Pengamat Nilai Wacana Reshuffle Kabinet Jokowi Lebih Kuat Isu Politiknya Ketimbang Kinerja

28 Dec 2022 17:12 WIB

thumbnail-article

Presiden Jokowi/ Antara

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Presiden Jokowi tampak tersenyum dan mengangguk-angguk saat para wartawan bertanya apakah dalam waktu dekat ia akan melakukan reshuffle kabinet.

Ketika pertanyaan wartawan mengerucut apakah yang di-reshuffle termasuk pos menteri yang diduduki kader Nasdem, Jokowi berkata: "Clue-nya, udah..." seraya memberi tanda "oke" lewat jari kedua tangannya.

Wacana reshuffle kabinet mencuat tak lama setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang pada Oktober lalu.

Wacana Reshuffle Dibayangi Isu Politik

Pengamat politik yang juga Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam mengatakan alih-alih berbasis evaluasi kinerja, isu reshuffle yang muncul belakangan sarat akan kepentingan politik.

“Pertimbangan politik inilah yang menjadi faktor kenapa Jokowi melakukan reshuffle kabinet. Kita tahu NasDem telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres," kata Arif saat dihubungi Narasi, Rabu (28/12/2024).

Arif mengatakan tersedia sejumlah indikasi yang memperlihatkan Jokowi tak merestui langkah Nasdem mencalonkan Anies sebagai presiden.

"Dari situlah Jokowi akan mengalkulasi ulang komposisi kabinetnya. Atas dasar pertimbangan politik ini. Reshuffle ini terkait oleh Pilpres 2024. Terkait komposisi politik di 2024,” ujarnya.

Partai Nasdem punya andil mengantar Jokowi menjadi presiden pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Atas jasa-jasanya tersebut pada periode pertama pemerintahan Jokowi kader Nasdem sempat merasakan posisi sebagai Menkopolhukam, Menteri Perdagangan, Menteri ATR/ Kepala BPN, Menteri LHK, dan Jaksa Agung, hingga akhirnya ada reshuffle yang hanya menyisakan dua pos menteri di perdagangan dan LHK.

Periode kedua Pemerintahan Jokowi Nasdem mendapat tiga pos menteri: Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar. 

Arif menilai salah satu andil dan peran Nasdem terhadap karier politik Jokowi ialah kekuatan media yang dimiliki Surya Paloh. Andil dan peran ini menurutnya bisa saja digantikan dengan masuknya Perindo yang dipimpin Harry Tanoesodibyo selaku pemilik MNC Group.

“Artinya kalau NasDem dilihat kekuatannya, misal media, ketika melihat kader Perindo, ada tukar tambah kekuatan yang sama. Ada kekuatan yang simbang sehingga Jokowi tidak kehilangan apapun. Ini juga memberi Jokowi kekuatan konsolidasi dukungan partai politik dalam pilpres ke depan.”

Reshuffle Evaluasi Politik Bukan Kinerja

Ahli Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan mengganti menteri memang wewenang presiden, namun bukan berarti publik tidak boleh mempertanyakan alasan pencopotan menteri.

“Kita bisa bertanya apa buruk karena tidak diawasi dengan baik oleh presiden? Atau karena memang incapacity? Atau karena terjadi perbedaan pendapat dengan presiden?” kata Zainal saat dihubungi Narasi, Rabu (27/12/2022).

Menurut Zainal sejak awal komposisi menteri kabinet memang didasarkan pada konfigurasi dukungan dan kedekatan bukan kapasitas dan kemampuan.

Padahal, jika pendekatan kapasitas dan kemampuan yang dijadikan acuan maka pencopotan menteri memiliki dasar evaluasi kinerja yang jelas.

"Presiden harus mendapatkan dukungan yang penuh oleh partai politik pendukung karena dia akan melaksanakan kerja-kerjanya. Tapi yang kita juga bisa tanyakan adalah apakah menteri itu jabatan yang bisa ditukarkan dengan (dasar) dukungan politik?” jelas Zainal.

Zainal menjelaskan dalam sistem presidensil, menteri itu seharusnya dipilih bukan karena kedekatan politik.  Tapi karena kapasitas, kemampuan.

"Karena mereka menjalankan program. Nah di Indonesia, bukan itu, tapi yang lebih utama adalah sejauh mana dia merupakan partai koalisi atau partai oposisi," lanjutnya. 

Zainal mengatakan Nasdem merupakan partai yang setuju jabatan menteri harus berdasarkan dukungan politik. Sehingga jika sekarang presiden menilai mereka tidak lagi memberikan dukungan politik, maka Nasdem mestinya tidak mempersoalkan.

“Dulu NasDem nggak ada masalah menteri diangkat berdasarkan dukungan politik, dia seneng sekali kan mendapat berapa jatah kursi. Nah sekarang, misalnya, NasDem diisukan berbeda peandangan karena NasDem misalnya, mengusung Anies, ya NasDem enggak bisa marah-marah amat," katanya.

"Karena dulu NasDem juga mendukung logika bahwa kabinet itu berdasarkan konfigurasi dukungan partai.”

Zainal juga memaparkan keseimbangan antara kekuatan politik pendukung pemerintah dengan oposisi penting dalam menentukan kesehatan demokrasi di sistem presidensial.

“Bahayanya kalau presiden terlalu kuat pendukungnya, tidak kuat oposisinya, jebakan ke arah otoriternya, godaan menjadi otoriter, itu besar sekali," katanya.

Zainal menyebut dukungan politik yang terlalu kuat seperti pada pemerintahan Jokowi sekarang bisa memantikan kualitas pemerintah.

"Ini sekarang yang menjadi sorotan karena presiden Jokowi itu didukung sangat besar koalisi pendukungnya dan itu bisa mematikan kualitas pemerintahan. Itu bisa mematikan kritik. Itu bisa menghentikan efektifitas pemerintahan,” ujarnya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER