Pro-Kontra Produk Menggunakan Karmin, Berikut Pandangan MUI dan NU

1 Oct 2023 22:10 WIB

thumbnail-article

Pigmen yang diekstraksi dari serangga cochineal ditampilkan di laboratorium Kampanye Cochineal di Nopaltepec, negara bagian Meksiko, 30 September 2014. REUTERS/Tomas Bravo

Penulis: Elok Nuri

Editor: Rizal Amril

Baru baru ini pro dan kontra tentang produk menggunakan karmin, zat pewarna dari ekstrak serangga cochineal yang biasa digunakan dalam produk makanan dan kosmetik.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa karmin merupakan bahan yang halal, namun Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur menyatakan bahwa karmin merupakan bahan yang najis dan haram dikonsumsi.

Mengenal karmin

Mengutip dari laman Halal MUI, karmin atau carmine merupakan zat pewarna alami yang jamak dikenal oleh pelaku industri makanan dan minuman.

Menurut Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University sekaligus auditor halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Sedarnawati Yasni, karmin dibuat dari serangga cochineal (Dactylopius coccus) atau kutu daun yang menempel pada kaktus pir berduri (genus Opuntia).

Pewarna karmin seringkali digunakan untuk memberi warna merah dalam beberapa makanan dan minuman seperti es krim, susu, yoghurt, dan makanan ringan.

Selain makanan dan minuman, karmin juga seringkali digunakan sebagai pewarna sabun dan kosmetik, seperti sampo, lotion, dan eyeshadow.

Pro dan kontra produk menggunakan karmin

Pada tahun 2011, MUI telah mengeluarkan fatwa bernomor 33 Tahun 2011 yang berisikan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

Fatwa MUI tersebut didasarkan pada, salah satunya, hadis yang menyebut bahwa ikan serta serangga merupakan dua bangkai yang dihalalkan oleh umat muslim.

MUI menganggap serangga cochineal mirip dengan belalang karang darahnya tidak mengalir.

Oleh karenanya, selagi digunakan untuk hal yang bermanfaat dan tidak membahayakan orang lain, MUI memperbolehkan penggunaan karmin sebagai pewarna.

Sementara Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur baru-bari ini mengeluarkan fatwa bahwa penggunaan pewarna dengan bahan karmin tidak boleh digunakan.

Pengumuman tersebut disampaikan oleh Khatib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Romadlon Chotib.

Selama ini pihaknya telah menyoroti penggunaan karmin yang tersebar di pasaran, biasanya karmin untuk make up dan makanan berkode E-120.

“Karena hal itu, kita sudah memutuskan (dalam bahtsul masail) bahwa (karmin) itu merupakan bagian yang diharamkan menurut Imam Syafi'i. Dan kita adalah orang-orang dari kalangan Syafi’iyah,” tegas KH Romadlon Chotib saat Konferensi Pers Hasil Bahtsul Masail LBM NU Jatim di Kantor PWNU Jatim, Selasa (12/9/2023), mengutip laman NU Jatim.

Adapun keputusan tersebut didasari atas sejumlah keterangan dalam beberapa kitab, seperti Al-Bayan Wattahsil, Al-Taj Wa al-Iklil Juz 3, Al-Muntaqo Syarh Muwatto' Juz 3, dan Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba'ah Juz 1.

Dalam keterangannya, PWNU Jatim juga mengungkapkan alasannya mengharamkan karmin lantaran bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam mazhab Maliki.

Dalam Islam, penggunaan serangga sebagai bahan makanan memang menjadi perdebatan para ulama.

Para ulama seperti Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa serangga boleh dimanfaatkan sebagai bahan makanan karena tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER