Dalam tradisi politik Indonesia, garis batas antara sipil dan militer tak pernah sepenuhnya jelas. Meskipun reformasi 1998 secara de jure telah mengakhiri dwifungsi ABRI, jejak dan resonansi pengaruh militer tetap hidup, membayang dalam berbagai simpul kekuasaan negara.
Secara historis, militer Indonesia tidak pernah menjadi institusi steril yang terpisah dari urusan kekuasaan sipil. Militer kerap menyelinap menjadi kekuatan penentu dalam res publica Indonesia.
Pada 14 Maret 1957, ketika Presiden Sukarno memberlakukan keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg/ SoB) dan memberi militer peran administratif dan politik yang lebih luas melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 195 Tahun 1957, terbentuklah cikal bakal dwifungsi ABRI.
Begitu pula ketika Sukarno menetapkan Dekrit 5 Juli 1959 yang berujung pada pembubaran konstituante dan menjadi dasar demokrasi terpimpin, TNI—di bawah kepemimpinan Jenderal A.H. Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat)—menjadi aktor penting yang mendukung penuh keputusan Sukarno.
Dukungan ini tidak semata-mata karena pertimbangan ideologis, tetapi juga karena militer melihat peluang memperluas peran dan pengaruhnya dalam pemerintahan sipil, melalui konsep "Dwi Fungsi ABRI" yang mulai tumbuh pada era ini.
Sejak itu, militer tak hanya menjadi alat pertahanan negara, tetapi juga pemain aktif dalam politik dan pemerintahan. Dan ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, peran militer tak hanya dilembagakan dalam struktur kekuasaan, tetapi juga merasuk dalam kesadaran publik sebagai penjamin stabilitas nasional.
Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI menggarisbawahi bahwa sejak kemerdekaan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah memosisikan dirinya sebagai penjaga stabilitas politik ketika kekuatan sipil dianggap gagal menjaga legitimasi kekuasaan.
Ia menunjukkan bagaimana TNI, terlibat dalam intervensi politik untuk memastikan keamanan dan stabilitas negara, terutama dalam situasi krisis. Sundhaussen melihat militer berperan sebagai aktor yang menentukan arah politik Indonesia pasca-kemerdekaan, dengan doktrin interventionist tradition (tradisi intervensi) yang memungkinkan militer memasuki ranah politik dengan dalih kepentingan nasional.
Sementara itu, dalam Militer dan Politik Indonesia (1999), Harold Crouch menjelaskan bahwa sejak awal Orde Baru, militer Indonesia telah membangun corporate identity yang kuat, yang tidak hanya bersifat institusional, tetapi juga ideologis. TNI, secara langsung atau melalui purnawirawan, terlibat dalam intervensi politik untuk memastikan keamanan dan stabilitas negara.
Bagi militer Indonesia, peran mereka tidak terbatas sebagai penjaga pertahanan negara, melainkan juga pengawal keberlanjutan revolusi dan pemelihara stabilitas sosial dan politik. Crouch menunjukkan bagaimana militer memandang dirinya sebagai bagian penting dalam menjaga moralitas bangsa dan ideologi negara, yang memungkinkan mereka mendominasi berbagai sektor kehidupan politik Indonesia.
Dalam konteks panjang inilah, petisi sejumlah purnawirawan TNI yang mendesak pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak cukup dibaca sekadar sebagai catatan ekspresi moral para pensiunan. Ia merupakan bagian dari keberlanjutan "tradisi intervensi" yang amat mungkin diarahkan atau ditunggangi menjadi bayang-bayang politik di tengah isu dinamika "matahari kembar" Prabowo-Jokowi.
Menyerang Gibran lewat isu putusan MK hanyalah pintu masuk untuk menekan Jokowi, mencederai kredibilitas, dan daya tawar politiknya baik di hadapan pemerintahan Prabowo maupun di hadapan kekuatan elite nasional lainnya.
Dari Petisi 50 ke Forum Purnawirawan
Petisi mendesak pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI dibacakan pada 17 April 2025 dalam sebuah acara silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan Tokoh Masyarakat yang berlangsung di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Testamen politik ratusan senior militer itu berisi delapan poin tuntutan, salah satunya usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Para purnawirawan berangggapan pengangkatan Gibran sebagai cawapres melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah hasil dari proses yang cacat etik dan hukum.
Hal ini lantaran Anwar Usman, Ketua MK saat itu sekaligus paman Gibran diputuskan terbukti melanggar etik berat. Dalam logika para purnawirawan, status wapres yang diperoleh dari keputusan tercemar seperti itu adalah ilegal, meskipun tidak digugurkan secara yuridis karena asas putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final dan binding).
"Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman," demikian bunyi petisi.
Secara kuantitaf maupun kualitatif seruan para purnawiran ini tidak bisa dipandang remeh. Petisi ditandatangani oleh 332 purnawirawan TNI, yang terdiri dari perwira menengah dan tinggi lintas matra: 103 jenderal Angkatan Darat, 73 Laksamana, 65 Marsekal, dan 91 kolonel.
Di antara mereka, terdapat nama-nama besar dalam sejarah militer dan pemerintahan Indonesia: Jenderal (Purn) Try Sutrisno—mantan Wakil Presiden dan Panglima ABRI; Jenderal (Purn) Fachrul Razi—mantan Menteri Agama dan Kasum ABRI; Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto—eks Kepala Staf TNI AD; Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto—mantan Kepala Staf TNI AL; serta Marsekal (Purn) Hanafie Asnan—mantan Kepala Staf TNI AU.
Sebagian pihak mungkin menganggap bahwa karena para purnawirawan ini sudah tidak aktif, suara mereka tak lagi relevan dalam percaturan politik nasional. Argumen semacam ini mengabaikan fakta sosiologis dan historis tentang struktur kekuasaan di Indonesia.
Dari aspek sosiologis kepercayaan publik terhadap militer masih tinggi. Suara para purnawirawan seringkali menjadi penentu dalam pembentukan opini publik. Bahkan dalam berbagai kasus politik elektoral, purnawirawan TNI menjadi aktor strategis dalam membentuk aliansi, konsolidasi, hingga lobi kekuasaan.
Dari aspek historis, sejarah mencatat keterlibatan politik para purnawirawan bukanlah hal baru. Pada 5 Mei 1980, lima puluh tokoh nasional—mayoritas di antaranya adalah purnawirawan TNI dan tokoh-tokoh sipil senior seperti:
-
Jenderal (Purn.) A.H. Nasution (mantan Panglima Besar ABRI dan Ketua MPRS)
-
Letjen (Purn.) Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta)
-
Jenderal (Purn.) Hoegeng Iman Santoso (mantan Kapolri)
- Letjen (Purn.) Ahmad Yunus Mokoginta
-
Hingga mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir.
Akar keberatan mereka berangkat dari pidato Soeharto dalam HUT ABRI ke-35 (27 Maret 1980), yang mengandung pernyataan bahwa siapa pun yang tidak sejalan dengan Pancasila adalah musuh negara.
Para penandatangan petisi menilai Soeharto telah menggunakan tafsir Pancasila sebagai senjata politik untuk membungkam kritik dan oposisi. Mereka menolak upaya Soeharto menyamakan dirinya dengan simbol negara, serta menyuarakan keberatan terhadap intervensi militer dalam menentukan “kawan dan lawan” politik berdasarkan interpretasi tunggal kekuasaan.
Meski Petisi 50 tidak berhasil menggoyang kekuasaan Soeharto secara langsung, namun secara politis, ia menjadi tonggak penting kritik terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Dari Sukarno Hingga Gusdur
Sampai titik ini, baik Petisi 50 maupun gerakan pemakzulan Gibran yang disuarakan Forum Purnawirawan TNI mencerminkan preseden panjang keterlibatan eksponen militer dalam wacana koreksi politik terhadap kepemimpinan nasional.
Secara konstitusional, mekanisme pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 hasil amandemen 2002. Pasal 7A menetapkan bahwa presiden atau wapres dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Sementara Pasal 7B mengatur prosedur politik-hukum: dimulai dari usulan DPR, pengujian di Mahkamah Konstitusi, hingga keputusan akhir oleh MPR.
Tapi sejarah Indonesia menjadi saksi bahwa jatuhnya seorang pemimpin lebih sering dipicu oleh pergeseran kekuasaan ketimbang kekuatan bukti hukum. Sukarno, Soeharto, dan Abdurrachman Wahid (Gus Dur) sama-sama tersingkir karena kehilangan legitimasi politik, bukan lantaran proses yudisial.
Oleh karena itu, di tengah konfigurasi kekuasaan pasca-Pilpres 2024 yang diwarnai oleh dinamika “matahari kembar” antara Jokowi dan Prabowo—dua pusat kekuasaan yang saling berkelindan namun juga salingi bersaing—gerakan para purnawirawan tidak cukup dibaca semata dari perspektif legal-formal atas putusan MK.
Para purnawirawan, dengan legitimasi simbolik yang dibentuk oleh sejarah, pangkat, dan jaringan kekuasaan masa lalu, menjadi pelaku politik yang memainkan peran di tengah bayang-bayang kekuasaan Prabowo versus Jokowi.
Persaingan Matahari Kembar: Menyerang Gibran = Menyerang Jokowi
Sebagai sosok yang pernah memerintah selama lebih dari 10 tahun, Jokowi hari ini bukan sekadar mantan Presiden; ia adalah nodus dari kekuatan politik dan ekonomi yang menyebar ke berbagai poros dalam maupun luar pemerintahan: di partai politik, di kelompok pengusaha, dan di dalam struktur negara. Pengaruhnya meski tidak terlihat namun dapat dirasakan dalam sejumlah keputusan penting yang diambil Prabowo.
Sementara Prabowo, dengan legitimasi elektoral dan kontrol atas sektor pertahanan tampak terengah-engah melepaskan diri dari Jokowi yang berjasa besar mewujudkan mimpinya menjadi presiden. Dalam konteks ini, narasi koreksi yang dilakukan para purnawirawan bisa saja dibaca sebagai senjata yang diarahkan untuk memperlemah pengaruh Jokowi di jantung kekuasaan.
Jika Gibran kehilangan legitimasi, maka Jokowi akan terdorong untuk mundur dari panggung politik atau setidaknya bernegosiasi ulang mengenai peran dan pengaruhnya dalam pemerintahan Prabowo ke depan.
Senioritas dan Kekuatan Politik Purnawirawan
Satu contoh kemungkinkan misalnya, gerakan purnawirawan ini secara tak langsung bisa saja menyentuh dimensi sensitif yakni delegitimasi terhadap Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang dilantik di penghujung kekuasaan Presiden Jokowi.
Sebagai figur yang dipersepsikan bagian loyalis Jokowi (geng Solo), Agus bisa saja berada dalam posisi rentan bila suara purnawirawan semakin menguat. Seperti kita tahu dalam struktur TNI, penghormatan terhadap senioritas bukan hanya tradisi—ia adalah fondasi tak tertulis yang mengatur etika internal dan solidaritas korps. Senior dihormati bukan semata karena pangkat atau usia, tetapi karena mereka dianggap sebagai penjaga nilai-nilai luhur tentara.
Kultur korsa memperkuat hal itu. Ikatan emosional dan historis antara senior dan junior, yang terbentuk sejak pendidikan militer, operasi bersama, hingga pengabdian puluhan tahun, melahirkan semacam chain of moral command yang tidak lenyap meski status kepangkatan sudah berakhir.
Akibatnya, tidak tertutup kemungkinan seruan pemakzulan Gibran akan beresonansi secara emosional maupun ideologis ke dalam tubuh prajurit aktif. Ketika otoritas moral para senior militer yang tidak sehaluan dengan Jokowi mulai membentuk opini dan sikap politik di kalangan prajurit, kekuatan simbolik Panglima TNI juga bisa mengalami erosi di tubuh institusi.
Sebaliknya gerakan purnawirawan justru bisa membuka ruang bagi Prabowo memperkuat pengaruhnya di tubuh TNI. Sebagai mantan Danjen Kopassus dan eks perwira yang reputasinya dibentuk di tengah medan pertempuran dan birokrasi militer Orde Baru, Prabowo punya simpul-simpul loyalis yang tetap hidup, baik di antara purnawirawan maupun generasi penerus di tubuh TNI. Spanduk tuntutan purnawirawan bahkan mengklaim mendukung Prabowo menyelamatkan negara.
Namun semua itu bergantung pada apakah gerakan purnawirawan memakzulkan Gibran berhasil membangun tekanan sosial-politik yang cukup besar—baik dari publik, elite partai, maupun masyarakat sipil atau tidak. Jika iya, maka Jokowi akan terpojok dan terpaksa melakukan negosiasi ulang terkait masa depan peran dan pengaruhnya.
Pada akhirnya, kendati secara prosedural wacana pemakzulan Gibran akan menghadapi jalan hukum yang terjal lantaran tidak atau belum ada putusan pengadilan yang menyatakan ia melanggar hukum, namun sebagaimana dialami Sukarno, Soeharto, dan Gusdur, semua itu tak pernah menjadi syarat utama. Yang utama dalam pemakzulan adalah: apakah dukungan politik masih ada dan cukup dipakai untuk bertahan.
Baca Juga:Opini: Menafsir Makan Malam Jokowi-Prabowo, Tarik-menarik Keberlanjutan versus Hak Prerogatif
*Jay Akbar menempuh pendidikan S1 Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro. Pernah bekerja sebagai wartawan di Majalah Historia, Harian Republika, dan Tirto.id. Saat ini, menjadi jurnalis dan produser di Narasi dengan minat pada isu-isu sejarah dan politik.