainnya.
Aksi itu berhasil ia lakukan beberapa kali, terhitung kala melawat ke Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya; Stadion Joko Samudro, Gresik; Stadion Jatidiri, Semarang; dan Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi.
Oleh sebab itu, ada kekecewaan yang mesti ia telan, begitu mengetahui bahwa dirinya tak dikehendaki untuk melakukan hal serupa di SUGBK, yang menjadi garis finish perjalanannya itu.
Amat disayangkan pula, jalan panjang Midun merawat ingatan akan tragedi Kanjuruhan itu tidak disambut baik oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
PSSI selaku asosiasi yang mengurusi permasalahan olahraga kulit bundar di negeri ini membiarkan aksi yang Midun lakukan berlalu begitu saja, padahal, kantor mereka bisa terbilang masih berada di sekitaran kawasan GBK.
“Saya ndak punya kekuatan apa-apa untuk ketemu [PSSI]. Yang penting saya kan melaksanakan hajat, sudah terlaksana ya alhamdulillah sekali,” ucapnya.
Kendati begitu, Midun tetap mensyukuri upayanya untuk sampai ke titik yang menjadi destinasi akhirnya itu, sekaligus membayar lunas janji yang telah ia tekadkan.
Baginya, hambatan yang ia dapat di akhir, sama sekali tak menyurutkan pesan ataupun makna yang hendak ia sampaikan.
Terlebih, Ia juga ingat betul, betapa para suporter saling bersatu dan bahu-membahu membantunya selama di perjalanan, meski memiliki perbedaan soal arah dukung-mendukung tim sepak bola. Hal itu menandakan adanya kedewasaan dari para suporter dan tekad mereka untuk bersatu, serta menyudahi rivalitas usang yang kerap kali menimbulkan korban.
Sepak bola dan rivalitas merupakan dua hal yang saling menghidupi. Adanya bumbu rivalitas membuat sepak bola tersaji secara apik dan menarik. Akan tetapi, rivalitas berlebih hanya akan memantik sesuatu yang ujungnya kurang baik. Senada, Midun juga menyuarakan hal serupa, baginya ada hal yang lebih jauh dari pada sekadar gengsi akan rivalitas semata.
“Waktu main aja 90 menit itu aja kan rivalitas, [di luar] itu kita sama-sama anak bangsa yang dianjurkan untuk mengisi kegiatan yang bermanfaat untuk bangsa, apalagi di bulan kemerdekaan,” sebut Midun.
KOMENTAR
Latest Comment