4 Januari 2024 21:01 WIB
Penulis: Diah Ayu
Editor: Akbar Wijaya
“Okan tiang kalih istri.” (anak saya dua perempuan).
“Mih, tiang aget wenten lanang siki ane paling cenik.” (astaga, saya bersyukur ada anak laki-laki yang paling kecil).
Dialog semacam itu galib terdengar dalam basa-basi di masyarakat Bali. Mulanya mungkin hanya bertanya soal punya anak berapa, lalu berlanjut jenis kelaminnya apa, dan ujungnya mengatakan aget -- yang dalam bahasa Bali artinya beruntung -- jika memiliki anak laki-laki.
Mengapa sejumlah orang tua di Bali merasa lebih beruntung jika memiliki anak laki-laki ketimbang perempuan?
Beberapa waktu lalu curahan hati perempuan asal Bali viral di media sosial Twitter dan TikTok. Ia merasa menyesal terlahir sebagai perempuan lantaran menurutnya laki-laki Bali pasti mendapat hak warisan meski tak dapat diandalkan di keluarga.
Tak sedikit perempuan Bali yang mengamini curhatan itu. Salah satunya dirasakan Komang Triana Wulan, gadis Bali dengan satu saudara perempuan dan dua saudara laki-laki.
“Gak adil banget, anak perempuan banyak ngerjain pekerjaan rumah. Bahkan seperti aku yang ikut ngurusin perbaikan rumah. Tapi nanti rumah ini diserahkan ke anak cowok yang tidak pernah nyentuh pekerjaan rumah,” kata Wulan dalam wawancara dengan penulis di Denpasar, Bali, Senin (1/1/2023).
Wulan bercerita ia lebih sering diandalkan keluarganya dalam urusan perbaikan rumah ketimbang dua kakak laki-lakinya. Sebab, kata Wulan, saban orang tuanya meminta tolong kedua kakak laki-lakinya untuk ambil bagian dalam perkara perbaikan rumah, mereka lebih sering mengabaikan.
“Misalnya ada atap yang bocor, pintu gagang yang copot, aku yang cari tukang dan juga yang mengeluarkan biaya,” ujar gadis asal Buleleng ini.
Wulan memperkirakan ia harus menyisihkan sekitar 10 persen dari gajinya bekerja selama delapan jam sehari untuk kebutuhan rumah. Ini belum termasuk jika ada perbaikan kerusakan rumah, iuran perumahan, dan persiapan kegiatan agama.
“10% setiap bulannya, kecuali kalau galungan dan kuningan, pagerwesi, atau rahinan (acara agama) lain, bisa lebih banyak,” ungkap Wulan.
Wulan merasa ada kontribusi tidak langsung dari cara pandang masyarakat Bali atas situasi yang ia hadapi. Ia mengatakan sebagian besar masyarakat Bali masih mewajarkan praktik “mengandalkan” anak perempuan namun tidak memberikan hak waris kepada mereka. Bahkan, tambah Wulan, hal semacam ini turut diajarkan di sekolah.
Made Utari, perempuan asal Bali juga pernah punya pengalaman tidak mengenakan soal warisan dari orang tuanya. Ia menuturkan pernah mendapat warisan tanah dari orang tuanya ketika memutuskan menikah dan tinggal bersama suami.
Namun, warisan tanah seluas tiga hektar yang Utari terima menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Beberapa dari mereka mengingatkan agar Utari segera mendaftarkan tanah warisan yang diberikan orang tuanya atas namanya.
“Saya diberitahu banyak orang kalau tidak segera berganti nama ke anak, maka otomatis tanah itu menjadi hak milik keluarga suami ketika saya selaku pemilik sudah tiada,” terangnya.
Dosen Hukum Adat Universitas Udayana Anak Agung Istri Ari Atu Dewi menjelaskan bahwa Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali telah menetapkan aturan adat tentang hak waris dalam keputusan Nomor 01/KeP/Psm-3/MDP Bali/X/2010.
Aturan ini menyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan, termasuk yang belum menikah atau masih dalam kandungan, memiliki hak yang sama atas harta orang tua. Sepertiga dari harta tersebut menjadi milik anak yang melanjutkan tanggung jawab adat (purusa), yang bisa laki-laki atau perempuan, dan dua pertiga sisanya dibagi rata antara anak-anak lainnya.
Anak yang berstatus purusa memiliki hak atas sebagian warisan, sementara anak yang berstatus predana berhak atas sebagian warisan purusa dengan syarat meneruskan kewajiban adat. Meskipun ada perubahan pandangan di beberapa desa adat, masih terdapat perlawanan terhadap putusan MUDP Bali.
“Sebelumnya, perempuan Bali tidak diakui sebagai ahli waris. Jadi selalu dicari ahli waris laki-laki. Kalau pun kemudian mendapatkan harta dari orang tuanya, hanya sebagai pemberian yang bahkan dianggap sebagai penyelundupan hukum,” ucapnya.
Keengganan melaksanakan putusan itu menurutnya juga tidak lepas dari salah kaprah sebagian masyarakat Bali memahami sistem Purusa (hak waris). Dewi menyebut sistem Purusa di Bali bukan berarti mereka yang berjenis kelamin laki-laki lebih superior dari perempuan.
“Padahal Purusa-Predana itu status, bukan jenis kelamin. Perempuan bisa juga dinaikkan statusnya menjadi purusa, melalui pernikahan nyentana.”
Guru Besar Universitas Udayana ini memastikan bahwa sebenarnya tidak ada diskriminasi terhadap salah satu jenis kelamin di dalam adat Bali.
“Sistem kita mengakui haknya perempuan, akan tetapi di masyarakat pikirannya masih salah karena itu tadi. Adanya kesalahpahaman,” ucapnya.
KOMENTAR
Latest Comment