Tagar “All Eyes On Papua”: Dukungan untuk Masyarakat Adat yang Dirampas Hak dan Kehidupannya

3 Jun 2024 21:06 WIB

thumbnail-article

Poster "All Eyes on Papua" yang ramai diunggah pengguna Instagram. (Sumber: Instagram)

Penulis: Elok Nuri

Editor: Rizal Amril

Kampanye bertulisan “All Eyes On Papua” beredar di beberapa platform media sosial, kampanye tersebut banyak dibagikan di tengah maraknya poster dengan kalimat serupa kampanye "All Eyes on Rafah" yang menyuarakan penderitaan Palestina akibat kekejaman Israel.

Tagar “All Eyes On Papua” muncul sebagai bentuk protes terhadap perampasan hak masyarakat adat Papua oleh perusahaan yang mengambil alih hutan adat untuk dijadikan perkebunan sawit.

Para aktivis meminta masyarakat untuk turut bersuara mendesak pemerintah agar mengembalikan hak-hak masyarakat adat Papua.

Di balik kampanye “All Eyes On Papua”

“All Eyes On Papua”muncul setelah beberapa akun membagikan aksi masyarakat adat Awyu Papua di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) Jakarta.

Konflik ini berawal saat Pemerintah Provinsi Papua Selatan mengeluarkan izin lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk mengelola hutan adat Awyu dan Moi yang berlokasi di Boven Digoel, Papua. 

Hutan dengan luas 36.094 hektar tersebut direncanakan akan dibabat untuk lahan sawit. Pengerjaan proyek lahan sawit tersebut akan dioperasikan oleh tujuh perusahaan, yakni PT MJR, PT KCP, PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT MSM, dan PT NUM.

Suku Awyu dan Woro, yang merupakan masyarakat adat setempat, merasa bahwa kehidupan mereka mulai terancam dengan adanya proyek ini. Mereka meminta dan menyatakan agar pembukaan perkebunan sawit dibatalkan.

MA menjadi harapan terakhir suku Awyu dan Woro

Setelah proses yang panjang dan pemerintah tidak menunjukan perhatian sedikitpun terhadap masyarakat yang terdampak, akhirnya pada Senin (27/5) Suku Awyu dan Moi melakukan aksi damai dengan mendatangi gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat.

Mereka terlihat mengenakan pakaian adat masing-masing sambil menggelar ritual adat dan memanjatkan doa, aksi itu juga diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Suku Awyu dan Woro meminta MA agar dapat membatalkan putusan izin perusahaan sawit untuk melindungi sumber kehidupan mereka.

“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, mengutip Greenpeace.

Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin, Fiktor Klafiu, menjelaskan jika hutan yang terletak di Boven Digoel tersebut merupakan tempat suku Moi Sigin hidup.

“Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu; hutan adalah apotek bagi kami; kebutuhan kami semua ada di hutan,” katanya.

Jika hutan diubah menjadi perkebunan sawit, Fiktor menuturkan bahwa masyarakat adat Moi Sigin akan kehilangan hutan sebagai sumber kehidupan mereka.

“Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” katanya.

Dalam gugatannya, Suku Awyu tidak hanya menggugat PT IAL, namun juga mengajukan kasasi atas PT KCP dan PT MJR, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel.

Suku Awyu sebelumnya kalah saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Perjuangan mereka tidak surut, mereka kemudian mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim PTUN Jakarta.

Di sisi lain, suku Moi Sigin juga sedang melakukan perlawanan terhadap PT SAS yang menggunduli 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit.

Sebelumnya PT SAS sempat memegang konsesi seluas 40.000 hektare lahan di Kabupaten Sorong, namun pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha pada 2022. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

Perwakilan masyarakat adat Moi kemudian mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023.

Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.

Suku Awyu dan Moi telah melewati serangkaian proses yang pelik demi mempertahankan hutan adat mereka.

Meskipun putusan peradilan sebelumnya yang mereka terima tidak sesuai harapan, mereka tidak berhenti untuk terus melakukan upaya hukum demi mempertahankan tempat hidup mereka.

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi. 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER