Di sebuah kamar darurat Rumah Sakit Lapangan Kuwait, Rafah, seorang pria muda Palestina mengembuskan napas terakhirnya. Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Namanya Ayoub Abu al-Hussain, 29 tahun. Ia bukan korban tembakan, bukan pula terkena bom. Ia tewas karena kelaparan.
Kematian Ayoub menjadi penanda mengerikan dari babak baru bencana kemanusiaan di Gaza. Selama ini, malnutrisi parah identik dengan anak-anak. Namun kini, orang dewasa pun tak luput dari cengkeraman kelaparan akibat blokade penuh yang diberlakukan Israel selama lebih dari sembilan bulan.
“Kami menerimanya dalam keadaan tidak bernyawa. Tubuhnya adalah gambaran langsung dari penderitaan rakyat Gaza,” tulis Rumah Sakit Khusus Kuwait dalam pernyataannya.
Menurut otoritas Gaza, kematian Ayoub mencerminkan strategi sistematis: kelaparan yang disengaja. “Ini bukan sekadar tragedi,” kata Ismail al-Thawabta, Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, “Ini adalah kejahatan yang ditargetkan, dijalankan secara sadar oleh pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina.”
Situasi ini diperparah kehadiran Gaza Humanitarian Foundation (GHF), skema bantuan yang digagas AS dan Israel, namun dikritik luas oleh lebih dari 130 organisasi kemanusiaan sebagai “mematikan” dan “tidak efektif”. Sejak GHF mulai beroperasi Mei lalu, lebih dari 500 warga Palestina tewas dalam upaya mendapatkan bantuan yang justru dijaga aparat bersenjata, para aktivis mendesak mengembalikan koordinasi bantuan kepada mekanisme yang dipimpin PBB.
Lembaga seperti Oxfam, Save the Children, dan Amnesty International menyerukan agar penyaluran bantuan dikembalikan di bawah koordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Warga Gaza kini menghadapi pilihan mustahil: menunggu kematian karena kelaparan, atau tewas ditembak saat mencoba bertahan hidup,” tegas mereka dalam pernyataan bersama.
Data dari IPC (Integrated Food Security Phase Classification) menunjukkan bahwa seluruh wilayah Gaza akan menghadapi krisis pangan akut selama enam bulan ke depan. Tanpa perlintasan yang dibuka, tanpa suplai medis dan logistik, dunia menyaksikan genosida perlahan dalam bentuk kelaparan massal.
Ayoub, dengan tubuh yang luluh oleh derita, menjadi saksi bisu akan apa yang terjadi saat dunia memilih diam. Jika sebelumnya hanya anak-anak yang mati kelaparan, kini giliran kaum muda yang jatuh satu per satu. “Ini bukan hanya soal Gaza,” kata Thawabta, “ini soal kemanusiaan yang sedang dikubur hidup-hidup.”
Thawabta menegaskan bahwa kebijakan kelaparan Israel “menyasar warga sipil tanpa pandang usia” dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh, melanggar seluruh norma kemanusiaan dan hukum internasional. Ia menyerukan pembukaan segera perlintasan dan masuknya bantuan pangan serta medis.
Thawabta memperingatkan, jika tidak ada intervensi segera, jumlah korban dewasa akan terus meningkat.
“Kondisi yang mengejutkan ini merupakan aspek lain dari genosida yang dialami warga Palestina, melalui pengepungan dan penghilangan total akses terhadap makanan dan obat-obatan,” ujarnya.
“Ini adalah noda memalukan di dahi komunitas internasional yang bungkam dan tak bertindak.”
Sumber: Middleeasteye
Baca Juga:Inggris Tangkap Wanita Berusia 83 Tahun karena Dukung Palestine Action dan Kecam Genosida di Gaza