Profil Ebrahim Raisi: Perjalanan Karier Politik yang Menginspirasi

24 May 2024 13:05 WIB

thumbnail-article

Presiden Iran Ebrahim Raisi. (ANTARA/HO-TREND News-OANA.)

Penulis: Afaf El Kurniawan

Editor: Indra Dwi

Ebrahim Raisi, yang berusia 63 tahun, merupakan sosok penting dalam politik Iran dan sering disebut sebagai penerus potensial Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.

Sebagai politisi garis keras dan konservatif, Raisi pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2017 namun kalah. Pada 2021, ia akhirnya terpilih menjadi presiden.

Lahir dan besar di Iran, Raisi memulai pendidikannya di seminari keagamaan Qom yang terkenal pada usia 15 tahun. Di awal usia 20-an, Raisi memulai karier hukumnya sebagai jaksa di berbagai kota sebelum pindah ke Teheran untuk bekerja sebagai wakil jaksa.

Pada 1983, Raisi menikahi Jamileh Alamolhoda, putri Imam Sholat Jumat Masyhad Ahmad Alamolhoda, dan mereka memiliki dua anak perempuan.

Selama lima bulan pada tahun 1988, Raisi menjadi bagian dari sebuah komite yang mengawasi serangkaian eksekusi tahanan politik, yang kemudian menyebabkan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadapnya.

Karier di Pemerintahan dan Pengaruh di Iran

Karier Raisi terus menanjak setelah kematian Pemimpin Tertinggi pertama Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini. Di bawah pengganti Khomeini, Ayatollah Khamenei, Raisi diangkat menjadi ketua Astan Quds Razavi, lembaga keagamaan terbesar di Masyhad, pada 7 Maret 2016. Posisi ini semakin mengukuhkan statusnya dalam pemerintahan Iran.

Pencalonan sebagai Presiden

Raisi pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2017 melawan Hassan Rouhani. Rouhani, yang dikenal sebagai moderat, telah mengawasi negosiasi perjanjian nuklir Iran 2015 dengan negara-negara besar, membatasi program nuklir Iran dengan imbalan keringanan sanksi.

Raisi, dari blok yang lebih keras, kalah dalam pemilihan tersebut namun mempersiapkan kampanye presiden berikutnya.

Pada Juni 2021, Raisi memenangkan 62 persen suara dalam pemilihan yang dirusak oleh rendahnya jumlah pemilih sebesar 48,8 persen, setelah beberapa tokoh reformis dan moderat dicegah untuk mencalonkan diri.

Pada saat itu, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) berada dalam kondisi kacau setelah Amerika Serikat, di bawah Presiden Donald Trump, secara sepihak menarik diri dari kesepakatan tersebut dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran, yang berdampak buruk pada perekonomian negara.

Topik:

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER