Advertisement

Opini: Refleksi Transmigrasi Baru, ITB, dan Panggilan Bangsa

28 May 2025 17:53 WIB

thumbnail-article

Menteri Transmigrasi M. Iftitah Suryanegara bersama warga Merauke, Papua Selatan. Sumber: dokumentasi penulis..

Penulis: R. Muhammad Zulkipli*

Editor: Akbar Wijaya

RINGKASAN

"We cannot predict whether a photon will arrive at A or B. What we can predict is that out of 100 photons that come, an average of 4 will be reflected by the front surface..." (Richard Feynman)

Richard Feynman, fisikawan besar mengajarkan kepada kita bahwa di alam semesta yang paling presisi, kebenaran bukanlah kepastian absolut—melainkan probabilitas yang terus-menerus diuji oleh eksperimen dan pengamatan. Pandangan ini tidak hanya berlaku dalam ilmu fisika, tetapi juga dalam tata kelola pemerintahan, perencanaan pembangunan, dan kebijakan publik. Di dunia yang kompleks dan berubah cepat, kepastian adalah ilusi; yang nyata adalah proses pencarian berkelanjutan terhadap kebenaran dan kebermanfaatan.

Pandangan Feynman mengingatkan kita pada perjalanan sejarah optika: dari Euclid yang memandang cahaya sebagai garis lurus, hingga Alhazen (Ibnu al-Haytham) yang mengungkapkan bahwa cahaya adalah hasil interaksi antara medium, sumber, objek, dan mata. Dalam Kitab al-Manazir, Alhazen menegaskan bahwa memahami cahaya berarti memahami bias, pantulan, dan pembiasan dalam konteks yang lebih luas. Maka tak heran jika ia berkata: "The road to the truth is long and hard, but in it there is light."

Seperti cahaya, pembangunan bukan garis lurus. Ia adalah sistem kompleks, penuh bias, refleksi, dan tantangan multidimensi. Dalam konteks Indonesia, pemahaman ini penting terutama saat kita membicarakan kebijakan Transmigrasi Baru yang kini dirumuskan ulang sebagai upaya strategis dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.

Transmigrasi Baru Bukan Sekadar Memindahkan Manusia

Transmigrasi, selama ini, kerap dipersempit maknanya sebagai pemindahan penduduk dari wilayah padat ke wilayah kosong. Padahal, realitas sosial, ekonomi, dan ekologis transmigrasi jauh lebih kompleks. Di bawah kepemimpinan Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanagara—seorang pemikir yang berakar kuat pada TNI dan penggagas beasiswa Presiden yang kemudian melahirkan LPDP,—Transmigrasi Baru didefinisikan ulang sebagai ekosistem reflektif yang bersandar pada kolaborasi multipihak: negara, warga lokal, transmigran, swasta, akademisi, dan lingkungan.

Dalam Stadium Generale di ITB bertema "Transmigrasi Baru, Indonesia Maju" (28 Mei), Menteri Iftitah memaparkan lima pilar utama Transmigrasi Baru dalam konsep 5T+

Transmigrasi Patriot adalah pintu pertama. Ia menjadi simbol keberanian intelektual dan kepedulian sosial generasi muda. Mahasiswa, akademisi, dan lulusan perguruan tinggi tak hanya didorong untuk belajar dari jauh, tetapi untuk turun langsung ke lapangan, bersentuhan dengan realitas, dan menyumbangkan pemikiran serta tenaga dalam bentuk riset, pengabdian masyarakat, dan pengembangan usaha. Di sinilah pendidikan bertemu keberpihakan.

Trans Lokal hadir sebagai jembatan sosial yang mengikat kehadiran warga transmigran dengan masyarakat lokal. Dalam sejarah transmigrasi, kita tahu betapa sering ketegangan muncul karena ketimpangan akses dan distribusi sumber daya. Maka program ini dirancang untuk menjamin pengakuan atas hak-hak ekonomi warga lokal, mempromosikan kemandirian komunitas, dan menghormati kearifan lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari jati diri bangsa.

Trans Tuntas menuntaskan apa yang selama ini tercecer. Backlog legalitas hak atas tanah, ketiadaan dokumen kepemilikan, dan kekosongan administrasi bukan hanya masalah teknis—ia adalah luka keadilan. Maka langkah ini bukan semata administrasi, melainkan afirmasi atas hak, kepastian hukum, dan fondasi bagi ekonomi rakyat. Bahkan, lebih jauh, ia memperkenalkan model kepemilikan komunal sebagai basis pembentukan korporasi bersama.

Trans Karya Nusa menjadi denyut ekonomi baru di kawasan. Ia mendorong tumbuhnya UMKM, koperasi, dan usaha produktif masyarakat—seraya membuka ruang bagi kehadiran swasta dalam skala besar yang berfokus pada hilirisasi dan industri berkelanjutan. Inilah cetak biru Kawasan Ekonomi Transmigrasi Terintegrasi (KETT): pusat pertumbuhan baru yang berbasis klaster sektoral—dari pertanian, perikanan, energi terbarukan, hingga industri pengolahan.

Trans Gotong Royong mengikat semuanya dalam simpul kolaborasi. Kolaborasi ini tidak berhenti pada koordinasi antar-kementerian atau lintas pemerintah daerah. Ia menjangkau dunia usaha, dari korporasi lokal hingga multinasional, dan dibangun sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Prinsip inklusivitas dan keberpihakan pada rakyat menjadi jiwa dari seluruh gerak langkah ini.

Sebagai penopang utama seluruh ekosistem kebijakan ini, Transformasi Data dan Digitalisasi Pusat Data dan Informasi Transmigrasi menjadi prasyarat mutlak. Dengan teknologi seperti machine learning, kecerdasan buatan (AI), dan blockchain, data tidak lagi bersifat pasif, tetapi menjadi alat aktif untuk merancang masa depan. Di sinilah pembangunan menjadi prediktif, bukan reaktif; strategis, bukan sekadar administratif.

Bagi saya, Transmigrasi Baru adalah laboratorium peradaban. Sebuah ruang eksperimental di mana kita menguji gagasan besar dalam skala nyata, dengan keberanian intelektual dan integritas moral. Maka, pertanyaannya bukan apakah program ini akan berhasil. Melainkan: apakah kita mampu memenuhi prasyarat keberhasilan itu secara kolektif dan berkelanjutan?

Dalam forum yang sama, saya teringat ucapan Ismail Zulkarnain, tokoh ITB yang saya hormati: "Kebersihan dan kerendahan hati menjadi prasyarat utama: kita harus siap terus belajar, mengerjakan, mengevaluasi, memperbaiki, dan bergerak bersama." Itulah etos ilmiah dan kenegarawanan yang harus kita rawat.

Pada akhirnya menemukan kebenaran bukanlah perkara mudah. Ia adalah perjalanan panjang yang melelahkan, seringkali penuh keraguan dan rintangan. Namun justru dalam perjalanan itulah cahaya muncul—cahaya yang membimbing arah dan menyalakan harapan.

Dalam semangat inilah kita memahami apa yang dimaksud dengan Transmigrasi Baru: sebuah ikhtiar besar untuk merumuskan masa depan Indonesia melalui cara-cara baru, lintas sektor, lintas disiplin, dan lintas generasi.

Transmigrasi tidak lagi sekadar memindahkan orang—ia kini menjadi medium intelektual, kepekaan sosial, dan cita-cita berkeadilan untuk membangun masa depan bersama. Seperti semboyan ITB yang saya yakini dengan sepenuh hati: In Harmonia Progressio.

 

*Penulis adalah Katalis Ekonomi Bru dan Tata Kelola Hijau: Strategi Pembangunan Berkelanjutan untuk Kawasan Transmigrasi. Saat ini Staf Ahli Menteri Transmigrasi



Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER

Advertisement
Advertisement