Nunung Tanggung Kebutuhan 50 Anggota Keluarga & Beratnya Keluar Perangkap Sandwich Generation

6 Feb 2023 21:02 WIB

thumbnail-article

Nunung "Srimulat" cerita bagaimana ia menanggung kebutuhan 50 anggota keluarga/ tangkapan layar Youtube @TRANSTVofficial

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Komedian Nunung ‘Srimulat’ jadi puncak percakapan (trending topic) di Twitter usai pernyatannya bahwa dirinya menanggung beban finansial sekira 50 anggota keluarga viral.

Nunung menjelaskan tanggung jawab finansial tersebut membuatnya gagal pensiun dari dunia hiburan walau umurnya sudah menginjak 60 tahun.

“Saya nolaknya gimana ya, namanya juga keluarga. Karena saya kan tahu persis kehidupan mereka,” tangis Nunung dikutip acara Pagi Pagi Ambyar Trans TV (3/10/2022).

Apa yang dialami Nunung disebut-sebut sebagai salah satu potret sandwich generation.

Lantas, apa itu sandwich generation?

Sandwich generation adalah generasi yang dijepit tanggung jawab finansial berbagai lapisan generasi di keluarganya.

Istilah sandwich generation pertama digunakan oleh profesor Universitas Kentucky, Amerika Serikat Dorothy A. Miller dalam jurnalnya “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging’.

Umumnya, istilah ‘generasi roti lapis’ ini mengacu kepada orang berumur 35-50 tahun atau dalam usia produktif yang memikul biaya hidup setidaknya tiga generasi: kedua orang tua yang telah lanjut usia, anak-anak yang belum dewasa, dan dirinya sendiri.

Ada pula istilah generasi ‘double sandwich’ atau ‘triple-decker sandwich’ yang dipakai untuk mendeskripsikan seseorang di sekitaran umur 60 tahun yang berperan merawat anak, cucu, dan orang tuanya yang biasa berumur 90-an.

Keluar Bukan Hal Mudah

Orang yang tidak pernah merasakan berada di posisi "sandwich" mungkin akan dengan enteng mengatakan tolak saja permintaan-permintaan keluarga yang membebani dirimu.

Atau cobalah mempelajari edukasi finansial agar dapat mengelola kebutuhan finansial yang begitu banyak. Misalnya, memiliki tabungan berencana, mempersiapkan program pensiun, asuransi kesehatan ataupun menyiapkan dana pendidikan anak.

Padahal, keluar dari lingkaran beban generasi sandwich tak semudah itu. Tak sedikit generasi sandwich yang tidak memiliki ruang finansial untuk menyisihkan tabungan.

Tidak sedikit pula yang mengorbankan ambisi karirnya untuk mengambil pekerjaan yang relatif aman demi menjamin keuangan keluarganya.

Selain itu, kultur menjadi faktor penting mengapa beberapa orang memilih untuk menjadi penopang tanggung jawab utama dalam keluarga.

Menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Luh Surini Yulia Savitri, ketergantungan akan keluarga telah menjadi norma di negara-negara Asia yang berkultur komunal bukan individualis. Merawat orang tua menjadi bagian dari moral dan bakti seorang anak.

“Apalagi di negara kita, negara Asia, yang memang sangat bergantung pada keluarga” katanya kepada Narasi, Senin (6/2/2023).

“Jadi tidak semudah itu kita dapat bilang ‘ah saya nggak mau membantu lagi,’” katanya.

Pasalnya, beban generasi sandwich pun tak hanya finansial. Mereka juga kerap menjadi penopang beban fisik dan emosional sebagai caregiver atau perawat utama di rumah.

Menjadi generasi sandwich juga berarti menjalani berbagai peran sekaligus: sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai pasangan, ataupun sebagai nenek/kakek.

Sebuah jurnal karya Sudarji dkk dalam Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi 2022 berjudul "Challenges of the Sandwich Generation: Stress and coping strategy of the multigenerational care", mencatat bahwa individu dalam generasi ini rentan stress, depresi, dan gangguan kecemasan.

Tekanan psikologis semacam itu terjadi karena para generasi sandwich mesti menanggung tanggung jawab pekerjaan professional, merawat anggota keluarga, dan melakukan pekerjaan domestik.

Generasi sandwich juga kerap menjadi perantara konflik yang terjadi dalam rumah, antar anak, ataupun konflik multigenerasi antara orang tua dan anak.

Selain itu, perbedaan persepsi dari orang tua dalam hal-hal harian kecil kerap menguras tenaga mental anggota sandwich generation.

Dengan ini, sandwich generation dituntut untuk membagi perhatian kepada generasi di atasnya dan dibawahnya. Beban ini pun dapat bertambah jika orang tua memiliki penyakit yang membutuhkan perawatan khusus.

“Apalagi saat orang tua sakit, karena pasti butuh perhatian khusus. Sedangkan anak juga dalam usia remaja yang butuh perhatian yang sangat besar juga,” kata Luh Surini.

“Ditambah lagi kalau pasangan si sandwich generation ini juga bekerja dua-duanya, semakin terpecah belah perhatiannya” imbuhnya.

Sudarji dkk juga mencatat bahwa perempuan lebih mudah terkena dampak psikologis sandwich generation. Hal ini terutama karena selain memikul tanggung jawab finansial mereka juga bertanggung jawab dalam merawat anak, orang tua, dan melakukan pekerjaan domestik. 

Namun, Luh Surini menegaskan bahwa setiap keluarga tidak dapat dipukul rata.  Sebab setiap keluarga memiliki dinamika hubungan dan relasi antaranggota yang berbeda-beda. 

“Ketika ada seorang saudara dianggap memiliki uang lebih, mungkin ada keinginan untuk memberikan. Dan mungkin saudaranya juga sudah terbiasa bergantung dan dibantu. Tetapi kita tidak tau apa kondisi di dalam keluarga itu, kita tidak bisa judge itu” tutupnya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER