Pakaian Bekas Impor Dinilai Ganggu UMKM, Pemerintah Diminta Jangan Cuma Bisa Melarang

16 Maret 2023 19:03 WIB

Narasi TV

Pedagang menata pakaian impor bekas "thrifting" dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (17/2/2023). ANTARA FOTO/Fauzan/foc/aa.

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Rialdo Oseano, pedagang baju bekas impor (thrifting) di Bekasi terkejut mendengar pernyataan Presiden Jokowi yang menganggap bisnis tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri.

Rialdo mengingatkan larangan bisnis pakaian bekas akan berdampak ke masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang selama beberapa tahun terakhir menjadikannya sumber penghasilan.

“Jika memang diberhentikan secara keseluruah dampaknya akan sangat besar bagi kalangan menengah kebawah” kata Rialdo kepada Narasi (16/3/2023).

“Sebenarnya cukup terkejut dengan kebijakan yang dipertegas ini apalagi market thrift yang memang maju pesat di 3 tahun belakangan.”

Rialdo mengatakan berjualan pakaian bekas menjadi bisnis yang paling realistis untuk digeluti bagi mereka yang terimbas Pandemi COVID-19. Selain harganya terjangkau, pangsa pasarnya juga cukup besar.

Rialdo sendiri memulai bisnisnya hanya dengan modal Rp 750,000 pada 2020 silam. Sekarang ia memiliki 8 karyawan yang bekerja dalam bisnis thriftingnya.

Kondisi ini menurutnya berbeda jika dibandingkan merintis UMKM fesyen yang membutuhkan skill, relasi, dan modal yang jauh lebih besar.

“Sebagai pengusaha juga saya harus cari alternatif bisnis lainya jika memang benar-benar ditutup. Namun saya tidak bisa menjamin karyawan-karyawan yang sudah bekerja karena saya harus merintis lagi nantinya,” ujar Rialdo.

Rialdo sangsi larangan bisnis pakaian bekas impor akan membantu produsen pakaian UMKM lokal. Sebab menurutnya orang masih bisa berbelanja pakaian impor melalui ragam toko online. Sehingga menurutnya, mematikan thrifting demi menyelamatkan UMKM bukan solusi.

“Yang ada orang akan memilih belanja online yang bisa import langsung dari luar negeri. Shopee pengiriman luar negeri, aliexpress, grailed, depop dan lainnya. Karena sekarang akses dan opsi belanja sudah banyak ga cuma thrift saja,” katanya.

Jangan Sekadar Melarang

Direktur Eksekutif Centre for Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah jangan sekadar melarang penjualan pakaian bekas impor namun juga harus turut bertanggung jawab mencari solusi.

Pasalnya, rantai distribusi dari industri tersebut telah berjalan puluhan tahun dan mencapai lingkup desa.

“Nah jadi pemerintah itu melarang juga harus ada tanggung jawabnya,” kata Bhima kepada Narasi, Kamis (16/3/2023).

Larangan impor pakaian bekas disuarakan sejak 2015 dan sempat dipertegas pada tahun 2019. Kendati demikian, pemerintah dinilai gagal dalam mengeksekusi aturan tersebut. Imbasnya masih banyak kebocoran pakaian besar yang akhirnya beredar di masyarakat.

Kelalaian inilah yang menurut Bhima juga harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menindak pedagang kecil. Sehingga pemerintah seharusnya tegas menindak dari hulunya yakni di pelabuhan dan bea cukai, bukan hanya membebani penjual barang-barang tersebut.

“Ini selama ini enggak jalan penindakannya sehingga merembet kemana-mana akhirnya pedagang yang disalahkan,” ujar Bhima.

Bhima meminta pemerintah secara seimbang memperhatikan kemampuan para pelaku usaha pakaian bekas melakukan transisi bisnis. Misalnya dari sisi permodalan usaha untuk para pedagang kecil yang telah lama bergantung pada industri tersebut.

Bhima juga menilai pemerintah harus turut mendorong peningkatan kualitas dan harga pakaian lokal untuk bisa bersaing dengan kualitas impor.

Sebab tak heran masyarakat masih banyak memilih barang bekas branded yang dinilai punya kualitas lebih baik dibandingkan barang baru dengan merk lokal yang relatif lebih mahal.

“Jadi lebih bijak melarang dengan peningkatan kualitas, dan harganya juga harus bisa lebih kompetitif dari baju bekas impor,” kata Bhima.

Misalnya pemerintah sepatutnya memberikan permodalan, melakukan pendampingan untuk peningkatan kualitasnya, dan membenahi rantai produksi pakaian lokal yang kerap kali menggunakan bahan baku tekstil impor. Sebab menurut Bhima impor bahan baku dapat membenani para pelaku usaha lokal.

“Masalahnya adalah industri pakaian jadi, tekstil untuk produksi baju bahan bakunya diambil dari luar negeri juga. Jadi kita harus menghubungkan antara industri di hulu tekstil pakaian jadi dengan konveksi atau penjahit, dan mereka yang kemudian memproduksi. Jadi selama ini ada putus di tengah. Nah ini salah satu tugas pemerintah juga,” terang Bhima.

Sebelumya, pemerintah menyatakan akan menutup toko-toko thrifting online yang menjual barang dan pakaian bekas impor. Hal ini diungkap oleh Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki yang menyebut kegiatan tersebut mencederai pasar produk lokal.

Thrifting itu produk-produk pakaian bekas dari luar itu lebih banyak produk ilegal. Ini memukul produsen fesyen dalam negeri. Terutama pelaku UMKM,” katanya pada Rabu (15/3/2023).

Kecaman terhadap thrifting juga disinggung oleh Presiden Jokowi. Jokowi menyatakan telah memerintahkan aparat untuk mencari dan menindak pelaku usaha pakaian bekas impor yang dinilai menggangu industri tekstil lokal.

Hal ini juga telah secara resmi digaungkan oleh Bareskrim Polri yang menyatakan akan menindak penjual pakaian bekas impor.

“Sudah saya perintahkan untuk mencari betul dalam sehari dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil di dalam negri. Sangat menggangu,” kata Jokowi di acara Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri, Rabu (15/3/2023).

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR