9 Maret 2023 19:03 WIB
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
“270 juta jiwa masa nggak bisa nyari figur yang bebas dari konflik kepentingan? Kenapa harus rangkap jabatan?”
Deputi Sekertaris Jendral Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko rangkap jabatan para pejabat Kementerian Keuangan merupakan pelanggaran atas undang-undang yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan korupsi.
“Konflik kepentingan ini erat kaitannya sebagai induk dari korupsi itu sendiri. Makanya rangkap jabatan ini perlu dikritisi sedemikian rupa dan ditolak,” kata Wawan kepada Narasi, Rabu (8/3/2023).
Wawan mengatakan rangkap jabatan oleh 39 pejabat Kemenkeu jelas melanggar UU No. 28 tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Amanat ini pun menurutnya juga tertuang dalam UU Administrasi Pemerintahan yang menuliskan bahwa rangkap jabatan berpotensi memunculkan konflik kepentingan.
Pasalnya, kata Wawan, rangkap jabatan dinilai membawa risiko karena berpotensi bagi si pejabat melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya dan pihak-pihak yang ada dalam lingkup kuasa jabatannya.
Sistem single salary dalam rangkap jabatan pun dinilai tidak menjamin adanya gaji tunggal yang diterima pejabat negara. Menurut Wawan ada banyak potensi honorarium, bonus, ataupun tantiem yang diterima seorang pejabat sekaligus komisaris BUMN.
Hal ini dinilai berbahaya sebab berujung pada pembengkakan harta yang berpotensi memunculkan kecurigaan publik jika tidak dilaporkan.
“Untungnya kalau rajin dilaporkan, kalau tidak? Ketika ada pembengkakan harta kekayaan ini yang menjadi kecurigaan” kata Wawan.
Alasan Tak Masuk Akal
Menurut Wawan, kepemilikan modal negara dalam perusahaan BUMN kerap jadi dalih untuk rangkap jabatan. Sebab dengan ini keterlibatan pejabat negara dianggap sebagai wujud dari representasi negara di perusahaan tersebut.
Selain itu, beragam kementerian juga dinilai kerap menggunakan kemudahan koordinasi sebagai justifikasi untuk menempatkan pejabatnya di kursi komisariat BUMN.
Namun alasan tersebut dinilai Wawan tak masuk akal. Pasalnya, representasi pemerintah dalam BUMN dapat dilakukan oleh seseorang yang bukan pejabat negara.
Wawan juga menilai koordinasi tidak seharusnya menjadi alasan. Sebab menurutnya rangkap jabatan komisaris bahkan terjadi kepada BUMN yang bukan dari kementeriannya.
“Dari puluhan pejabat Kemenkeu itu juga banyak yang nyebrang ke BUMN yang bukan milik kementeriannya,” kritik Wawan.
“Nggak harus pejabat publik. Kalau mau dipertegas, mundur salah satunya. Mau jadi pejabat publik atau dewan pengawas BUMN? Seharusnya seperti itu.”
Menurut Guru Besar FISIPOL UGM, Professor Purwo Santoso rangkap jabatan di lingkungan petinggi kementerian dan BUMN tidak serta merta memudahkan koordinasi dua lembaga.
Sebab menurutnya, rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN sekaligus dewan pengawas kementerian membuat pekerjaan tidak berjalan optimal.
“Itu kan dia melakukan fungsi komisaris full time, mengawasi hulu hilir. Nah sekarang komisaris kerjanya cek cek formal aja. Sehingga tugas pengawasan komisaris itu juga tidak dijalankan secara penuh. Komisaris yang sambil lalu dan fungsi politis itu ya sebenarnya inefisiensi,” ujar Purwo.
Purwo menyatakan polemik rangkap jabatan menjadi lumrah sebab tidak ada sistem kerja yang berbasis kinerja. Pasalnya, renumerasi pekerjaan pada umumnya dilakukan berdasarkan status jabatan, bukan kinerja yang misalnya dihitung per waktu kerja.
“Tapi logikanya, kalau seseorang sudah (bekerja) full time di satu tempat, tidak mungkin juga (bekerja) full time di tempat lain,” kata Wawan.
Sebanyak 39 pejabat Kemenkeu tercatat merangkap jabatan komisaris dalam sejumlah BUMN dan anak perusahaan BUMN.
Staf Khusus Kemenkeu Yustinus Prastowo menyatakan pejabat eselon I dan II Kemenkeu yang merangkap sebagai komisaris BUMN tidak melanggar ketentuan undang-undang.
Menurutnya, rangkap jabatan termasuk bagian dari amanat UU Keuangan dan UU BUMN untuk memudahkan koordinasi antara Kemenkeu sebagai bendahara negara dan pemegang ototritas fiskal. Dengan ini, ia menilai penting untuk menempatkan perwakilan kementerian pada di dewan pengawas BUMN.
“Kenapa pejabat? Karena dalam dirinya melekat tanggung jawab dan supaya koordinasi lebih mudah secara hierarki karena dia punya jabatan. Sehingga bisa menjalankan sesuai portofolioya,” kata Yustinus pada Konpers Rabu (8/3/2023)
KOMENTAR
Latest Comment