OPINI: Teropong Republikanisme dalam Perseteruan Luhut Versus Fatia-Haris

18 Mar 2023 21:03 WIB

thumbnail-article

null

Penulis: Fian Alaydrus*

Editor: Akbar Wijaya

Laporan hukum Luhut Binsar Panjaitan terhadap aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar tidak cukup dipandang sebagai peristiwa kriminalisasi yang mengancam kebebasan berekspresi dalam demokrasi, namun juga memuat ancaman yang lebih fundamental yaitu kondisi republik.

Urgensi melihat kasus ini bukan sekedar sebagai ancaman terhadap demokrasi perlu dilakukan dengan alasan:

Pertama, jangan sampai kita menjebak demokrasi untuk bertanggung jawab atas segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan publik kita dan menghalangi kita untuk membangun kosakata baru dan mencapai ideal-ideal lain yang tak kalah penting seperti keadilan. Sebab, demokrasi memang bukan obat mujarab untuk segala macam jenis penyakit.

Bila kita memposisikan kritik kepada pejabat publik dalam kerangka kehidupan bersama dalam sebuah republik maka kriminalisasi terhadap Fatia-Haris  tidak cukup dipandang sekadar peristiwa kriminalisasi yang mengancam kebebasan berekspresi dalam demokrasi, namun juga memuat ancaman yang lebih fundamental yaitu kondisi republik.

Robertus Robert dalam Republikanisme: Filsafat Politik untuk Indonesia menjelaskan bahwa gaung yang berlebihan terhadap konsep demokrasi akan mengakibatkan kita gagal paham dan mengubur konsep republik yang sebenarnya jauh lebih fundamental dan melahirkan demokrasi itu sendiri.

Kedua, menyematkan perseteruan Luhut versus Fatia-Haris semata-mata sebagai peristiwa pemberangusan kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM akan menjadi senjata makan tuan bagi warga dan aktivis saat berhadapan dengan pejabat negara.

Luhut misalnya, melaporkan Fatia-Haris dengan dalil: "Jadi jangan mengatakan hanya hak asasi yang ngomong saja, hak asasi yang diomongin kan ada."

Bagi saya kalimat itu menunjukkan Luhut tidak memahami posisinya sebagai pejabat negara yang dikritik warga. Dia gagal paham mengenai konsep HAM yang memandang negara sebagai pemegang tanggung jawab (duty bearers) terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM kepada warga (rights holder).

Kebebasan Dalam Bingkai Republikanisme Klasik

Untuk menjawab urgensi tersebut kita perlu memahami arti kebebasan di dalam pengertian republikanisme awal; di mana di dalam paham republikanisme klasik selalu terdapat tegangan antara kebebasan individu dan kepentingan umum.

Tegangan ini pula yang terjadi dalam perseteruan antara Luhut versus Fatia-Haris maupun pejabat publik lainnya yang memilih "berkonflik" dengan warga atau aktivis alih-alih merespons kritik dengan penjelasan.

Di sinilah pentingnya mendudukan persoalan sebagaimana yang diuraikan Robet dalam karyanya bahwa kritik warga atau aktivis idealnya ditempatkan dalam kerangka konsepsi kebebasan republikanisme klasik atau civic humanism dalam bahasa Hannah Arendt.

Benjamin Constant pemikir asal Prancis mengatakan terdapat perbedaan antara konsep kebebasan republikanisme klasik dan kebebasan modern.

Konsepsi kebebasan republikan yang mengacu pada masa antik (pra-Sokrates) menekankan kebebasan dalam kaitannya dengan "hidup baik dalam komunitas yang merdeka".

Sedangkan dalam konsepsi modern, kebebasan lebih diarahkan pada pengunggulan berbagai hak-hak individual dan kondisi tiadanya paksaan.

Lebih lanjut Benjamin mengatakan bahwa di dalam pengertian kebebasan zaman klasik, keutamaan umum diposisikan di atas dari kebebasan dan hak-hak individual sehingga titik beratnya pada karakter kolektif dari kebersamaan tindakan individu demi mencapai good life.

Hal ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Hannah Arendt yang mengatakan bahwa kebebasan ialah konsep yang bertautan secara langsung dengan politik, keaktifan seorang warga di dalam polis-nya.

Kebebasan, menurut Arendt tidak dipahami sebagai “kondisi kedirian yang mewujud dalam laku” (a state of being manifest in action).

Dalam kerangka berpikir semacam itu apa yang dilakukan Fatia-Haris jelas bukan sekedar mengaktifkan kebebasan yang urusannya dengan diri mereka semata.

Dalam bingkai kebebasan republikanisme seperti yang diterangkan Robet, kebebasan mengkritik yang dilakukan baik oleh Fatia-Haris maupun Koalisi Bersihkan Indonesia merupakan wujud solidaritas warga di dalam polis-nya atau republik.

Kritik Fatia-Haris dan Koalisi Bersihkan Indonesia hendak mempertegas temuan dalam riset “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua” yang menyatakan bahwa operasi militer dengan penempatan TNI/POLRI di Intan Jaya sejatinya tidak memberikan efek rasa aman dan nyaman bagi warga sekitar.

Berbeda dengan Fatia-Harris dan Koalisi Bersihkan Indonesia, Luhut justru membawa persoalan ini dengan mengaitkan bahwa dirinya juga memiliki kebebasan; persisnya kebebasan dalam kerangka menjaga nama baiknya di hadapan anak dan cucunya.

Semoga Pak Luhut dapat menginsyafi salah satu nilai dari Sapta Marga yaitu Patriotisme; yang mana dalam paham republikanisme merupakan sikap keberanian untuk mengalahkan kepentingan pribadi demi kepentingan umum atau melayani kepentingan republik.

*Penulis merupakan Assistant Lawyer Haris Azhar Law Office

===============================================

Artikel opini berisi pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap redaksi Narasi.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER