Tersangka kasus narkoba berinisial IA telah melaporkan dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Perwira Polri berinisial DS sejak September 2024. Namun, meski laporan sudah disampaikan berbulan-bulan lalu, Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) baru mengambil tindakan pada Januari 2025.
DS, yang merupakan penyidik di Direktorat Reserse Narkoba Polda NTB, diduga meminta uang ratusan juta rupiah dari IA sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus peredaran Magic Mushroom di Gili Trawangan.
Ketika dikonfirmasi terkait laporan ini, Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol. M Kholid, menyatakan bahwa pihaknya masih melakukan pengecekan lebih lanjut.
"Saya cek dulu ya," ujar Kholid dikutip Antara saat ditemui di Mataram, Jumat (21/2/2025).
Laporan Tersangka IA dan Tindak Lanjut Propam
Kasus ini kembali mencuat setelah IA, melalui kuasa hukumnya Lalu Anton Hariawan, melaporkan dugaan pemerasan ini ke Propam Polda NTB. Laporan tersebut terdaftar dalam LP.A/30/1/2025/Yanduan, tertanggal 30 Januari 2025, dengan tuduhan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri.
Menindaklanjuti laporan ini, Polda NTB menerbitkan Surat Perintah Nomor: Sprin/49/I/WAS.2.1/2025 pada 31 Januari 2025, yang berisi perintah pemeriksaan dan pemberkasan terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh DS.
Sebagai bagian dari penyelidikan, Propam juga mengeluarkan surat panggilan Nomor: SPG/40/II/WAS 2.1/2025/Bidpropam pada 10 Februari 2025, meminta tersangka IA untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan ini.
Pemanggilan itu ditujukan kepada akreditor Iptu Ghufron Subeki, yang menangani pemeriksaan kasus etik DS sebagai penyidik di Direktorat Reserse Narkoba Polda NTB.
Namun, ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Iptu Ghufron Subeki belum memberikan tanggapan terkait proses pemeriksaan ini. Hal yang sama juga terjadi pada Kabid Propam Polda NTB, Kombes Pol. Dedy Darmawansyah, yang belum memberikan keterangan resmi mengenai perkembangan kasus ini.
Kuasa Hukum: "Kami Butuh Kejelasan dari Propam"
Hingga kini, Lalu Anton Hariawan, kuasa hukum IA, mengaku belum mendapatkan informasi terbaru terkait agenda pemanggilan kliennya pada 10 Februari 2025.
"Informasinya, IA dimintai keterangan di Lapas Perempuan Mataram. Katanya sempat ditunda jadi Kamis (20/2), tetapi bagaimana pelaksanaannya, belum dapat informasi lagi," ujar Anton.
Anton juga mendesak Propam Polda NTB untuk lebih transparan dalam menangani laporan ini.
"Kami harap dapat kejelasan terkait laporan kami ini, sudah sejauh mana penanganannya," katanya.
Perwira DS Diduga Langgar Kode Etik Polri
Dalam kasus dugaan pemerasan ini, Perwira Polri berinisial DS disangkakan melanggar sejumlah aturan, termasuk:
1. Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) huruf d, dan Pasal 10 ayat (2) huruf i Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian.
Jika terbukti bersalah, DS berpotensi mendapat sanksi berat, termasuk pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) dari kepolisian.
Tersangka IA Sedang Hadapi Vonis 8 Tahun Penjara
Sementara itu, IA, yang melaporkan dugaan pemerasan ini, saat ini tengah menjalani penahanan di Lapas Perempuan Kelas III Mataram sebagai terdakwa kasus peredaran mushroom di Gili Trawangan.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, jaksa menuntut IA dengan hukuman 8 tahun penjara, setelah dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat dalam penguasaan mushroom, yang dikategorikan sebagai narkotika golongan I.
Jaksa dalam tuntutannya meminta agar hakim memutus perkara dengan menyatakan IA melanggar Pasal 111 ayat (1) juncto Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sudah Lapor Sejak September 2024, Baru Ditindak Januari 2025
Dugaan pemerasan ini bukan kasus yang muncul tiba-tiba. Pada 20 September 2024, Polda NTB telah menerima laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan pemerasan oleh beberapa perwira Polri yang menangani kasus narkoba di Gili Trawangan.
Saat itu, Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol. Rio Indra Lesmana, mengakui adanya laporan tersebut tetapi menyatakan bahwa kepolisian masih melakukan verifikasi.
"Iya, katanya ada (pengaduan masyarakat) dugaan pemerasan, itu masih kami cek benar tidaknya," ujar Rio dikutip Antara di Mataram, Jumat (20/9/2024).
Dugaan ini langsung mendapat perhatian Itwasda Polda NTB, yang pada 20 September 2024 pagi menemui IA di Rutan Polda NTB untuk mengklarifikasi kebenaran laporan tersebut. Namun, sejak saat itu, tidak ada tindak lanjut yang jelas.
Kuasa hukum IA, Lalu Anton Hariawan, akhirnya melaporkan kasus ini ke Mabes Polri pada 18 September 2024, sebelum akhirnya laporan tersebut diterima oleh Polda NTB pada Januari 2025.
"Laporan secara langsung kami sampaikan ke Biro Wassidik Mabes Polri, kemudian ke Biro Pengawasan, Penyidikan, dan Pembinaan Profesi Divisi Propam Mabes Polri, serta Biro Paminal Divisi Propam Mabes Polri," ujar Anton.
Dalam laporan itu, kuasa hukum IA menyebut bahwa kliennya telah diminta menyerahkan sejumlah uang sebelum resmi ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, bukti yang diserahkan menunjukkan adanya permintaan dana sebesar Rp300 juta dan Rp100 juta.
Namun, meski bukti sudah dilaporkan sejak September 2024, Propam Polda NTB baru mengambil langkah resmi pada 30 Januari 2025, dengan menerbitkan Surat Perintah Nomor: Sprin/49/I/WAS.2.1/2025, yang memerintahkan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh DS.
Sebagai bagian dari penyelidikan, Propam juga mengeluarkan surat panggilan Nomor: SPG/40/II/WAS 2.1/2025/Bidpropam pada 10 Februari 2025 untuk meminta keterangan dari IA. Namun, menurut kuasa hukumnya, pemanggilan ini sempat tertunda tanpa alasan yang jelas.
"Informasinya, IA dimintai keterangan di Lapas Perempuan Mataram. Katanya sempat ditunda jadi Kamis (20/2), tetapi bagaimana pelaksanaannya, belum dapat informasi lagi," ujar Anton.
Anton menilai keterlambatan ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada unsur pembiaran dalam kasus ini.
"Kami harap dapat kejelasan terkait laporan kami ini, sudah sejauh mana penanganannya. Jangan sampai kasus ini menguap begitu saja," tegasnya.
Dugaan Penyalahgunaan Wewenang di Balik Kasus Narkoba IA
Kasus pemerasan ini semakin kompleks karena berkaitan dengan status hukum IA dalam kasus peredaran Magic Mushroom di Gili Trawangan.
Dalam konferensi pers 18 September 2024, Direktur Reserse Narkoba Polda NTB, Kombes Pol. Deddy Supriadi, menyebut IA sebagai pengendali jaringan peredaran Magic Mushroom di Gili Trawangan.
Namun, kuasa hukum IA menuding ada kesalahan dalam penetapan kliennya sebagai tersangka. Anton menyebut bahwa pihak kepolisian salah langkah dalam menangkap IA karena barang bukti yang digunakan untuk menjeratnya tidak ditemukan di tempat usahanya, melainkan di sebuah bengkel milik orang lain berinisial RM.
"Seharusnya di sini ada inisial RM yang ditangkap, karena barang bukti plastik hitam berisi Magic Mushroom yang diamankan dari tersangka lain inisial O itu bukan dari tempat usaha klien kami, melainkan dari dalam kulkas yang ada di belakang bengkel milik RM," ujar Anton.
Meski demikian, IA tetap ditetapkan sebagai tersangka dan kini telah dituntut 8 tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Mataram.
Akankah Dugaan Pemerasan Ini Ditindak Tegas?
Kini, kasus ini tidak hanya soal dugaan peredaran narkotika, tetapi juga menyangkut integritas aparat penegak hukum.
Perwira DS yang diduga melakukan pemerasan bisa dijerat dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) huruf d, dan Pasal 10 ayat (2) huruf i Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian.
Jika terbukti bersalah, DS berpotensi dipecat tidak dengan hormat (PTDH).
Namun, dengan fakta bahwa laporan ini sudah diajukan sejak September 2024 dan baru ditindaklanjuti lima bulan kemudian, muncul pertanyaan besar: seberapa serius Propam Polda NTB dalam menangani kasus ini?
Baca Juga:Band Punk Sukatani Minta Maaf Soal Lagu "Bayar, Bayar, Bayar", Mabes Polri: Kami Tidak Antikritik
Sumber: Antara