Warga yang tinggal di Lempuyangan, terutama di RT 1 RW 1, Kota Yogyakarta, mengungkapkan penolakan terhadap rencana penggusuran yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Salah satu alasan utama penolakan ini adalah karena mereka memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). SKT ini dianggap sebagai bukti bahwa mereka telah menempati tanah tersebut secara sah selama bertahun-tahun.
Selain itu, warga juga menyatakan bahwa klaim aset oleh PT KAI didasarkan pada Palilah yang ditandatangani oleh GKR Mangkubumi pada bulan Oktober 2024, yang menyatakan bahwa area tersebut akan digunakan untuk proyek baru. Warga berargumen bahwa status tanah tersebut adalah Sultan Ground, dimana seharusnya keputusan tentang penggunaannya berkaitan langsung dengan Keraton Ngayogyakarta, bukan dengan korporasi besar seperti PT KAI.
Baca Juga:Fakta Terbaru Pemecatan Guru Besar UGM Imbas Kasus Pelecehan Seksual terhadap Belasan Mahasiswi
Tanggapan PT KAI mengenai proyek penataan
PT KAI Daop 6 Yogyakarta menjelaskan bahwa proyek penataan Stasiun Lempuyangan adalah untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan penumpang kereta api. "Lahan yang ditempati warga merupakan bagian dari aset perusahaan yang masih tercatat dan berfungsi untuk menunjang operasional kereta api," ujar Manager Humas PT KAI, Feni Novida Saragih
Feni menambahkan bahwa saat ini volume penumpang di Stasiun Lempuyangan sangat tinggi, dengan total rata-rata 15.643 penumpang per hari. Demikian adanya, pengembangan dan perluasan area stasiun diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kapasitas yang lebih besar untuk keselamatan dan keamanan penumpang. PT KAI juga menegaskan bahwa mereka memiliki izin penggunaan lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Rencana sosialisasi dan koordinasi
Pihak PT KAI telah mengadakan sosialisasi terkait proyek ini, namun warga menganggap sosialisasi tersebut terlalu mendadak. Warga merasa tidak diikutsertakan dalam proses perencanaan dan hanya diberi informasi dalam waktu yang singkat. Mereka menuntut agar sosialisasi dilakukan di tempat yang netral, tidak hanya di kantor PT KAI.
Menurut mereka, sosialisasi seharusnya lebih transparan dan melibatkan berbagai pihak seperti perwakilan Kelurahan dan Kecamatan. Warga juga menginginkan adanya audiensi dengan DPRD untuk menyampaikan aspirasi dan keberatan mereka. Walaupun PT KAI telah berusaha melakukan sosialisasi, faktor koordinasi ini masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan.
Dampak ekonomi bagi warga
Dampak dari rencana penggusuran ini mengancam penghidupan banyak warga. Mayoritas warga mengandalkan usaha jasa parkir dan rental kendaraan yang beroperasi di lokasi tersebut. Mereka khawatir bahwa setelah penggusuran, mereka tidak akan memiliki tempat untuk melanjutkan usaha mereka, apalagi dengan harga tanah dan properti yang tinggi di Yogyakarta.
Beberapa warga yang telah tinggal di lokasi itu selama puluhan tahun juga merasa cemas tentang masa depan mereka. Tanpa persiapan untuk mendapatkan tempat tinggal baru di tengah tingginya biaya hidup, gelombang ketidakpastian mulai menjalar di antara mereka. Dengan latar belakang ini, alasan penolakan terhadap penggusuran bukan hanya berkaitan dengan kepemilikan tanah, tetapi juga berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup mereka.
Baca Juga:Direkam dan Disebar ke Situs Porno, Ini Kronologi Pelecehan Seksual Anak oleh Kapolres Ngada