Rakyat Masih Bisa Tentukan Anggota DPR dan DPRD, Ini Alasan MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu Terbuka

15 Juni 2023 16:06 WIB

Narasi TV

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin jalannya sidang putusan permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (15/6/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dan memutuskan pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

Penulis: Dzikri N. Hakim

Editor: Akbar Wijaya

 
Teka-teki apakah rakyat masih bisa menentukan siapa anggota DPR dan anggota DPRD yang diinginkan akhirnya terjawab sudah.
 
Kamis, 15 Juni 2023, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan sistem pemilihan umum proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang sempat diajukan sejumlah pemohon.
 
“Permohonan provisi tidak beralasan menurut hukum dan pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi.
 
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya."
Salah satu hakim MK Saldi Isra menjabarkan sejumlah alasan mengapa gugatan para pemohon ditolak.
 
Pertama, para pemohon mendalilkan bahwa sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik berlebihan.
 
Padahal, kata Saldi, sistem proporsional terbuka masih memberikan peran sentral kepada partai politik dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon yang sejalan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD.
 
"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra.
 
Kedua, MK menilai kekhawatiran para pemohon bahwa sistem pemilihan terbuka membuat calon anggota DPR dan DPRD yang terpilih tidak sesuai dengan ideologi partai tidak beralasan.
 
Sebab, partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.
 
Ketiga, dalil pemohon bahwa sistem proporsional terbuka membuka potensi terjadinya politik uang dalam pemilu tidak sepenuhnya tepat. Sebab, kata Saldi potensi yang sama juga bisa terjadi dalam sistem pemilihan umum apa pun.
 
“Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elite partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut "nomor urut calon jadi" agar peluang atas keterpilihan-nya semakin besar," kata Saldi Isra.
 
Oleh karena itu, kata Saldi Isra, praktik politik uang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu.
 
Keempat, Saldi menegaskan dalil-dalil para pemohon bahwa sistem proporsional terbuka mendistorsi peran partai politik, membuka praktik politik uang, rawan tindak pidana korupsi, hingga keterwakilan perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum.
 
“Karena, dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.
 
MK, kata Saldi berpandangan perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.
 
"Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar Saldi Isra.
 

Satu Hakim Berbeda Pendapat

 
Dari sembilan hakim MK ada satu hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) yakni Arief Hidayat. Ia menilai sebagian permohonan para pemohon beralasan menurut hukum.
 
“Menimbang dari keseluruhan uraian pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” ucap Hidayat saat membacakan dissenting.
 
Pendapat berbeda itu juga menghasilkan sebuah saran, agar pemilu 2029 nanti dilaksanakan sistem proporsional terbuka terbatas.
 
Menurutnya, hal ini diperlukan sebagai bentuk evaluasi pada sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan empat kali. Yakni, pada tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019.
 
Namun usulnya itu tidak untuk dilakukan pada pemilu edisi sekarang. Sebab, menurutnya, proses persiapan untuk pemilu 2024 sudah mulai berjalan.
 
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
 
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Mereka berpandangan bahwa, pemilu bersistem proporsional dengan daftar terbuka dapat:

  • Membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Ideologi Pancasila.
  • Memunculkan para anggota DPR/DPRD yang pragmatis dan tidak mewakili partai politik, bahkan merusak partai politik
  • Memperluas terjadinya politik uang dan terjadinya tindakan korupsi
  • dan Mempersulit keterpilihan dan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI  menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS.

Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR