Pak Jokowi, PDIP Pernah Minta SBY Netral Tak Gunakan Istana untuk Kepentingan Politik Pribadi

8 May 2023 09:05 WIB

thumbnail-article

Arsip foto - Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kedua kiri), dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) memberikan keterangan pers usai menghadiri acara Silaturahim Ramadhan 1444 H DPP PAN di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023). Acara tersebut turut dihadiri para ketua umum partai politik koalisi pendukung pemerintah seperti PAN, Partai Golkar, Partai Gerindra, PPP, dan PKB. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym)

Penulis: Dzikri Nurul Hakim

Editor: Akbar Wijaya

Langkah Presiden Joko Widodo mengumpulkan lima ketua umum partai politik di Istana Kepresidenan pada Selasa (2/5/2023) malam menuai kritik sejumlah kalangan.

Pasalnya, dari tujuh partai politik di koalisi pemerintah, Jokowi hanya mengundang para ketua umum yang sejalan dengan agenda politiknya di Pilpres 2024 yakni:

  • Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
  • Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
  • Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
  • Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.
  • Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
  • Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Mardiono.

Sedangkan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang juga menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi tidak turut diundang.

Hal ini memunculkan kekhawatiran sejumlah politikus dan kritikus bahwa Jokowi selaku pemegang kekuasaan tertinggi negara tidak bersikap netral menghadapi di Pemilu 2024.

"Sebetulnya bisa jadi itu menjadi bagian yang perlu dikritisi, melihat istana digunakan untuk kepentingan politik," kata pengajar ilmu politik Universitas Indonesia Panji Anugerah kepada Narasi, Jum'at (5/5/2023).

Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12 M. Jusuf Kalla (JK) juga melontarkan kritik serupa.

Menurut JK tidak diundangnya Nasdem dalam pertemuan para ketua umum partai mengindikasikan ketidaknetralan presiden dalam kontestasi politik.

"Ini kan bukan yang pertama [Nasdem] tidak diundang. Kalau pertemuan yang di Istana itu membicarakan tentang urusan pembangunan itu wajar saja, tapi kalau bicara pembangunan saja mestinya Nasdem diundangkan? Berarti ada pembicaraan politik," kata JK di kediamannya Jalan Brawijaya No.6 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (6/5/2023) malam.

JK berpendapat Jokowi di akhir kekuasaannya sebagai presiden tidak terlalu turut campur dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024. Hal ini menurutnya sebagaimana yang dilakukan Megawati dan SBY.

“Menurut saya, Presiden itu seharusnya seperti Ibu Mega, SBY, begitu akan berakhir [jabatan] maka tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam suka atau tidak suka dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis lah,” ujar JK.

Sehari sebelum JK melontarkan kritik, Jokowi mengakui bahwa upaya mengumpulkan para ketua umum partai politik koalisi pemerintah tanpa melibatkan Nasdem memang membicarakan isu-isu politik.

Baginya hal ini sah-sahsa saja lantaran sebagai pejabat publik ia juga seorang pejabat politik.

"Dalam politik itu wajar-wajar saja, biasa. Dan saya itu adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik. Jadi biasa kalau saya berbicara politik, ya boleh dong," katanya kepada para wartawan di Mal Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (5/5/2023).

Jokowi mengatakan dia akan berhenti ikut campur urusan politik ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2024.

PDIP Minta SBY Tidak Gunakan Istana untuk Kepentingan Politik Pribadi

Kritik soal pentingnya Istana Negara menjadi wilayah netral dalam jelang pemilu pernah dilontarkan politikus PDI Perjuangan Pramono Anung ketika partainya menjadi oposisi di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Awal Oktober 2008, Pramono Anung yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Jendral DPP PDI Perjuangan melayangkan catatan kepada Presiden SBY lantaran mengumumkan keinginan pencalonan diri kembali sebagai presiden di Istana Negara.

Menurut Pramono seorang pejabat negara yang mencalonkan diri menjadi presiden harus bisa memisahkan kepentingan pribadi dan tugas kenegaraannya.

“Seharusnya sebagai Presiden, beliau mengetahui mencalonkan diri bukan sebagai kepresidenannya, tapi karena pribadinya. Harusnya disampaikannya di tempat lain. Ini hanya sebagai catatan kecil saja”, ujar Pramono Anung dikutip dari Detik, Rabu (1/10/2008).

PDIP Minta Presiden Netral di Pemilu

Sebagai politikus senior PDI Perjuangan sekaligus Wakil Ketua DPR kala itu, Pramono Anung juga pernah mewanti-wanti Presiden SBY agar bersikap netral dalam Pilpres 2014.

"Apabila itu dilakukan (netralitas Presiden), maka keamanan dan kenyamanan akan terjamin dan Pilpres 2014 berjalan aman," kata Pramono dikutip Republika di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (5/7/2014).

Pramono mengatakan pilpres merupakan pertaruhan bagi rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin dengan cara aman dan nyaman. Dalam konteks itu, Pramono berpendapat presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan bertugas menjaga keamanan bangsa serta negara.

"Kita punya pengalaman Pemilu Presiden secara langsung di 2004 dan 2009 yang semuanya berjalan baik," ujarnya.

PDIP Minta Presiden Jaga Netralitas TNI dan Polri

Selain meminta Presiden SBY bersikap netral Pramono juga meminta SBY memastikan netralitas TNI dan Polri dalam pilpres.

"Netralitas TNI dan Polri adalah harga mati. Ketika TNI dan Polri 'main-main' dengan netralitas maka rusak demokrasi Indonesia," tegasnya.

Pramono bahkan menyebut presiden harus memberi sanksi tegas kepada anggota TNI dan Polri yang terlibat politik praktis.

Lain Dulu, Lain Sekarang

Tak seperti ketika masih menjadi partai oposisi, PDI Perjuangan yang sekarang menjadi bagian dari pemerintahan justru menganggap biasa pertemuan antara Jokowi dan para ketua umum partai politik di Istana Negara.

Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menyebut apa yang dilakukan Jokowi juga terjadi di masa-masa presiden sebelumnya.

"Dan kemudian dalam aktifitas presiden, dengan partai-partai politik, itu dari zaman era dulu sudah ada di Istana," kata Masinton kepada wartawan dikutip Kompas daring di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu (3/5/2023).

Masinton mengatakan SBY sebagai presiden juga pernah menggelar pertemuan dengan para ketua umum partai politik di Istana Negara. Sehingga, imbuh Masinton, bukan persoalan apabila Jokowi juga melakukan hal yang sama.

"Kecuali, kalau Istana berubah jadi kantor parpol A, nah itu yang jadi masalah," ujarnya.

Beda Posisi, Beda Narasi

Dosen Ilmu Politik UI Panji Anugrah menilai perbedaan sikap PDI Perjuangan memang biasa terjadi dalam politik tanah air.

“Memang bahasa yang digunakan (partai) saat jadi oposisi dengan bahasa saat jadi penguasa kadang beda ya. Jadi ketika mereka dalam posisi sebagai oposisi tentu akan melirik berbagai celah yang bisa dilihat sebagai kelemahan yang ada dalam sisi pemerintah untuk dikritik. Sebaliknya ketika mereka berkuasa, oposisi melancarkan kritik yang sama, terhadap Pak Jokowi, jadi sebenarnya itu merupakan suatu hal yang biasa saja," ucap Panji.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER