Pemakzulan merupakan proses hukum yang bertujuan untuk memberhentikan orang yang menduduki jabatan tertentu sebelum masa jabatannya berakhir. Dalam konteks kepemimpinan negara, istilah ini biasanya digunakan untuk presiden dan wakil presiden.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemakzulan berasal dari kata dasar 'makzul' yang berarti berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Proses pemberhentian pejabat publik ini bukan hanya sekadar isu politik, tetapi lebih merupakan mekanisme hukum yang diatur dengan ketat dalam konstitusi, termasuk dalam UUD 1945.
Sistem pemakzulan ada untuk melindungi pemerintahan dari penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa adanya mekanisme ini, seorang pemimpin dapat beroperasi tanpa pengawasan, yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat. Proses pemakzulan memastikan bahwa setiap tindakan presiden dan wakil presiden dapat diperiksa dan, jika diperlukan, dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Alasan pemakzulan berdasarkan UUD 1945
Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, terdapat beberapa alasan yang dapat mendasari pemakzulan presiden dan wakil presiden selama masa jabatannya. Alasan-alasan tersebut yakni:
-
Melakukan pelanggaran hukum berupa:
-
pengkhianatan terhadap negara;
-
korupsi;
-
penyuapan;
-
tindak pidana berat lainnya; atau
-
perbuatan tercela.
-
-
Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
Pihak yang berwenang dalam pemakzulan
Pemakzulan presiden atau wakil presiden dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan melibatkan sejumlah proses.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki peran kunci dalam proses pemakzulan. Mereka berwenang untuk mengusulkan pemakzulan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan wakil presiden. Usulan ini harus didukung oleh suara minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang.
Adapun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berfungsi sebagai lembaga yang memutuskan usulan pemakzulan yang diajukan oleh DPR. Keputusan MPR harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh minimal 3/4 dari jumlah anggota. Ini menunjukkan bahwa proses pemakzulan memerlukan dukungan yang signifikan dari berbagai fraksi di MPR.
Prosedur pemakzulan presiden/wapres
Proses pemakzulan diatur dalam Pasal 7B UUD 1945 dan melibatkan langkah-langkah sebagai berikut.
-
DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan mengadili setiap dugaan pelanggaran hukum oleh presiden atau wakil presiden.
-
MK kemudian wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
-
Apabila MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR.
-
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
-
Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.